Tanpa ba bi bu lagi salah seorang yang meneriakkan namanya itu menghambur ke pelukan Pram. Gadis itu tak lain adalah Hesti--sepupunya.
Meski hampir sepuluh tahun tidak bertemu, mereka masih saling mengenali satu sama lainnya.
"Kak Pram kapan kembali? Kok gak bilang-bilang sih mau datang. Kakak gak akan kembali lagi ke sana kan? Kakak akan menetap di Indonesia?" Hesti memberondong dengan berbagai pertanyaan begitu ia melepaskan diri dari pelukan itu.
Yang ditanya hanya tertawa sambil mengacak rambut Hesti gemes. Tawa yang menghadirkan rasa tak biasa pada gadis di sebelahnya.
Beberapa kali bertemu, ia bisa menarik kesimpulan. Bahwa predikat killer yang disematkan para mahasiswa ke pria itu tak sepenuhnya benar.
Atau sejatinya sang pria memiliki kepribadian ganda?
Memikirkan hal itu, sang gadis bergidik sendiri.
"Kakak mau jawab pertanyaan mana dulu nih?" sahut laki-laki itu. Namun matanya melirik gadis di sebelah Hesti yang mematung.
Sepupunya itu ikutan tertawa. "Kangen banget sama Kakak."
Tatapan Pram kembali ke Hesti.
"Kakak juga. Kangen banget sama gadis kecil yang bawel ini."
"Ah ... masa? Tapi nggak pernah ngasih kabar?" Hesti cemberut.
Pram hanya terkekeh. Ia lagi-lagi melirik gadis yang bergeming di samping Hesti. Saat tatapan mereka bertemu, gadis itu gelagapan dengan wajah sedikit memucat.
"Oh ya, kenalin, Kak. Ini Gita teman kuliahku. Git, ini Kak Pramudya, sepupu gue."
Wajah gadis yang tak lain Gita itu kian pias. Namun hanya sesaat, detik berikutnya memerah dengan tatapan nyalang.
"Pram." Pria itu mengulurkan tangan.
"Gita," sahut sang gadis dingin tanpa menggubris uluran tangan laki-laki itu.
Good. Pram membatin dengan tatapan yang menajam.
"Hes, gue tinggal ya? Mau nyoba memetik daun teh bareng Ibu-ibu," pamitnya.
Lalu berlalu begitu saja tanpa menunggu jawaban.
Gadis yang luar biasa.
Tangan Pram yang sudah terlanjur terulur, jatuh kembali begitu saja. Untung Hesti tidak menyadari atau memang sengaja pura-pura tidak melihat?
Selanjutnya mereka terlibat obrolan panjang.
"Ya ampun, Kak. Nggak nyangka sama sekali kalau ternyata dosen ganteng yang lagi viral di kampus itu adalah Kakak," ujar Hesti dengan tatapan berbinar.
"Haalaah, apanya yang viral?"
"Beneran lho, Kak. Aku sampai penasaran. Sayangnya kita gak punya kesempatan bertemu."
Pram hanya menanggapi ocehan Hesti dengan senyum. Pikirannya justru tertuju pada Gita.
"Hei, ngomong-ngomong temanmu tadi mana?" Akhirnya pertanyaan itu muncul juga saat sang gadis belum juga kembali.
"Oh iya, jangan-jangan dia nyasar lagi. Sebentar ya, Kak, aku cari dulu."
"Ya udah, Kakak bantu. Kamu ke sebelah sana, Kakak ke sebelah sini," sahut Pram menunjuk satu arah yang mau ia tuju.
Hesti mengangguk dan mereka pun berpencar.
"Git, Gita ...!" Hesti meneriakkan nama itu. Tak ada sahutan.
Pram menanyai beberapa pekerja yang sudah mulai turun istirahat. Mereka hanya menggeleng tidak tahu.
Diam-diam ada perasaan khawatir di d**a pria itu. Bagaimana pun Gita baru di tempat ini. Sementara kebun teh mereka luasnya berhekta-hektar, dan semua tempat akan kelihatan sama bagi orang baru.
Pram terus mengelilingi perkebunan sambil pandangan mata melihat kiri kanan.
Sesungging senyum lega menghias sudut bibir saat akhirnya pandangan Pram menangkap sosok gadis itu.
Gita duduk selonjoran di tengah-tengah perkebunan. Gadis itu kelelahan.
"Ngapain di sini?"
Gita menoleh. Napasnya masih tersengal. Wajah dan rambutnya telah basah oleh keringat.
"Kenapa gak balik ke dangau?" Pram kembali bertanya.
Gita bergeming. Sebelah tangannya memijit-mijit pergelangan kaki yang sedikit bengkak dan membiru.
"Anda jatuh?"
"Udah tau nanya."
Pram menarik napas panjang sambil geleng-geleng kepala mendengar sahutan ketus itu.
"Gadis aneh." Pram menggumam. Lantas tanpa mengatakan apa pun, ia mengangkat tubuh gadis itu.
"Hei apa yang Anda lakukan?" teriak Gita marah.
"Anda cidera Nona, dan saya membantu biar Anda segera bisa istirahat di dangau. Hesti pasti panik," sahut Pram datar.
"Turunin. Saya bisa sendiri," ujar Gita gusar. Diperlakukan seperti itu tentu saja membuatnya risih.
Pram tak menggubris, ia terus saja melangkah cepat menuju dangau.
"Pak!"
Pram menatap dengan sebelah alis terangkat.
"Anda Pramudya Aleandro kan? Dosen yang ...." Gadis itu menghentikan ucapannya.
Senyum samar terukir di sudut bibir Pram menyadari gadis itu mengenalinya. Jika sebelumnya ia khawatir, entah kenapa kali ini ia justru merasa senang.
"Ssttt! Diamlah!" sahutnya.
"Gak!"
"Mau kamu apa?" Pram menatap gadis itu lekat.
"Saya yang seharusnya nanya. Gak usah sok baik. Turunin gak!" sahut sang gadis menatap galak.
"Baik."
Bug!
Pram melepaskan pelukan begitu saja.
"Aduh! Sakit tau." Gita mendelik. Namun detik berikutnya mata itu berkaca-kaca.
"Bukannya kamu yang minta?" Pram menyahut sambil mendekap kedua tangan di d**a.
Gita kesal bukan kepalang. Tapi tak lagi mengatakan apa pun. Tubuhnya kini malah terguncang pelan dengan kepala tertunduk.
Pram menghela napas panjang sambil geleng-geleng kepala.
"Makanya jangan sok kuat. Kamu mau saya gendong atau tetap bertahan di sini?"
Tatapan Pram tak lagi sedatar tadi. Bahkan caranya bicara pun tak lagi kaku.
"Gak perlu, gue bisa sendiri," sahut Gita galak. Hatinya terlanjur sakit karena sikap Pram.
"Ooh, ya sudah."
Wajah Pram kembali dingin, dengan cepat ia berbalik dan berlalu.
Tertatih Gita mengikutinya di belakang.
"Dasar nggak punya perasaan."
"Kok bisa ya, orang seperti ini jadi seorang pendidik." Gita terus-menerus mendumel.
Pram tak peduli. Selama gadis itu masih tetap mengekor, baginya tak ada masalah, terserah mau dibilang apa.
Namun beberapa saat kemudian Pram tertegun saat mendengar isak tertahan tertangkap pendengarnya. Tapi ia mengabaikan. Bukankah itu yang Gita mau?
Langkah Pram terhenti saat isak itu tak lagi ia dengar.
Pram menoleh, ternyata Gita tertinggal beberapa meter di belakang. Setelah mendengkus, Pram berbalik.
"Makanya jangan bandel," ujarnya. Lalu berjongkok di depan Gita. Meraih pergelangan kaki gadis itu yang kian membengkak.
"Mau ngapain?" Gita masih saja galak.
"Mau makan kamu," sahut Pram seenaknya.
Gita mendelik.
"Ini sedikit sakit. Tapi tahan ya? Setelahnya pasti akan lebih baik." Nada suara Pram datar.
Tanpa menunggu persetujuan Gita, ia mengusap dan memijit pelan, lalu menyentaknya.
Gita meringis.
"Bagaimana?"
Gadis itu mencoba menggerakkan. "Sedikit lebih baik."
"Tapi tetap belum boleh dibawa jalan."
"Jangan modus."
"Terserah."
Bola mata Gita membulat.
"Apa? Mau protes lagi?"
Pram menatap lekat. Ada gelenyar aneh yang ia rasa saat netra mereka bertemu. Rasa yang kurang lebih sama dengan yang dirasakan Gita. Dengan cepat gadis itu mengalihkan pandangan. Pram menarik napas panjang.
"Sekarang gimana? Masih maksa jalan sendiri?"
***
"Kalian ...!"
Gita dan Pram serentak menoleh. Berbagai asumsi memenuhi kepala Hesti saat melihat posisi mereka berdua. Wajah gadis itu memerah.
"Hes...?" Alis Gita tertaut. Tak mengerti apa arti tatapan Hesti padanya.
"Gue kecewa ama lo Git, gue pikir selama ini gue kenal lo." Suara Hesti bergetar.
"Tunggu, maksudnya apa ni?"
Hesti menatap tajam.
"Bagaimana mungkin lo mau diperlakukan seperti itu oleh laki-laki yang baru lo kenal?" Hesti benar-benar marah.
"Diperlakukan apa? Memangnya kami melakukan apa?!"
Hesti tersenyum sinis. Setitik air mata mengambang begitu saja dari sudut matanya.
"Lo salah paham, Hes. Ini gak seperti yang lo pikirkan." Gita panik dan mencoba menjelaskan. Ia mendekati Hesti dengan tertatih.
"Memangnya apa yang gue pikirkan?" sahut Hesti tajam.
"Jangan berlebihan, Hesti. Kakak cuma mau bantu gendong karena kakinya cidera."
"Bantu gendong? Kalian pasti udah ciuman kalau aku gak keburu datang."
Wajahnya memerah, lalu berbalik dan berlalu secepatnya.
Ada apa dengan Hesti? batin Gita.
Wajahnya pias.
*** to be continued ***