Bab 6. Bertemu di IGD

1518 Words
“Dokter Cia, satu pasien baru saja masuk. Tekanan darah tinggi, dua peluru menembus perutnya.” Seorang perawat laki-laki masuk ke dalam ruang IGD dengan mendorong brankar. Di atas brankar, seorang pria meringis kesakitan sambil memegangi perut yang sudah bersimbah darah. Cia menoleh. “Ayo, bawa ke sini.” “Dok, bagaimana dengan pasien yang ini? Detak jantungnya lemah. Dia pingsan.” Oh … Cia bingung. Dokter senior yang seharusnya bertugas di IGD terpaksa masuk ke ruang operasi lantaran pasien membludak gara-gara kecelakaan karambol yang terjadi dan menyebabkan banyak korban luka-luka. Cia mengembalikan perhatian pada perawat pria yang membawa korban penembakan. “Hentikan dulu pendarahannya, dan turunkan tekanan darahnya. Setelah itu cek Dokter Bella. Pasien harus segera masuk ruang operasi setelah tekanan darahnya turun. Aku akan memeriksa pasien ini lebih dulu.” “Baik, Dok.” Lalu Cia berlari menghampiri pasien—seorang wanita yang sudah pingsan. Dengan cepat Cia memeriksa kemudian memberikan tindakan yang diperlukan untuk menyelamatkan nyawa sang pasien. Ruang IGD terlihat begitu sibuk. Semua pekerja medis, baik beberapa dokter dan juga perawat—tidak ada yang sedang berpangku tangan. Semuanya bekerja seperti orang gila. Tidak satupun dari mereka memiliki waktu untuk bersantai selama empat jam terakhir. Pasien terus berdatangan, sementara tidak ada tambahan tenaga kesehatan. Semua ruang operasi penuh. “Dokter Cia, bantu aku sebentar.” Cia baru saja menyelesaikan tindakan pada seorang pasien dengan luka terbuka di lengan dan juga wajah—ketika seseorang meminta bantuannya. “Tolong bersihkan darahnya, dan periksa kondisinya setengah jam ke depan.” Cia memberi perintah pada seorang perawat wanita yang membantunya. “Baik, Dok.” Cia bergegas berdiri lalu melangkah cepat menuju dua ranjang dari pasien yang ditanganinya. “Gantikan aku sebentar. Aku harus melakukan intubasi.” “Baik, Dok.” Cia segera menggantikan seorang dokter pria yang semula sedang memberikan tekanan di d**a kiri korban. Dokter muda itu dengan cekatan memberikan tekanan pada jantung agar alat pemompa darah tersebut kembali bekerja dengan normal. Sementara dokter yang tadinya menangani pasien itu sudah berlari untuk mengambil peralatan yang dibutuhkan untuk melakukan intubasi. Sebuah tindakan medis yang dilakukan untuk membuka jalan napas dengan cara memasukkan tabung plastik fleksibel ke tenggorokan pasien. Cia terus menekan-nekan d**a sebelah kiri pasien. Wanita itu bahkan sudah naik ke atas ranjang pasien agar bisa lebih optimal melakukan pekerjaannya. Cia menghitung tekanan kedua tangannya, lalu menurunkan kepala untuk mendengarkan detak jantung pasien. Cia mengulang beberapa kali sampai akhirnya dia bisa mendengar suara detak jantung meskipun masih lemah. Wanita itu masih melanjutkan pekerjaannya sembari menghembuskan napas lega. “Dia sudah kembali, Dok.” Cia memberitahu sang dokter yang baru saja tiba dengan membawa beberapa peralatan yang dibutuhkan untuk melakukan intubasi. “Terima kasih. Sekarang, bantu aku memasang ini.” Dokter pria itu menunjukkan selang plastik di tangannya. Cia mengangguk. Turun dari ranjang, Cia mengusap keringat di kening dengan lengan snellinya. Tenaganya terkuras cukup banyak untuk bisa mengembalikan detak jantung sang pasien. *** Sementara itu, seorang anak berjalan sembari menoleh ke kanan kiri dengan wajah cemberut. “Apa kamu melihat nanny ku?” tanya anak yang tidak lain adalah Rion. Dia ditinggal di ruangan yang kosong sendirian. Dia takut. Akhirnya dia keluar untuk mencari Cia. Rion menahan seseorang dengan menarik jubah dokternya. “Nanny mu? Aku tidak tahu. Di mana orang tuamu? Kenapa kamu sendirian?” tanya wanita yang mengenakan jubah dokter tersebut, setelah memutar kepala dan melihat siapa yang menarik snellinya. “Nanny ku pakai pakaian seperti ini.” Rion menarik kembali snelli yang membungkus tubuh seorang dokter. Sang dokter mengernyit. Pakaiannya jelas seragam kebanggaan seorang dokter. Mana ada nanny yang memakai jubah dokter. Ada-ada saja, batin dokter itu. “Anak manis. Aku sekarang sedang sibuk. Banyak orang sakit yang harus kutolong. Aku tidak tahu dimana nanny mu. Sekarang, kembali pada orang tuamu, okey?” Dokter itu menarik lepas tangan Rion. Dia benar-benar sedang sibuk. Oh, tidak hanya dia, tapi semua dokter dan perawat di rumah sakit tersebut. “Tapi aku sendirian. Aku mau nanny ku.” Rion kembali meraih snelli sang dokter lalu menariknya. Sang dokter tampak kebingungan. Wanita itu mengedarkan pandangan mata—seolah sedang mencari seseorang. “Aku mau nanny ku!” Rion bersuara lebih keras hingga membuat dokter itu menurunkan pandangan mata. “Ayo … nanti biar resepsionis yang mencarikan nanny mu. Aku benar-benar sedang sibuk.” Dokter itu akhirnya menggandeng tangan Rion. Mengajak anak itu berjalan menuju meja resepsionis. “Rion ….” Yang memiliki nama, memutar kepala lalu mendongak. Sepasang mata anak itu membesar. “Papa!” Rion melepas tangan sang dokter dan langsung berlari menghampiri seorang pria yang sedang melangkah ke arahnya. Rion langsung menabrak tubuh sang papa. “Rion mau cari nanny.” “Nanny?” tanya Geraldo sambil membungkuk lalu mengangkat tubuh Rion dengan mudahnya. Pria itu menoleh ke samping. “Nanny Rion ada di mansion.” Eric bersuara. “Di mansion?” tanya Rion dengan kedua alis yang sudah berkerut. Apa dia ditinggal ke mansion? Melihat Eric menganggukkan kepala, sepasang bibir Rion mengerucut. “Papa … di mana rumah Rion?” Geraldo meneleng. “Kenapa bertanya begitu?” “Rion tidak tahu dimana rumah Rion.” Lalu anak itu menggaruk kepala. “Kenapa nanny ada di mansion?” bingung Rion. Sepasang mata anak itu mengerjap. “IGD sudah penuh. Semua dokter sibuk. Bahkan IGD sekarang diurus dokter muda yang baru bekerja 3 bulan. Sebaiknya pasien dibawa ke rumah sakit lain dari pada di sini tidak ada yang menangani. Tidak … tidak. Dokter Cia benar-benar sudah kewalahan mengurus banyak pasien di IGD.” Geraldo refleks memutar kepala ketika mendengar kalimat panjang tersebut. Seorang pegawai yang berdiri di balik meja resepsionis sedang berbicara melalui sambungan telepon. “Ada kecelakan beruntun, makanya semua dokter sekarang sedang sibuk. Termasuk wanita itu.” Eric yang memang berada di rumah sakit itu untuk menjaga Rion dan Cia, memberitahu Geraldo. “Ya ampun. Ini benar-benar gila. Mereka ternyata sudah tiba.” Wanita berseragam itu menurunkan telepon sambil mengomel. “Lalu bagaimana?” tanya seorang pegawai lain. “Aku tidak tahu. Aku tidak bisa membayangkan kondisi IGD sekarang.” Geraldo mengalihkan perhatian. Pria itu memindahkan tubuh Rion ke dekapan Eric. “Rion ikut Uncle Eric dulu.” Lalu pria itu menggeser bola matanya. “Bawa Rion pulang. Ada yang harus kulakukan di sini.” Yang diberi perintah menganggukkan kepala. Geraldo sudah akan memutar langkah ketika suara Rion membuatnya menoleh ke arah anak itu. “Papa … nanny miskin. Besok belikan nanny mobil. Rion tidak suka naik motor.” Tidak hanya Geraldo yang mengernyit bingung, namun juga Eric yang tidak mengerti maksud kalimat Rion. Ah, Eric tentu saja paham jika wanita yang bekerja sebagai pengasuh Rion memang miskin. Itu sebabnya dia bekerja. Tapi, dari mana Rion tahu? Rion bahkan belum bertemu dengan pengasuh barunya. Pengasuh lama sudah dipecat atas permintaan Rion sendiri. “Papa.” “Okey. Besok kita akan belikan nanny Rion mobil.” Masih dengan kening mengernyit, Geraldo menjawab. “Sekarang Rion pulang dulu bersama uncle Eric, dan jangan menyusahkan uncle Eric dan nanny baru Rion. Rion paham?” Melihat anggukan kepala Rion, Geraldo menatap Erick kemudian mengedik kepala. Meminta Eric untuk membawa Rion pergi. Begitu Eric melangkah bersama Rion dalam bopongannya, Geraldo memutar tubuh. Sepasang kaki panjang pria itu terayun. *** Cia menggelengkan kepala melihat hiruk pikuk di dalam ruang IGD. Sumpah, ini pertama kalinya dia bekerja tanpa henti, dengan berbagai macam pasien. Dan pertama kalinya dia diberi kepercayaan untuk mengurus ruang IGD setelah dokter yang bertanggung jawab harus meninggalkan IGD. Beruntung masih ada beberapa dokter yang membantu Cia di tempat tersebut. Meskipun harus dia akui—mereka semua keteteran. Cia menyelesaikan jahitan pada luka seorang pasien. “Dok, ruang operasi masih penuh. Tapi pasien yang perutnya tertembak sudah semakin lemah. Darah yang keluar terlalu banyak. Pelurunya harus segera dikeluarkan. Dokter Bella masih belum kembali dari ruang operasi.” Cia menelan saliva susah payah. Wanita itu memutar kepala—melihat tiga dokter yang bersamanya di tempat tersebut masih sibuk dengan pasien mereka masing-masing. Sementara dirinya sama sekali belum berpengalaman membedah pasien. Jika hanya luka kecil, dia bisa melakukannya. Tapi ini ...? “Dok, ini darurat. Pasien akan mati kalau dokter tidak segera mengambil tindakan.” “A-aku.” Cia merasa detak jantungnya meningkat berkali lipat lebih cepat. Dokter muda itu menarik napas panjang lalu menghembuskan perlahan. Cia beranjak dari tempat duduknya. Menatap sesaat pasien di atas brankar. Kedua tangan Cia terkepal. Sekali lagi wanita itu mengatur napas. “Baiklah.” “Biar aku yang melakukannya. Di mana pasiennya?” Cia mengedip sebelum memutar kepala ke arah datangnya suara berat namun seksi yang dimiliki oleh makhluk berjakun. Wanita itu kembali mengedip kala melihat sosok dengan tubuh tegap—berdiri di sampingnya. Pria itu melepas jas yang membalut tubuh tegapnya, hingga menyisakan kemeja putih pas badan yang tidak bisa menyembunyikan otot-otot perut pria itu. Tangannya bergerak melepas kancing di ujung bawah kemeja lengan panjang, kemudian menarik selembar kain itu ke atas--nyaris mencapai siku, hingga terlihat bulu tangan yang cukup lebat. “Dimana pasiennya?” Pria itu mengulang pertanyaannya. “Di-di sebelah sana.” Sang perawat menjawab sambil memutar kepala—menunjuk ke arah pasien berada. “Dokter Cia … ayo, kita selamatkan pasien itu.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD