"Arggghhh ... dingin."
Gita melangkah keluar bilik air yang berada di belakang rumah tempatnya menginap. Disebut bilik air karena tempat itu hanya ditutupi anyaman dinding bambu di tiga sisi. Dengan dua sisi yang menempel ke dinding bukit di mana sepotong bambu yang mengalirkan air pancuran tertancap di sana.
Mata air pegunungan yang sangat segar. Mengingatkan Gita dengan masa kecilnya di kampung halaman.
Bedanya aliran air ini terhubung dengan sebuah kolam ikan lele yang juga berfungsi sebagai tempat pembuangan ampas sisa pencernaan. Sementara di kampung Gita tidak.
Setelah celingukan beberapa kali, dengan cepat gadis itu melangkah menuju pintu rumah bagian belakang yang berjarak sekitar 20 meter.
Gadis itu mendekap diri sendiri demi menghalau udara dingin yang serasa menembus kulitnya karena hanya menggunakan selembar handuk buat menutupi tubuh.
Meski di ufuk Timur bias matahari mulai membayang, desa yang berada di kaki gunung sama sekali belum tersentuh kehangatan. Bahkan di dedaunan embun pun masih menggantung.
"Semoga belum ada yang terbangun." Gadis itu menggumam pelan.
Bisa dibayangkan bagaimana malunya kalau ada yang melihat dirinya dalam kondisi tersebut. Apalagi ia tengah berada di daerah orang lain. Tempat yang baru pertama kali ia kunjungi.
Tadi karena terburu-buru oleh panggilan alam, ia lupa membawa baju ganti. Sementara sahabatnya Hesti susah sekali bangun. Alhasil gadis itu merayap keluar sendirian, meski sebenarnya ia takut. Karena merasa risih, dia berjalan tanpa melihat lagi kiri dan kanan.
Bug!
Wajahnya menabrak sesuatu.
"Aaaaaaaa!" Ia berteriak kaget saat pandangan matanya menangkap sepasang kaki yang hanya menggunakan sandal jepit. Sepasang kaki itu hanya memakai celana selutut. Sontak dadanya berdebar tidak karuan. Takut.
Bagaimana kalau ternyata orang jahat? pikirnya. Dalam kondisi yang seperti itu mudah sekali untuk melakukan sebuah tindakan kejahatan.
Reflek ia mendongak dengan mulut yang sudah dibekap.
"Sstttt ... kamu mau bangunin semua orang?" ujar seseorang itu.
Mata hezel Gita membulat. Di depannya kini terpampang sesosok pria tampan. Wajah yang seakan pernah singgah di memori otaknya. Tapi siapa?
"Siapa Anda?" Pertanyaan yang nyaris tak terdengar itu meluncur dari bibir Gita setelah pria itu perlahan melepaskan tangan dari mulutnya. Gadis itu masih syok dengan apa yang terjadi.
"Harusnya pertanyaan itu buat kamu," sahut pria itu datar. Tatapannya menghujam. Ia menunduk hingga wajah mereka nyaris tanpa jarak.
Berada dalam dekapan orang asing. Hanya dengan pakaian seadanya, jelas merupakan suatu bencana. Apa lagi bagi seorang gadis.
Belum sempat Gita berpikir, sesuatu yang dingin dan lembut menempel sedikit kasar tepat di permukaan bibirnya. Pupil gadis itu melebar. Apa yang dilakukan laki-laki itu sangat tiba-tiba.
Sesaat gadis itu hanya tertegun. Bahkan ketika wajah pria tersebut kembali menjauh dengan napas sedikit memburu.
Ia dicium? Oleh orang tak dikenal?
Wajahnya memerah begitu menyadari siapa sosok di depannya.
Plak!
Meskipun telapak tangannya begitu mungil, nyatanya masih sanggup meninggalkan tanda kemerahan di pipi pria yang menurutnya sangat tak tahu diri itu.
"Jangan kurang ajar," desisnya. Lalu mendorong tubuh sang pria kasar hingga pelukannya terlepas.
Ya, siapa yang tidak mengenal pria itu? Dosen muda, pintar, tampan tapi terkesan dingin. Itu yang dikatakan teman-temannya.
Namanya langsung menjadi tranding topik di kampus sejak dia menginjakkan kaki dua minggu yang lalu. Meski saat itu Gita tidak begitu peduli. Tapi sepertinya mulai sekarang ia harus mengakui. Pria ini bukan saja tampan tapi memiliki pesona yang tak terbantahkan.
Sayangnya ia terlalu kurang ajar. Gadis itu membatin. Bisa-bisanya ia mencium anak gadis orang seenak jidat.
Tapi sekarang bukan itu saja yang dikhawatirkan Gita. Bagaimana kalau pria itu sampai tahu siapa jati dirinya? Bukankah keadaan ini amat memalukan?
"Hmmm ...," gumaman pria itu menyadarkan Gita akan situasi mereka. Ia mengusap pelan bekas telapak tangan gadis manis itu di pipinya. Tatapannya kini memindai dari atas sampai bawah.
"Nyali kamu boleh juga." Ia berkata dengan sudut bibir sedikit terangkat. Bagaimana tidak? Dengan pakaian yang seadanya itu, banyak hal yang bisa ia lakukan. Tidakkah gadis di depannya ini berpikir akan hal itu?
Tanpa memutus tatapan ia kembali mendekat.
Gita gelagapan. Gadis itu mendekap d**a sendiri dengan kedua tangan yang tengah memegangi handuk yang melilit tubuhnya kuat. Wajahnya sudah semerah tomat. Malu. Dan juga kesal yang teramat sangat karena merasa dilecehkan.
Sayang ia tak bisa melakukan apa pun dalam kondisi seperti itu. Satu-satunya pilihan adalah segera melarikan diri. Sebelum laki-laki itu berbuat kian jauh.
"Shit." Gita mengumpat sebal. Lantas berlalu dengan cepat.
Benar-benar akan sangat memalukan jika sampai laki-laki itu mengenalinya sebagai salah seorang mahasiswi di tempatnya mengajar.
Mau ditaruh di mana mukanya nanti? Seburuk apa pun perlakuan pria itu, jelas ia juga punya andil. Secara lelaki normal mana yang tidak akan tergoda dengan penampakan seseksi itu?
***
Dengan napas terengah-engah Gita kembali ke kamar. Di ranjang Hesti masih tertidur pulas. Gadis itu sama sekali tidak terusik meskipun tanpa sengaja Gita menutup pintu lumayan keras.
"Sial! Sial! Sial!"
Ia mendengkus sebal seakan bisa menghapus jejak yang tertinggal di permukaan bibirnya. Entah sudah berapa lembar tisu yang jadi korban. Sampai bibirnya terasa perih. Gadis itu baru berhenti setelah capek sendiri.
"Lelaki tak tau diri. Beraninya ia merampas ciuman pertamaku." Ia mengomel.
Tentu saja. Hal yang selalu ia jaga selama bertahun-tahun kini ternoda sudah. Padahal Gita berharap, itu hanya boleh terjadi setelah akad nikah.
Tapi kenapa wajahnya menghangat hanya karena terbayang peristiwa itu? Dadanya kian berdebar mengingat bagaimana cara laki-laki tersebut menatap. Dan pelukan itu ...
"Ya Tuhan, rasa apa ini?"
Tak tau harus berbuat apa, Gita beranjak duduk di depan jendela. Membiarkan daun jendela itu terbuka lebar. Sengaja membawa kursi meja rias ke sana. Menatap keluar sambil bertopang dagu.
Pemandangan kebun teh seperti hamparan permadani dari kejauhan. Asri dan indah. Jiwa petualang gadis itu menggeliat. Sudah lama sekali ia tidak b******u dengan alam.
Saat tengah sibuk dengan segudang rencana yang akan ia lakukan nanti siang, sekelebat Gita melihat sosok laki-laki tadi lewat.
Namun ketika dilihatnya lagi ia tidak menemukan apa pun.
Ya Tuhan, bagaimana mungkin aku berhalusinasi dengan beruang kutub itu? Ia membatin.
Beruang kutub.
Ya. Julukan yang tiba-tiba terlintas di benaknya sejak peristiwa memalukan tadi. Apalagi kalau bukan karena sikap pria itu yang begitu kaku dan dingin. Bahkan saat mencium pun, laki-laki itu memperlakukan Gita layaknya manekin. Bisa diperlakukan seenaknya.
Tapi tunggu ....
Kenapa bisa laki-laki itu ada di sini? Siapa dia sebenarnya? Apakah ia ada hubungan dengan keluarga Hesti? Atau kebetulan dia hanya orang yang ingin menghabiskan masa liburan? Memilih tempat ini sebagai destinasinya, sama sepertiku? Berbagai pertanyaan memenuhi otak Gita.
Kalau boleh memilih, ia ingin opsi terakhir. Karena kalau tidak, sudah dipastikan pertemuan selanjutnya akan terjadi. Lalu masihkah ia punya nyali untuk bertatap muka? Belum lagi nanti di kampus ....
"Ya Tuhan, semoga ia tidak mengenaliku."
"Apakah yang Anda maksud saya?"