bc

BEAUTIFUL SURRENDER (Dikejar Taipan Gila)

book_age18+
1.1K
FOLLOW
23.1K
READ
billionaire
dark
HE
badboy
mafia
bxg
enimies to lovers
like
intro-logo
Blurb

Sekuel MOMMY PILIHAN ELLIO.

***

LETHICIA ROSE ARKANE. Anak kedua dari Sebastian Arkane--pengusaha sukses yang terus mengembangkan bisnisnya dengan dibantu oleh putra jeniusnya Ellio Arkane.

Menjadi adik kesayangan seorang kakak down syndrom tapi jenius, membuat Cia—panggilan Lethicia, merasa terbebani. Sang kakak tidak pernah melepas pengawasan sedikitpun darinya, hingga Cia merasa terkekang.

Cia tidak pernah tertarik berbisnis. Wanita berusia 24 tahun itu lebih memilih menjadi seorang dokter. Dengan kecerdasan di atas rata-rata, Cia berhasil menjadi seorang dokter di usia yang masih muda.

Demi hidup bebas, Cia memilih mengabdikan kemampuannya di sebuah daerah terpencil di Ekuador. Jauh dari sang kakak dan keluarganya. Semua berjalan sesuai rencara Cia sampai kemudian satu panggilan telepon dari nomor tak dikenal—Cia terima.

***

“Halo.”

“Putraku dalam bahaya. Seseorang berniat membunuhnya. Tolong dia. Pergi ke sekolah St, Frankus dan sembunyikan putraku. Namanya Rion. Tolong. Tolong selamatkan dia. Aku akan mencari kalian setelah aku bebas.”

‘TUT! TUT! TUT!’

Dan setelah satu panggilan itu, hidup Cia tak lagi sama. Dokter muda itu tanpa sadar masuk ke dunia gelap yang digeluti oleh Geraldo Theodor Jaquine, pria berusia 34 tahun yang menjadi salah satu taipan, sekaligus bos mafia terbesar di tempat tersebut. Dan hidup Cia semakin kacau ketika Geraldo—seperti orang gila, terus mengejarnya tanpa henti.

“Ikut denganku sekarang.”

“Kemana?”

“Menikah denganku.”

Apa yang akan Cia lakukan saat impiannya untuk hidup bebas tak ia dapatkan? Akankah Cia bisa melepaskan diri dari si Taipan gila Geraldo Theodor Jaquine?

Dan apa sebenarnya tujuan Geraldo mengejar gila-gilaan wanita muda yang berprofesi sebagai seorang dokter umum tersebut? Apa dia memiliki motif tersembunyi?

Yuk, ikuti kisah Cia. Jangan lupa tap love lebih dulu.

chap-preview
Free preview
Bab 1. Panggilan Musibah
Cia menghembuskan napas lega setelah keluar dari ruang operasi. Tidak. Dia tidak melakukan operasi. Dia hanya diminta untuk membantu sang dokter bedah lantaran dokter lainnya sedang tidak berada di rumah sakit. Pukul 4 dini hari ketika dua orang korban tabrakan, dilarikan ke rumah sakit. Akhirnya, Cia mendapatkan pengalaman baru di dalam ruang operasi. Dokter muda yang masih mengenakan pakaian khusus tersebut menurunkan masker lalu menarik lepas penutup kepala. Langkah kakinya terhela menuju ruang istirahat. Dia benar-benar lelah. Masuk ke dalam ruang istirahat, Cia menghampiri meja tempatnya menyimpan ponsel. Dia yakin, ponselnya sudah penuh dengan panggilan tak terjawab dan juga pesan. Dari siapa? tentu saja dari keluarganya. Terutama, kakaknya yang super protektif. Ellio Arkane. Dengan wajah lelah, Cia meraih ponsel lalu melangkah ke sofa panjang. Dokter muda itu merebahkan tubuh di sofa panjang. Menggunakan tangan sofa untuk bantalan, lalu mulai menggulir layar ponselnya. Seketika Cia terkekeh. Tebakannya tidak salah. Cia menggelengkan kepala. “Ckckck … apa El tidak punya pekerjaan? Bisa-bisanya direktur utama punya waktu menerorku dengan banyak pesan. Ya ampun, El. Are you serious? 20 misscall? Astaga.” Cia kembali berdecak. Cia baru akan membalas satu dari banyak pesan, ketika satu deret angka muncul dan detik berikutnya—ponsel yang masih dalam mode getar itu, bergerak-gerak di tangan Cia. Nyaris saja Cia menjatuhkan ponsel karena terkejut. Sepasang mata Cia memicing. Nomor asing. Dia jelas tidak mengenali deretan angka tersebut. Cia ragu untuk menekan tombol terima. Wanita itu menghembuskan napas lega begitu ponselnya berhenti bergetar. Cia pikir hanya orang yang mungkin salah menekan nomor kontak. Cia sudah akan kembali pada pesan-pesan sang kakak, saat lagi-lagi ponsel di tangannya bergetar. Masih nomor yang sama. Akhirnya Cia menekan tombol terima. Dia hanya perlu mengatakan jika orang itu salah sambung. Itu yang Cia pikirkan. “Halo.” “Putraku dalam bahaya. Seseorang berniat membunuhnya. Tolong dia. Pergi ke sekolah St, Frankus dan sembunyikan putraku. Namanya Rion. Tolong. Tolong selamatkan dia. Aku akan mencari kalian setelah aku bebas.” ‘TUT! TUT! TUT!’ Sepasang mata Cia mengerjap cepat. Mulut sang dokter terbuka. Apa yang baru saja didengarnya? Apa dia sedang dalam mimpi, atau berhalusinasi? Suara nada sambung terputus yang masih terdengar, membuat Cia sadar jika dia tidak sedang berhalusinasi, ataupun berada di dalam alam mimpi. Lalu, apa yang tadi dikatakan oleh orang asing bersuara seksi itu? Ah, sial! Cia mengumpat dalam hati. Sang otak bekerja cepat memutar setiap kata yang terdengar beberapa detik lalu. Dengan cepat Cia bangkit dari posisi berbaring. Mengingat kata pembunuhan, jiwa sosial Cia meronta. Tubuh yang sebenarnya sudah begitu lelah, tetap saja bangkit lalu berjalan cepat menuju ruang ganti. *** Pria yang berada di balik jeruji besi itu menyerahkan kembali ponsel pada sipir penjara. “Apa pengacaraku sudah datang?” “Belum. Mungkin tidak akan datang. Kali ini anda akan benar-benar mendekam di balik jeruji besi, Tuan Geraldo Theodor Jaquine.” Pria di balik jeruji besi menatap tajam sang sipir yang sedang tertawa. Sebelah alis pria dengan wajah tegas dan tatapan tajam mengintimidasi tersebut terangkat, lalu detik selanjutnya, pria itu menyeringai. “Benarkah?” Suara derap langkah cepat terdengar hingga membuat sang sipir dan pria yang memiliki nama Geraldo Theodor Jaquine itu mengalihkan perhatian mereka. “Ada apa?” tanya sang sipir begitu melihat salah satu teman jaganya menghampiri. “Pengacara tuan Geraldo sudah datang. Dia ingin bicara dengannya.” Pria itu mengedik ke arah sosok dengan setelan jas berwarna hitam yang masih berdiri di balik besi penjara. Geraldo tersenyum miring ketika kepala sang sipir berputar ke arahnya, lalu tatapan mereka bertemu. Sipir itu berdecak kesal. Meskipun begitu, sang sipir tetap menarik keluar anak kunci dari saku celananya, lalu memasukkan salah satu dari banyak anak kunci tersebut ke dalam lubang di tengah pintu. Suara putaran anak kunci terdengar dua kali, disusul suara derit besi yang kurang pelumas, hingga memekakkan telinga—ketika sang sipir menarik pintu tersebut. “Keluarlah.” Geraldo melangkah keluar dari sel. Pria itu mengusap debu yang menempel di jas mahalnya. “Mari, ikut saya, Tuan.” Sipir yang baru datang, membimbing jalan Geraldo. “Sudah kukatakan, kalian tidak akan bisa membuatku mendekam di dalam tempat kotor sialan ini,” kata Geraldo ketika langkah kakinya berhenti, dan pria itu menoleh ke arah sang sipir yang terlalu percaya diri akan melihatnya berada di dalam sel dalam waktu yang lama. Geraldo menepuk bahu sang sipir sambil memperlihatkan senyum yang membuat sang sipir menahan geraman. Pria itu kemudian mengayun langkah mengikuti petugas lapas yang lain. Membiarkan seorang yang masih berdiri di tempatnya, mengumpat berkali-kali. *** Cia memarkirkan motor di depan bangunan sekolah St. Frankus. Melepas helm, wanita yang berprofesi sebagai dokter itu mengedarkan pandangan mata. Sepi. Cia kemudian berjalan cepat menuju aula sekolah. Rion. Dia harus menemukan anak bernama Rion. Mendengar suara mobil, Cia memutar kepala ke belakang. Sebuah sedan berwarna hitam melaju masuk ke halaman sekolah. Langkah kaki Cia sempat tertahan. Dengan sepasang mata memicing, Cia memperhatikan ketika mobil tersebut berhenti, lalu pintu terbuka. Cia mengedip cepat melihat seorang pria dengan tubuh besar keluar dari pintu di samping pengemudi. Wanita itu menelan ludah. Bayangan adegan-adegan penculikan di film action yang sering ditontonnya, berkelebat. Secepat kilat Cia berlari masuk. Bola mata wnaita itu bergerak meliar mencari-cari dimana dia bisa menemukan anak bernama Rion itu. Suasana sekolah sepi. Anak-anak masih berada di dalam kelas. Cia berlari menghampiri seorang wanita dengan pakaian rapi yang bisa dia tebak salah satu guru di tempat tersebut. “Maaf, di mana kelas Rion?” “Rion?” “Iya, Rion. Cepat beritahu saya.” Cia menoleh ke belakang. Dia bisa melihat pria bertubuh besar itu sedang berjalan ke arahnya. “Tolong Miss. Ini masalah hidup dan mati.” “Rion Alexander Jaquine?” “Iya,” sahut asal Cia. Dia mana tahu nama lengkap Rion. Yang penting ada Rion nya. “Oh, itu … kelasnya di sebelah sana. Pintu ke dua.” Sang guru menunjukkan. Cia menganggukkan kepala. “Terima kasih.” Wanita itu sudah akan kembali mengayun kaki saat mengingat sesuatu. “Ah, tolong jangan beritahu apapun jika ada orang lain yang bertanya tentang Rion. Ini masalah hidup dan mati.” Lalu Cia berlari meninggalkan sang guru yang terbengong sambil mengikuti kepergian dokter tersebut dengan sepasang matanya. Tanpa mengetuk, Cia mendorong daun pintu di depannya. Napas wanita itu sedikit memburu. Cia mengedip ketika semua tatapan terarah padanya. Sadar, Cia langsung bergegas masuk. “Rion Alexander Jaquin. Papamu memintaku menjemputmu. Sekarang.” Cia mengedarkan mata--memperhatikan satu per satu wajah anak laki-laki di dalam kelas tersebut. Dalam hati menerka yang mana anak bernama Rion. “Ada apa ini?” Seorang wanita berjalan menghampiri seseorang yang tiba-tiba menerobos masuk ke dalam ruang tempatnya mengajar. “Maaf, Miss. Urgent. Saya minta izin membawa Rion sekarang.” Cia menatap memohon sang guru. “Benar-benar penting.” Suara derit kursi terdengar hingga membuat Cia dan sang guru menoleh bersamaan. Seorang anak laki-laki berusia 8 tahun berdiri dengan tas yang sudah menggantung di kedua bahunya. Anak itu kemudian melangkah keluar dari balik meja. “Saya permisi, Miss.” Anak itu dengan sopan membungkuk. Menegakkan kembali tubuhnya, anak itu menoleh lalu menatap Cia. “Ayo, Nanny. Papa pasti sudah menungguku.” Nanny? Kalau saja otak Cia tidak sedang membayangkan penculikan yang mungkin akan terjadi, dia pasti akan mencerca anak kecil yang seenaknya saja menyebutnya nanny. Cia menatap kesal sepasang mata yang mengerjap polos. Sialan, batin Cia dalam hati. Cia menarik sebelah tangan Rion lalu menoleh ke arah sang guru. “Kami permisi, Miss. Oh iya, kalau ada orang lain yang mencari Rion—tolong jangan katakan apapun.” Cia tersenyum lalu sedikit membungkuk sebelum menarik tangan Rion dan melangkah lebar keluar dari ruang kelas tersebut. Keluar dari ruang kelas Rion, refleks--Cia melirik ke samping ketika ujung matanya melihat pergerakan. Pria dengan tubuh besar itu terlihat sedang bicara dengan seseorang. Celaka—batin Cia. Wanita itu memutar langkah lalu berderap cepat. “Ayo, kita harus cepat. Kamu bisa lari, kan?” “Aku sudah bilang papa, aku tidak mau nanny lagi.” “Keluhkan itu pada papamu nanti. Sekarang kita harus pergi dari sini. Ayo, cepat atau aku akan menyuntikmu nanti.” Cia mengancam. Wanita itu kemudian sedikit menyeret Rion hingga akhirnya anak tersebut ikut berlari dengannya.

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook