Bab 4 : Salah Paham
Setengah berlari Hesti meninggalkan Pram dan Gita yang menatapnya tak mengerti. Ia bahkan tak peduli dengan sapaan para pekerja yang menatap sama tak mengertinya dengan Gita dan Pram. Kekecewaan yang ia rasakan nyaris saja membuatnya kehilangan kendali.
Kini yang gadis itu inginkan bagaimana secepatnya ia sampai di rumah dan meluahkan kekesalan dengan menumpahkan tangis di atas bantal.
Sayang impian itu harus ia tunda. Saat kakinya menyentuh lantai dapur, ucapan sang bibi yang tak lain mama Pram menahan langkah gadis berambut sebahu itu.
"Kok sendirian? Teman kamu ke mana?" sapa wanita itu dengan senyum mengambang di bibirnya.
"Masih di perkebunan, Bi," sahut Hesti. Gadis itu balas tersenyum. Berusaha terlihat baik-baik saja.
"Sendirian? Ntar dia nyasar lho," lanjut sang bibi dengan dahi mengernyit.
Emang udah nyasar. Dan karena nyasar itu justru yang membuat mereka punya kesempatan berduaan. Menyebalkan! Tentu saja kata ini hanya ada dalam batin Hesti.
Belum sempat gadis itu menjawab, sang bibi kembali berucap, "Oh ya, Kak Pram juga pulang tadi malam. Kalian udah ketemu?" tanya wanita itu lagi.
Hesti mengangguk. Tak ingin wanita itu bertanya lebih banyak, ia segera pamit ke kamar.
Meski sedikit heran melihat sikap aneh Hesti, wanita itu tidak berusaha untuk menahannya. Hingga beberapa menit kemudian ia melihat Pram dan Gita berjalan beriringan dari kejauhan.
"Ooh, ternyata mereka juga saling kenal," gumamnya.
Lantas melanjutkan pekerjaan menyiangi sayuran untuk menu makan siang mereka.
Di kamarnya Hesti membanting diri ke tempat tidur, menumpahkan kekecewaan di bantal. Menyaksikan Pram dan Gita sedekat tadi benar-benar membuat ia syok. Meski mereka tidak mengakui, entah kenapa ia begitu yakin di antara keduanya ada sesuatu yang coba mereka sembunyikan. Memikirkan hal itu hatinya seketika patah.
Mungkin sikapnya terlalu berlebihan. Terlepas dari mereka adalah dosen dan mahasiswa, yang ia tahu Pram belum menikah. Pun demikian dengan Gita. Sejak mengenal gadis itu belum pernah sekali pun ia diperkenalkan pada seorang pria dalam arti sebagai kekasih.
Namun yang kini jadi masalah adalah rasa aneh yang tiba-tiba hadir dalam dirinya, menggeliat di antara denyut nadi dan membaur bersama helaan napas setiap kali ia mengingat sosok sepupunya itu. Dan ia harus bagaimana saat perasaan tidak senang menghantui ketika melihat kedekatan keduanya?
Ia tidak tahu sejak kapan perasaan itu berkembang. Yang pasti ia sangat senang setiap kali Pram mengirim pesan di WA, apalagi video call. Biarpun hampir sepuluh tahun tak bertemu, komunikasi mereka berjalan lancar. Hal yang pada akhirnya menghadirkan rasa berbeda di lubuk hatinya.
Jika bukan Gita wanita yang sedang bersama Pram, mungkin ia tidak akan sesakit ini. Kenapa harus sahabat sendiri? Sahabat yang ia anggap sebagai saudara?
Hesti menghela napas yang kini ia rasakan makin tersendat di kerongkongan. Haruskah persahabatan yang telah terjalin erat itu ternoda? Bagaimanapun jelas Hesti tidak rela. Persahabatannya dan Gita berawal di saat mereka memasuki fakultas yang sama.
Karena merasa senasib sebagai perantauan membuat mereka menjadi dekat. Bahkan keduanya memutuskan untuk tinggal satu kost-an, tak jauh dari kampus.
Saling percaya, terbuka, tak ada rahasia apa pun adalah komitmen yang selama ini mereka gaungkan. Itu yang ia terjadi selama ini, selama tiga tahun lebih.
Tapi sekarang?
Kenyataan yang ia dapatkan berbeda. Gita menyimpan rahasia yang sangat besar, bahkan teramat besar sehingga ketika semuanya terbongkar, ia menjadi hancur. Hatinya sakit.
Adalah hal yang paling menyakitkan saat kita menyadari dikhianati dua orang berbeda di waktu bersamaan. Hal yang membuatnya tak habis pikir, bagaimana bisa dua orang yang ia sayangi, menjalin hubungan dan ia tidak tahu sama sekali?
Hesti menyandarkan tubuh di kepala ranjang sembari memeluk kedua lutut.
Pemikiran gadis itu sama sekali tidak bisa mencerna semuanya. Sejak kapan mereka bisa sedekat itu? Bukankah selama beberapa hari ini ia selalu bersama Gita. Dan mereka baru saja berkutat dengan ujian semester. Tidak ke mana-mana selain kampus dan kost-an. Lalu kapan mereka bertemu dan di mana mereka jadian? Bertubi-tubi pertanyaan memenuhi kepala gadis itu.
Hesti menghapus air mata ketika seseorang mengetuk pintu. Lalu cepat-cepat merebahkan diri dan menutupi tubuh dengan selimut, pura-pura tidur.
"Hes?" Suara Gita menyapa pendengarannya. Namun ia bergeming.
"Hesti, ada apa?" tanyanya lagi.
Tetap tak ada sahutan.
"Gini, jika lo ngerasa gue menyembunyikan sesuatu atau pahitnya lo ngerasa ditikung ma gue, gue yakinkan sekali lagi, tak ada apa pun yang yang terjadi di antara kami. Gue kenal juga baru hari ini. Dan itu berkat lo."
Gita menarik napas panjang dan membuangnya kasar.
"Tapi kalau lo ngerasa nggak nyaman juga karena itu, gue minta maaf," lanjut Gita lagi.
Di bawah selimutnya Hesti mencibir tak percaya.
"Maling kalau ngaku, penjara penuh." Akhirnya keluar juga kata-kata itu sambil ia bangkit dari ranjang.
"Maksudnya?" sahut Gita. Sikap Hesti membuatnya tak nyaman.
"Kalian pacaran kan? Dan begonya gue main percaya aja kalau kalian belum saling kenal. Tapi yang bikin gue nggak habis pikir, kenapa harus menutupi semua? Sikap kalian norak tau, nggak?" sembur Hesti. Wajahnya memerah menahan amarah.
"Jadi lo tetap menganggap...?"
"Gue percaya dengan apa yang gue liat."
Gita menghela napas panjang.
"Terserah lah. Percuma menjelaskan pada orang yang tengah cemburu."
Hesti menoleh kaget.
"Siapa yang cemburu?"
"Lo lah."
"Nggak."
Gita menatap sahabatnya itu lekat.
"Gue memang belum pernah pacaran, tapi gue belum terlalu b**o mengartikan tatapan lo pada Pak Pram."
"Sok tau," dengkus Hesti.
"Saran gue, kalau suka perjuangkan sebelum benar-benar diambil orang. Lo tau sendiri seberapa banyak peminatnya di kampus kan?"
"Apaan sih? Emangnya Kak Pram barang."
"Memang bukan barang. Tapi kita sama tahu betapa banyak yang mendamba dia."
"Termasuk lo?" sahut Hesti sinis.
Gita menggeleng. "Gue belum."
Hesti memutar bola mata. "Berarti dugaan gue benar?"
"Gak juga. Gini lho, saat ini belum, tapi tak menutup kemungkinan kan? Tapi kalau lo suka maka gue orang pertama yang dukung. Lo paham kan maksudnya?"
Hesti tertawa lirih.
"Andaikan segampang itu."
"Kenapa nggak?"
***
Pram terpaku di depan jendela paviliun miliknya. Lelaki dengan bola mata coklat kehitaman itu menerawang jauh. Pikirannya tertuju pada kejadian yang ia alami sepanjang hari yang baru saja ia lewati. Fakta gadis itu salah seorang mahasiswi di tempatnya mengajar, jadi momok sendiri andai ia memperlakukan gadis itu berbeda.
Apalagi gadis itu bersahabat dengan Hesti. Mengingatnya dahi Pram mengernyit. Sikap yang ditunjukkan sang sepupu sungguh tak bisa ia mengerti. Sikap Hesti layaknya gadis yang tengah cemburu.
"Masa iya sih?"
Tanpa disadari ia menggumam. Lantas di menit berikutnya menggelengkan kepala.
Nggak mungkin, batinnya.
Hesti hanya salah sangka dengan apa yang ia lihat. Dan itu membuat amarahnya tersulut. Ya, pasti seperti itu. Pram membantah apa yang terlintas di benaknya.
Yakin dengan pemikiran sendiri, pria tersebut tersenyum tipis. Lantas melangkah menuju meja kecil di sisi tempat tidur. Ia menarik lacinya dan mengambil sesuatu di sana.
Sebuah album foto.
Dari sampul yang terlihat bisa dipastikan album tersebut setidaknya telah berusia belasan tahun.
Sudut bibir Pram tertarik ke atas saat ia membalik album usang tersebut. Lembaran foto di dalamnya mengingatkan akan masa kecil yang pernah dilalui bersama para sepupunya.
Meski sudah lama tidak bertemu, Pram masih mengingat wajah-wajah mereka. Ayu, Cika, dan juga Hesti. Usia mereka terpaut beberapa tahun dengannya. Dan Hesti yang paling muda. Gadis itu dulu sangat manja pada semua orang.
Mungkin itulah yang jadi alasan. Saat ia merasa perhatian Pram terbagi, ia merasa kurang nyaman. Tapi tentu saja itu hanya menurut pemikiran Pram.
Satu hal yang Pram tahu, sejak dulu semua kasih sayang penghuni rumah ini seakan tercurah padanya, terutama ibu Pram. Kehilangan Anggie--putri semata wayang--menjadikan Hesti sebagai pelipur lara bagi sang bunda.
Anggie adalah adik perempuan Pram satu ayah namun beda ibu. Kalau saja adiknya itu masih ada pasti ia tumbuh menjadi gadis yang cantik. Usianya pun sama dengan Hesti. Sayang, penyakit kanker merenggut jiwanya di lima tahun usianya. Pada saat itu ibu tiri Pram sangat terpukul, beruntung ia masih memiliki Pram. Walaupun bukan anak kandung sendiri, ia sangat menyayangi Pram.
Hal yang sangat berbeda dengan sikap ibu kandungnya sendiri yang tega meninggalkan Pram di usia yang belum genap satu tahun. Wanita yang melahirkannya itu malah berselingkuh dengan pria lain dan memutuskan kembali ke negaranya, Norwegia.
Ada sesuatu yang menekan d**a pria itu saat mengingat betapa sakit menjadi seseorang yang tidak diinginkan. Ya. Ia yakin mama kandungnya tega membuang dirinya karena memang keberadaannya di dunia ini tidak diharapkan.
Ia bukan tidak bersyukur menjadi bagian keluarga ini. Tuhan tidak akan mendatangkan masalah kecuali berikut jalan penyelesaiannya. Pram percaya itu. Tapi menjadi seseorang yang berbeda di tengah para kaum pribumi menjadikan dirinya di masa kecil sebagai bahan ghibahan banyak orang. Hal yang pada akhirnya membuat Pram memutuskan pindah ke Jakarta saat memasuki bangku sekolah menengah atas.
Setelah itu satu persatu para sepupunya pun meninggal kampung mereka dibawa takdirnya masing-masing.
Pertemuannya dengan Hesti kali ini lumayan bisa mengobati kerinduan Pram akan mereka. Apa lagi kepulangan gadis itu membawa seseorang yang cukup berkesan bagi Pram.
Seulas senyum terukir di bibir tipisnya yang bergelombang. Bukankah kedekatan mereka berdua itu sesuatu yang lebih baik? Dengan demikian memudahkan jalannya mendekati gadis itu.
Hei, apa yang ia pikirkan? Mungkinkah sesuatu terjadi pada dirinya? Kenapa bayangan gadis itu tidak juga mau menghilang? Bukankah selama ini ia tak peduli sama perempuan, secantik apa pun itu?
Pram menarik napas panjang dan membuangnya kasar. Tak percaya kalau sikap galak gadis itu justru kini menari-nari di pelupuk matanya. Dan kekhawatiran yang ia tunjukkan sebelum menemukan keberadaan gadis itu di perkebunan tadi tidakkah sesuatu yang berlebihan? Juga degup aneh yang ia rasakan saat mereka berdekatan.
Wajahnya menghangat saat mengingat peristiwa tadi pagi. Ada rasa yang menuntut lebih mengharap kejadian itu terulang.
Ah, nggak mungkin! Aku hanya tergoda karena memang ia menggoda, nalurinya mencoba membantah. Lelaki normal mana yang tidak b*******h melihat gadis cantik dengan kondisi seperti itu? Pram lagi-lagi membatin.
Cantik? Benarkah? Bukankah ia mengenal banyak wanita yang lebih cantik di luar sana? Tapi tak satu pun yang membuat ia gundah seperti ini. Mungkinkah ia benar-benar telah jatuh cinta?
Berbagai pertanyaan dan pernyataan memenuhi benak Pram. Yang paling tidak disangka ia mencium gadis yang belum ia kenal tanpa ada keraguan.
Pram menggelengkan kepalanya kuat. Rasanya tak mungkin kalau ia akan segampang itu untuk suka pada seseorang. Apalagi jatuh cinta.
Hampir tiga tahun ini hidupnya benar-benar gersang. Ia malas berurusan dengan makhluk yang bernama perempuan. Pengalaman cinta masa lalu membuatnya tak lagi percaya jika cinta suci itu ada.
Fix!
Kini Pram yakin yang ia rasakan pada gadis itu hanya reaksi normal sebagai seorang pria dewasa. Ia tersenyum lega.