Geraldo akhirnya bisa menghirup udara bebas setelah 1 x 24 jam harus tertahan di kantor kepolisian. Pria itu menghirup udara bebas banyak-banyak lalu menghentaknya keluar dari mulut yang sedikit dia buka.
Masih dengan memakai setelan jas dongker dengan aksen garis putih lembut yang nyaris tak terlihat, pria itu berderap menghampiri mobil sedan hitam yang terparkir di depan bangunan. Sepatu pantofel warna hitam yang membungkus sepasang kaki sang pengusaha—menghentak undakan semen ketika pria itu menuruninya sambil setengah berlari. Terlihat tidak sabar untuk segera sampai di mobil dengan pintu penumpang belakang yang sudah terbuka.
Geraldo segera masuk ke dalam mobil. Pintu tertutup dari luar. Pria itu melepas dua kancing paling bawah jas yang membungkus tubuhnya, lalu satu tangannya menarik keluar ponsel yang tersimpan di saku bagian dalam jas.
Pria itu tampak menarik napas panjang. Ponselnya disita pihak kepolisian selama 1x24 jam. Beruntung tidak ada hal penting yang tersimpan di dalam ponsel tersebut. Tak lama menggulir layar, ponsel menempel di telinga kanan pria yang sudah duduk menyandar. Wajahnya terlihat lelah, dan rambut gondrongnya sedikit berantakan. Pomade yang semula merapikan rambut pria itu sudah kehilangan fungsinya.
Mobil yang Geraldo tumpangi melaju keluar dari halaman kantor kepolisian. Pria itu menggulir bola mata ke arah potongan kaca berbingkai yang menggantung di depan pengemudi, sementara telinganya menunggu seseorang yang dia hubungi menjawab.
“Ya, Tuan.”
“Bagaimana? Apa kamu sudah menemukan putraku?”
“Sudah, Tuan.”
Geraldo menghembuskan napas lega. Pikirannya tidak tenang memikirkan kemungkinan putranya dalam bahaya.
“Dimana mereka?” tanya Geraldo lagi.
“Wanita itu membawanya ke rumah sakit, Tuan.”
“Apa ada yang mencurigakan? Orang-orang yang mungkin mengikuti mereka?”
“Sepertinya wanita itu berhasil mengecoh mereka, Tuan. Orang-orang itu menyatroni tempat tinggal wanita itu, tapi tidak ada yang menyatroni rumah sakit.”
Sekali lagi Geraldo menghembuskan napas lega mendengar penjelasan dari Eric. “Baiklah.” Geraldo memutar kepala ke samping—memperhatikan jalanan dari kaca samping. Ponsel sudah turun dari telinganya. Beberapa kali pria tersebut terlihat menarik panjang napasnya.
“Kita ke mansion,” perintah Geraldo tanpa memutar kepala ke depan. Sepasang mata pria itu menerawang jalanan yang dilewatinya.
***
“Apa-apaan kamu, Dokter Cia? Kenapa kerja bawa anak? Anak siapa itu?”
“Anak orang, Dok.” Cia menjawab. Jawaban yang membuat seorang dokter senior mendelik.
“Aku tahu dia anak orang, bukan anak monyet. Maksudku ... siapa orang tuanya? Kenapa kamu membawanya ke sini? Ini rumah sakit, bukan tempat bermain.”
Cia sudah akan membuka mulut untuk kembali menjawab ketika merasakan sikutan di lengannya. Refleks, dokter muda itu melirik ke samping. Menelan ludah kala melihat Norah mendelik—memberikan ancaman dari sorot tajam matanya.
Cia menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskan perlahan. “Maaf, Dok. Saya terpaksa membawa anak itu ke sini karena tidak ada yang bisa menjaganya. Saya janji dia tidak akan mengganggu pekerjaan saya.”
Cia menoleh ke arah Rion yang duduk sambil memutar-mutar kursi yang didudukinya. Seperti baru menemukan permainan baru. Kursi yang bisa berputar. Anak itu bahkan tertawa sendiri. Cia meringis. Wanita itu kemudian berdehem, sebelum mengembalikan perhatian pada sang senior.
“Hanya untuk hari ini saja. Besok tidak boleh lagi.”
Cia hanya bisa menghembuskan napas panjang begitu melihat sang dokter senior berbalik kemudian berjalan menjauh. Sepasang mata Cia masih mengikuti pergerakan wanita dengan snelli putih. Wanita yang sudah lebih dari 8 tahun bekerja di rumah sakit tersebut. Itu yang Cia dengar.
“Nanny, Rion bisa berputar.”
Cia menoleh. Meringis melihat tubuh Rion berputar di atas kursi. Anak itu tertawa sebelum memperlihatkan cengiran setelah putaran kursi berhenti.
“Anak siapa sih dia, Cia?” Norah sudah memiringkan tubuh agar bisa berbisik di telinga Cia.
“Aku juga tidak tahu.” Cia mengusap leher, sementara sepasang matanya masih mengawasi tingkah Rion.
“Kamu mengambilnya dari jalan?”
“Dari sekolahan.”
Norah terbengong mendengar jawaban sang teman. Lipatan mulai muncul di kening dokter tersebut. “Kamu menculiknya?”
Dengan cepat Cia memutar kepala. “Enak saja. Orang gila itu yang memintaku menjemput Rion—” Cia mengedip saat menyadari dia sudah bercerita terlalu banyak.
Sementara Norah masih menatap penasaran sang teman. “Siapa orang gila itu?” tanya Norah ingin tahu.
“Cia ...,” rengek Norah ketika Cia tidak menjawab pertanyaannya. Dia sungguh penasaran. Dua orang bertubuh bak para petinju itu masih menyatroni mess, hingga membuat beberapa penghuni ketakutan.
“Papanya.” Akhirnya Cia menjawab. “Please, jangan tanya lagi. Aku juga masih bingung mau kubawa kemana anak itu.”
“Dua orang itu masih menunggumu di mess. Kurasa dia bukan anak biasa, Cia.”
“Iya, dia memang bukan anak biasa. Dia anak manja, Norah.” Cia memukul pelan keningnya sendiri. “Bisa bankrut aku kalau papanya tidak segera menjemput anak itu.”
"Bukan itu maksudku. Biasa jadi--"
“Nanny … Rion mau minum.”
Suara Rion membuat perbincangan dua dokter itu berhenti bahkan sebelum Nora menyelesaikan kalimatnya.
Cia mendesah. “Kamu dengar itu? Sekarang aku punya pekerjaan sampingan. Aku pengasuhnya.” Cia berdecak kesal. Wanita itu kemudian menoleh ke arah Rion.
“Rion, di meja ada botol. Itu isinya minuman, okey? Kamu bisa minum sepuasmu.”
“Rion mau s*su, Nanny. Bukan air putih.” Rion memeletkan lidah.
“Aku tidak punya s*su. Tunggu papamu menjemputmu, baru kamu minta s*su padanya.” Cia menghembuskan napas pelan. Wanita itu meraih jas berwarna putih yang tersampir di kursi kemudian mengenakannya.
“Norah, tolong temani anak manja itu dulu. Aku harus menemani dokter Harvey visit. Kamu belum ada pekerjaan, bukan?”
“Ya sudah, sana pergi. Asal dia tidak ngompol aku tidak masalah.” Norah memutar tubuh Cia kemudian mendorongnya menjauh. Meminta sang teman untuk segera pergi. Wanita itu mendesah. Banyak pertanyaan yang mengganjal di dalam kepalanya, namun dia tahu dia tidak bisa menahan Cia saat ini. Pekerjaan mereka berhubungan dengan nyawa manusia.
Cia mengayun langkah menghampiri Rion. Wanita itu menarik napas panjang, lalu membungkuk. “Dengarkan aku Rion, anak pintar.” Cia tersenyum. “Aku harus bekerja. Tetap di sini.” Lalu Cia memutar kepala ke arah meja di depan Rion.
“Lihat ini. Kalau Rion lapar, makan ini. Kalau haus, minum ini.” Cia menarik mendekat tepak berisi makanan dan botol minuman. “Jangan minta yang tidak ada, okey?”
Rion mengedip beberapa kali. Bibir anak itu mengerucut. “Tapi Rion mau s*su,” cicit anak itu sambil menatap Cia dengan sorot mata polos yang membuat Cia mendesah.
Bagaimana dia bisa tega melihat ekspresi wajah polos dan memelas anak di depannya ini? Cia menghembus napas. “Baiklah. Nanti kita beli s*su—” Belum selesai Cia berbicara, Rion sudah terlebih dulu berteriak kegirangan.
“Aku belum selesai bicara, Rion.”
“Ayo, kita belu s*su.”
“Tidak bisa sekarang, Rion. Lihat, aku harus bekerja. Aku harus menyuntik anak-anak yang sedang sakit.”
Rion kembali mengedip. Namun anak itu tidak lagi merengek.
“Nanti. Setelah aku selesai bekerja, kita akan membeli s*su. Okey?” Cia mengusap puncak kepala Rion sebelum benar-benar meninggalkan anak itu.
***
Geraldo berdiri di depan beberapa orang.
“Mansion bersih, Tuan. Saya sudah memeriksa, tidak ada penghianat di dalam mansion.”
Geraldo mengalihkan tatapan pada pria lain yang berdiri di samping seseorang yang baru saja memberikan laporan.
“Pekerjaan berjalan sesuai rencana, Tuan. Tidak ada masalah.”
Geraldo kembali menggeser tatapan matanya. “Kami sudah berhasil mencari tahu dan menangkap orang yang memberikan tips pada petugas kepolisian.”
Kening Geraldo mengernyit. “Dimana orang itu sekarang?”
“Ada di tempat hukuman, Tuan.”
“Aku akan ke sana sekarang,” kata Geraldo yang detik selanjutnya langsung mengayun langkah lebar menuju tempat yang disebutkan oleh salah satu pengawal yang bekerja di mansion.
Beberapa orang dengan setelan jas berwarna hitam-hitam tersebut langsung berderap mengikuti sang tuan.
Seseorang membuka pintu besi kala melihat salah satu pemilik mansion berjalan mendekat.
Geraldo melangkah masuk ke dalam sebuah ruangan besar. Prai itu mengedarkan pandangan sebelum memutar langkah kemudian melanjutkan ayunan kakinya. Pria itu mendengkus melihat seorang pria dengan dua tangan terikat—digantung di tengah ruangan.
Wajah pria itu sudah tidak lagi bersih. Beberapa bagian wajahnya memar, dan bibirnya berdarah. Tubuh bagian atas yang tidak tertutup satu lembar benangpun—terluka bekas cambukan di beberapa tempat.
“Namanya Torry. Dia bartender di club malam tempat anda ditangkap.”
Geraldo mendengar informasi yang disampaikan oleh salah seorang bodyguard. Langkah pria itu berhenti di depan pria yang disebut bernama Torry. Geraldo memperhatikan wajah yang kini terangkat hingga Geraldo bisa melihat dengan lebih jelas.
“Apa kamu senang bermain-main denganku?” tanya Geraldo sambil menatap marah pria yang tubuhnya tergantung di depannya.
“Siapa yang menyuruhmu?”
Geraldo menarik ke belakang kakinya ketika pria yang tergantung di depannya justru meludah.
“Sialan.” Dengan cepat Geraldo melangkah ke depan lalu tangan kanan yang sudah terkepal—terayun keras menghantam sisi kiri wajah tawanannya. Tidak berhenti dengan satu pukulan meskipun tawanannya mengerang kesakitan, Geraldo menambahkan dua kali pukulan tangan kiri hingga suara erang kesakitan terdengar semakin keras.
“Ini akibat kalau kamu berani bermain-main denganku.” Geraldo menghentak keras karbondioksida keluar dari celah mulut yang ia buka. “Bertahanlah menutup mulutmu, dan akan kupastikan kamu merengek kematian padaku.”
Setelah menyelesaikan kalimatnya, Geraldo menoleh ke samping. Pria yang ditatap oleh Geraldo segera mengangguk, memutar tubuh lalu berlari menjauh. Tak lama berselang, pria itu sudah kembali dengan membawa dua botol cukup besar di kedua tangannya.
“Ini, Tuan.”
Geraldo menerima uluran botol dari tangan sang pengawal. Pria itu menatap sang tawanan sementara tangannya bergerak membuka tutup botol. Geraldo melempar asal tutup botol ke lantai.
“Ini sedikit hadiah dariku untukmu.” Lalu Geraldo menyiramkan isi di dalam botol ke wajah pria yang menggantung di depannya. Suara teriak kesakitan terdengar begitu cairan itu mengenai beberapa bagian wajah yang terluka.
Geraldo menyiramkan sisa cairan di dalam botol ke tubuh sang tawanan. Pria itu mengarah bagian tubuh yang terluka hingga erang kesakitan itu kembali terdengar memenuhi ruangan. Suaranya begitu menyakitkan di telinga yang mendengar.
Tubuh yang menggantung tersebut meronta—seolah dengan begitu dia bisa terlepas. Kulit wajah dan juga kulit tubuh yang terkena cairan dari dalam botol tersebut berubah merah, bankan sebagian terlihat melepuh.
Geraldo berdecih. “Itu hanya hadiah kecil dariku. Terus saja menutup mulutmu, dan kamu akan menerima hadiah-hadiah lain dariku.”
Geraldo mengembalikan botol yang sudah kosong pada pengawalnya. “Pastikan mendapatkan nama itu darinya. Jika dia masih tetap tidak mau bicara, kalian bebas menyiksanya.”
“Pedro, siapkan tiga orang. Aku akan menjemput putra dan calon istriku setelah mandi.”
“Baik, Tuan.”