Bab 5
Gita menatap sahabatnya itu lekat. Sebenarnya kata-kata yang ia ucapkan tadi sengaja memancing Hesti untuk jujur. Karena sejak awal mereka bertemu, sambutan gadis itu terhadap Pram sesuatu yang berlebihan jika hanya sebatas sepupu. Binar di wajah Hesti saat menatap Pram begitu kentara.
Terlebih hampir empat tahun mereka sahabatan, sama seperti dirinya, Hesti masih betah menjomblo. Jika ia memutuskan untuk tidak mau pacaran karena ingin fokus kuliah, Hesti punya alasan lain.
"Gue dah punya gebetan," alasan yang diungkapkan Hesti saat itu.
"Ooh ya?"
"Iya. Sebenarnya dia bukan orang lain dalam kehidupan gue. Sayangnya yang bersangkutan keknya nggak nyadar." Gadis itu tertawa lirih.
"Maksudnya?"
"Ya begitu. Dah lah, nggak usah dibahas. Nggak penting juga, mending kita fokus kuliah," lanjutnya. Terlihat jelas kalau ia tidak ingin membahas lebih banyak lagi. Dan seperti biasa, Gita pun tidak akan memaksa.
Namun demi melihat sikap Hesti tadi, ia yakin banget bahwa orang yang dimaksud sahabatnya itu adalah Pram. Dan jika itu benar ....
Tiba-tiba saja Gita merasa ada sesuatu yang hilang. Jauh di lubuk hati ia berharap dugaannya itu salah.
Apa itu artinya...?
Cepat gadis itu menggeleng. Prinsip yang ia gunakan masih sama, tujuannya datang ke ibukota untuk menuntut ilmu bukan pacaran. Dan ia harus konsisten.
Fokus, Git. Fokus, fokus. Lo harus berhasil dengan nilai yang gemilang, tidak hanya sekedar lolos. Ia menyemangati diri sendiri.
Terlahir sebagai anak sulung dengan kehidupan perekonomian yang pas-pasan, bisa mengenyam pendidikan di jenjang universitas adalah suatu keajaiban. Dan ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan tersebut dengan berleha-leha.
Tapi bagaimana dengan debar yang ia rasakan? Lagi-lagi keresahan membuatnya bimbang.
Gita itu seorang yang gigih. Untuk sesuatu yang ia inginkan, gadis itu akan berjuang sampai bisa mendapatkan. Itu dalam hal akademis. Haruskah sifat tersebut ia terapkan juga dalam percintaan? Sementara yang jadi saingannya adalah sahabat sendiri?
Helaan berat napasnya menyapa pendengaran Hesti yang sedari tadi bersikap acuh tak acuh. Gadis itu melirik.
"Lo nyesal dah meminta gue buat berjuang?" sindirnya.
"Enggak," sahut Gita tegas. "Lo tau bagaimana prinsip gue."
"Ya. Tapi sepertinya kali ini lo harus pikirkan. Cinta itu anugerah, Git. Ia datang tanpa kita duga. Cinta memilih sendiri kapan dan pada siapa ia akan berlabuh. Dan katanya cinta sejati itu takkan datang dua kali."
Gita mengangguk. "Gue setuju."
"Masalahnya untuk saat ini gue gak yakin dengan perasaan sendiri," lanjutnya. "Lagipula dia gebetan lo. Benar kan?"
Hesti membuang tatap.
"Anggap saja benar. Tapi gue juga harus sadar diri kalau pada kenyataannya gue hanya bertepuk sebelah tangan."
"Lo nyimpulin itu dari mana?"
"Orang d***u juga ngerti kali, Git. Kehangatan sikapnya nggak lebih dari sikap seorang abang ke adik perempuannya. Sementara ama lo? Gue yakin ia mulai membuka diri."
"Tidakkah terlalu pagi untuk menarik kesimpulan itu?"
Hesti memperbaiki duduknya. Kini gadis itu bersila sambil menghadap Gita.
"Lo tahu gak, Git?" Ia menatap serius gadis itu. "Setahu gue Kak Pram itu cuek banget ama cewek, bahkan terkesan sinis. Sesuai dengan apa yang diomongin orang-orang di kampus kan?"
Gita tak menjawab. Ia lebih memilih menyimak obrolan Hesti.
"Kak Pram pernah dikhianati tetap saat ia telah memutuskan untuk menikahi sang kekasih. Kebayang kan gimana sakit hatinya? Ditambah lagi pengalaman buruk dibuang ibunya membuat hati Kak Pram mati. Baginya semua wanita itu brengsek." Hesti menceritakan sedikit tentang Pram.
Gita menoleh kaget begitu mendengar penjelasan sahabatnya itu. Pantas saat mencium, Pram memperlakukan dirinya seperti manekin. Seenaknya tanpa menggunakan perasaan. Jelas sudah lelaki itu hanya mengambil kesempatan. Bodohnya, meski sesaat ia larut dalam permainan pria itu.
Asa yang sebelumnya sempat ada kembali terurai secara perlahan. Sepertinya ia memang harus tetap konsisten dengan apa yang telah ia putuskan.
"Emang kenapa dengan ibunya? Bukankah dia anaknya Tante Elsa?" Pertanyaan itu kembali ia lontarkan setelah beberapa saat mereka hanya saling diam.
Hesti menggeleng.
"Mamanya meninggalkan Kak Pram saat usianya belum genap satu tahun. Wanita itu kembali ke negara asalnya, Norwegia. Apa alasannya, Om gue gak pernah cerita. Yang jelas Om gue menikahi Tante Elsa pada saat Kak Pram telah berumur dua tahun. Ayahnya Pram itu kakak lelaki mama gue satu-satunya."
Hesti mengedarkan pandang.
"Sebenarnya ini rumah peninggalan eyang kami, setelah menikah Mama dan kedua kakak perempuannya ikut suami mereka masing-masing. Jadi sebagai kakak tertua dan lelaki satu- satunya, ayah Kak Pram dipercaya mengurus sawah dan kebun teh milik keluarga."
Gita hanya manggut-manggut mendengar cerita Hesti. Akhirnya rasa penasaran gadis itu terjawab. Wajah bule Pram didapat dari mamanya.
“Nah, waktu kecil gue dan saudara lainnya sering menghabiskan liburan di sini. Makanya gue ngajak lo ke sini, gue kangen banget kenangan masa kecil. Dan gak nyangka ternyata Kak Pram juga udah kembali."
Mata Hesti kembali berbinar ketika menyebut nama Pram.
“Jadi benar, orang dekat yang lo suka itu dia?" tanya Gita tiba- tiba.
"Ah, gak!" Hesti masih saja mengelak.
Gita menatap mata Hesti lekat.
"Lo bo'ong kan?"
“Gue juga gak tahu Gita, yang gue tahu, gue nyaman bersamanya, selalu membandingkan Kak Pranm dengan pria lain yang pernah mendekati gue. Dan ujung-ujungnya tak ada satu pun yang nyantol di hati." Setelah didesak, akhirnya gadis itu jujur.
"Kenapa lo gak ngomong ke dia?" tanya Gita ragu, bagaimana kalau ia juga jatuh cinta pada pria? Gak kebayang kalau harus bersaing dengan sahabat sendiri.
“Entahlah, gue belum siap. Dan sepertinya tak akan pernah siap. Gue takut nanti ia malah menjauh dari gue." Ada kegetiran tersimpan dari nada bicaranya. Gita memeluk sahabatnya itu.
"Yang sabar ya, Hes, kalau memang kalian berjodoh pasti Allah akan membukakan jalan buat kalian bersama."
“Makasih ya, Git, lo emang sahabat gue. Lo malahan nyemangatin padahal gue tahu lo juga suka kan?" tanya Hesti sambil menatap Gita.
"Dengan wajah good looking seperti itu, kek nya terlalu munafik kalau gue bilang enggak. Tapi ya cuma sebatas itu. Lagi pula ketemunya juga baru hari ini." Gita tertawa.
“Siapa tahu cinta pada pandangan pertama," desak Hesti.
“Buktinya lo gak keberatan waktu dia mau nyium lo," lanjut Hesti kelewat terus terang. Wajah Gita memerah.
"Dia nyolong. Lo kudu bedain lah. Tahu sendiri lo dia gede gitu, mana kuat gue lawan," sungut Gita. "Lagian dia nyosor aja tiba-tiba."
"Tapi menurut gue, lo menikmati. Lo juga suka kan?" tanya Hesti ngotot. "Siapa sih yang bisa nolak cowok setampan Kak Pram?"
"Eh, kalau ternyata nanti gue benaran jatuh cinta yakin lo nggak keberatan? Secara dia cool, tinggi, ganteng, blesteran lagi," sahut Gita setelah berapa lama.
Hesti menatapnya namun hanya terdiam beberapa saat. Ada rasa tidak rela terlihat dari pancaran matanya.
“Gue gak pa-pa kok kalau lo gak rela, gue akan jaga jarak," lanjut Gita lagi. Di luar dugaan, Hesti malah menggeleng.
"Kak Pram menganggap gue nggak lebih dari adiknya sendiri. Kalau ternyata ia memilih lo mana mungkin gue keberatan? Kecewa tentu ada, tapi bukankah cinta itu tidak harus memiliki? Lagian kata ibu gue, lebih baik dicintai daripada mencintai."
"Gitu ya?"
"Entahlah. Gue juga ragu sih."
“Bukankah cinta memang harus diperjuangkan, Hes?"
"Sepertinya gue bukan pejuang sejati," desis Hesti sambil tertawa lirih.
***
Sementara itu di kamarnya Pram lagi-lagi tercenung. Pikirannya terus menerus pada gadis galak itu. Gadis yang ternyata teman Hesti. Kenapa juga sepupunya itu pulang harus mengajak orang lain?
Lalu salah kah?
Pram mengutuk diri sendiri. Tak seharusnya ia menyalahkan Hesti. Selama ia pergi siapa memangnya yang paling sering mengunjungi ibunya selain Hesti? Hanya dia satu-satunya yang tinggal di Indonesia. Ayu telah menikah dan tinggal di London ikut suaminya yang berkebangsaan Inggris. Sementara Cika, masih kuliah sambil kerja di Singapura. Harusnya ia berterima kasih, bukan malah menyesali gadis itu atas apa yang ia rasakan pada Gita.
Sementara ia sendiri sejak SMA sudah memilih hengkang. SMA nya di Jakarta, kemudian mengambil S1 juga di Jakarta, sementara S2-nya di Amerika.
Malah ia sempat berpikir untuk menetap di negeri Paman Sam itu, namun segala impiannya berubah ketika Alya gadis berkebangsaan Pakistan yang ia cintai lebih memilih jodoh dari orang tua ketimbang mempertahankan cintanya pada Pram. Meskipun ia tahu Pram sangat mencintainya.
Rasa sakit hati karena selalu dicampakkan oleh wanita yang dicintai, membuatnya tidak lagi mempercayai wanita. Semuanya sama, hanya memberi harapan dan janji. Kemudian berlalu begitu saja tanpa peduli sedikit pun pada perasaannya.
Terkecuali ibu tentunya, meskipun bukan dia yang melahirkan Pram, tapi dia sangat menyayangi lebih dari dirinya sendiri.
Jadi apa haknya menyalahkan Hesti? Jika ternyata ia jatuh cinta pada Gita bukan salah gadis itu.
Cinta? Omong kosong. Yang mereka lakukan hanya untuk kesenangan diri sendiri tanpa peduli walau harus menyakiti orang lain. Rahang Pram mengeras.
Di usia yang sudah lebih dari seperempat abad, ia belum pernah terpikir untuk menikah sama sekali. Ayah dan ibunya saja sudah kehilangan semangat bertanya soal pernikahan, selalu ada saja alasannya buat menolak.
Yang lebih aneh lagi gairahnya melihat perempuan seolah menghilang. Seseksi apapun penampilan seorang wanita sama sekali tak memancing hasratnya. Hal ini pernah dikonsultasikan ke dokter dan juga psikiater, hasilnya cukup melegakan. Ia masih normal, tapi kenapa sulit sekali untuk jatuh cinta lagi? Sebegitu besarkah trauma itu menguasai perasaan?
Tapi kenapa ia merasakan hal yang berbeda ketika bertemu Gita? Sikap yang polos dan apa adanya ditambah lagi sifat jutek cukup membuat pria itu terpesona.
Nyatanya debaran itu ada. Terbukti saat kebersamaan mereka tadi di kebun teh. Berada demikian dekat dengan gadis itu membuat debarannya kian tak terbendung. Ia jatuh cinta.
Alhasil malam ini Pram tak bisa tidur dengan nyenyak. Kejadian demi kejadian yang dialami seharian bersama Gita bagai video yang berputar indah di kepalanya. Ia menginginkan gadis itu.
"b******k!"
Ia memaki sembari membenamkan wajah ke bantal dengan pikiran yang kian kusut.