Sabar Mblo!

1646 Words
Selamat malam . Ada yang rindu Vines? . Vines Up . Semoga suka . Jangan lupa Votement'a Agar author tahu kalian semua suka ceritanya atau nggak . Nggak sulit kok cuman tekan ☆ doang Kalau sudi comment juga boleh, biar author makin semangat . Happy reading . . . . Aku semakin mendekat, mengikis jarak di antara kami hingga ... Kruyuukk kruyuukk kruyuukk Aku terdiam begitu juga dengan Ines, kami saling tatap. Bunyi apa itu? Kenapa harus berbunyi disaat seperti ini, bukan hanya dua makhluk mengesalkan itu yang tak rela aku bahagia, si cacing tampaknya juga tak ingin aku bahagia, bisa kali bunyinya nanti, kenapa harus sekarang? Dasar cacing nggak ada akhlak, mentang - mentang nggak sekolah, bisa seenakya sendiri. "Bapak lapar? Perut bapak bunyi." Kata Ines. Rasanya saat ini juga, aku ingin menghilang dari hadapan Ines. Ya ampun, rasanya malu sekali, seumur - umur baru kali ini aku dalam situasi seperti ini, di depan wanita yang perlahan sedang aku jinakkan. "Mmm ... i ... iya, saya lapar, temani saya makan ya." Kataku gugup masih menatap Ines. Ines mengangguk, "Lepasin saya dulu pak." Kata Ines lagi, tapi aku malah menggeleng. Aku juga nggak tahu, kenapa malah menggelengkan kepalaku untuk memberi jawaban pada Ines. "Kenapa?" "Seperti ini saja ya, nyaman, hangat dan ... " "Bapak!" Ines berteriak, mendorong tubuhku dan karena terkejut dengan teriakannya, tanpa sengaja aku melepas pelukan tanganku di pinggangnya, dan akhirnya ... Bruuugghhh "Awww, PAK VINO!!!" Teriak Ines lagi, membuatku berjingkat kaget, dia menatapku, nafasnya naik turun seperti orang yang baru saja lari. Sumpah, Ines seram sekali, tatapan matanya membuatku bingung sendiri harus berbuat apa. Ya ampun, aku sudah menjatuhkannya, aku sudah melakukan kesalahan lagi, bisa - bisa Ines benaran mengundurkan diri. Oh tidak! Jangan sampai Ines mengundurkan diri, aku belum siap patah hati dan galau karenanya, lakukan sesuatu Vino. Aku langsung berjongkok, untuk membantu Ines berdiri, tapi tanganku langsung di tepis. "Maaf, kamu sih pakai dorong saya, jatuhkan jadinya." Ines makin garang menatapku, "Saya dorong bapak, karena bicara bapak sudah ngawur, tapi bapak malah jatuhin saya." "Nggak sengaja Nes, refleks karena kaget." Kataku jujur, aku mengulurkan tanganku "Ayo, saya bantu berdiri." Lanjutku lagi, tapi Ines menyingkirkan tanganku dan berdiri sendiri, perlahan berjalan menuju meja makan sambil terus mengusap pantatnya, membuatku mau tak mau jadi tersenyum melihat tingkahnya. Seperti ini saja, aku sudah bahagia, padahal berantem terus, apalagi kalau bisa sayang - sayangan. Ya ampun, jiwa jombloku sampai meronta - ronta ingin segera pensiun. Sabar mblo! akan ada waktunya kamu pensiun, tapi nggak sekarang, bantu aku menaklukannya dulu. Aku berjalan menyusul Ines menuju meja makan, meski wajahnya cemberut tapi tetap saja dia mengambilkan nasi, mendekatkan sayur sop buatannya dan juga menuangkan air putih untukku. "Kamu nggak makan?" Tanyaku dan dia menggeleng. "Kenapa? Marah sama saya?" Tanyaku lagi. Ines menatapku, "Kenyang." Jawabnya singkat dan aku hanya mengangguk saja, tak ingin memaksa dia untuk makan, tapi aku punya cara agar dia makan, seulas senyum terbit di bibirku. Aku menyendok sayur sop, menyatukannya dengan nasi yang sudah berada di depanku. Aku memasukkan satu sendok nasi yang sudah bercampur sayur sop, aku langsung terdiam dan menatap Ines. Ines yang mungkin merasa aku tatap, juga menatapku balik. "Kenapa? Nggak enak?" Tanya Ines, wajahnya terlihat panik. "Keasinan." Kataku. Ines langsung mengambil sendok dan mencicipi sayur sop buatanya. "Nggak, enak ko, pas semua." Jawabnya. "Bukan di mangkuk, tapi di piring saya." Ines pun menyendok sayur yang berada di piringku dan mencicipinya, "Nggak, sama kok, lidah bapak error tuh." Katanya. "Masa? Coba saya cicipi." Aku menyendok lagi dan langsung memasukkannya ke dalam mulutku dan mengunyahnya. "Wah iya, ini enak banget rasanya Nes." Kataku berusaha menahan tawa, melihat wajah cengo Ines. "Bapak ngerjain saya ya?" Aku menggeleng, "Buat apa ngerjain kamu, saya bicara jujur kok, sepertinya kita harus makan satu piring berdua." Kataku membuat Ines langsung melotot. "Kenapa satu piring berdua?" "Biar sampai habis tetap enak lah, mau ya makan satu piring berdua dengan saya." Kataku menatapnya. "Nggak!" Tolaknya dengan lantang membuatku geregetan. "Kalau makan sendiri nggak enak, nanti nggak habis 'kan sayang." Kataku. "Kalau nggak habis tinggal di buang." "Ya ampun Ines, kata Mommy saya makanan yang di buang bisa nangis loh, terus memangnya kamu nggak lihat orang di luaran sana ada yang kelaparan ingin makan, sedangkan kita yang ada makanan malah di buang? Pikir dong Nes, ya ampun masa harus saya jelaskan." Sumpah aku geli sendiri mengatakan itu semua, apalagi dengan lebaynya aku mendramatisir setiap katanya. Ayolah Vino, kamu ini pejuang cinta yang dikejar banyak wanita, masa ingin makan satu piring berdua dengan Ines saja nggak bisa, masa harus terus - terusan kalah dengannya. "Lah itu tau, kalau begitu enak nggak enak tetap di habiskan, jangan ada yang di buang." Jawabnya santai. Sial! Bisa saja Ines kasih jawaban, ayo cari cara lagi Vino biar bisa makan sepiring berdua dengannya. Sumpah, tiba - tiba saja lagu jaran goyang, yang setiap hari di putar Ali di ruang kerja jadi terngiang di telingaku. Jurus yang sangat ampuh, teruji, terpercaya Tanpa anjuran dokter, tanpa harus muter-muter Cukup siji solusinya, pergi ke mbah dukun saja Langsung sambat, "Mbah, saya putus cinta!" Kalau tidak berhasil pakai jurus yang kedua Semar mesem namanya, jaran goyang jodohnya Cen rodok ndagel syarate penting di lakoni wae Ndang dicubo mesti hasil terbukti kasiate gejrot Dam-dudidam, aku padamu, I love you I can't stop loving you, oh, darling Jaran goyang menunggumu Ya ampun, gila - gila saking frustasinya sampai berpikir seperti itu, syukurnya aku masih waras dan punya iman, jadi berjuang pakai otak cerdasku saja, ayo Vino gunakan otak cerdasmu, lawan Ines hingga titik pelaminan. Aku menatap Ines, "Pokoknya saya nggak mau tau, kamu harus makan satu piring dengan saya, tak ada bantahan, tak ada penolakkan." Kataku. "Idih memaksa, kalau saya bilang nggak ya sampai kapan juga nggak." Jawabnya. Keras sekali gadis nakal ini, rupanya harus pakai ancaman yang pastinya tak akan bisa di tolaknya, kamu salah melawanku Nes, kamu punya seribu cara menolak, maka aku punya sejuta cara untuk menjebakmu. Aku menatapnya dan tersenyum, "Pilih makan satu piring bersama saya atau ... " aku sengaja menggantung kalimatku. Ines menatapku, menaikkan satu alisnya sama persis seperti Mommy dan Vina, "Atau apa?" Tanya Ines, wajahnya terlihat panik. Aku tersenyum, "Atau saya bawa kamu ke dalam kamar, kita tidur satu ranjang ... mmm bukan tidur tapi saya akan ... " "Oke, makan satu piring." Jawab Ines cepat, sebelum aku menyelesaikan kalimatku. Ines langsung berpindah duduk di sampingku, mengambil sendok, menyendok makanan di piringku dan langsung memakannya. Aku ingin sekali tertawa, sumpah wajah panik Ines lucu sekali, aduuhh gemas banget, coba sudah sah Nes. Tuh 'kan, pikiranku jadi traveling kemana - mana. "Kenapa bapak nggak makan? Saya sudah tiga sendok." Katanya, aku tersenyum. "Iya, ini makan." Jawabku sambil menyendok makanan. Eko memang benar, masakkan Ines memang enak, rasanya benar - benar juara, mirip seperti masakkan Mommy, di mall dia berbohong katanya nggak bisa masak. Sepertinya, aku akan sering meminta Ines untuk memasak, tentu harus dengan strategi agar dia mau. Jika langsung memintanya untuk masak, sudah pasti dia akan menolaknya. Ines wanita pertama selain keluargaku yang berani menolak apa yang aku perintahkan, dia benar - benar harus bisa aku jinakkan, dia harus jadi milikku, harus! Titik. Makan satu piring berdua ternyata enak juga, sepertinya aku juga akan ketagihan dengan ini. Tinggal cari cara dan momen yang pas, agar Ines tak bisa menolaknya. Selesai makan Ines membereskan meja makan, "Taruh diwastafel saja Nes, nggak usah di cuci, biar nanti saya yang cuci." Kataku, tapi Ines diam saja dan mencuci piring dan gelas yang kotor, biarkan sajalah, suka - suka dia saja. Aku berjalan menuju sofa, menyalakan TV, mencari acara yang bagus "Pak saya mau pulang, sudah malam." Aku menoleh ke samping kanan, Ines berdiri di sana menatapku. Aku melirik jam sudah jam 9 malam, kenapa rasanya nggak rela banget ya Ines pergi dari sini. "Sudah malam, tidur di sini saja." Kataku, tapi Ines langsung membuka lebar mata indahnya. "Nggak! Saya mau pulang, lagian masih sore." Jawabnya lantang, menolak permintaanku. "Kita nggak tidur satu kamar, saya juga masih waras Nes, kamu tidur di kamar satunya, kalau takut saya masuk kunci saja." Kataku. "Nggak pak! saya mau pulang." "Bisa nggak sih Nes, sekali saja jangan mendebat saya?" "Bisa nggak sih pak, sekali saja jangan memaksa saya?" Heh, apa itu bukannya menjawab malah membalik pertanyaanku, gadis nakal ini benar - benar ya. "Saya lelah, ingin istirahat." "Silakan, saya nggak melarang, saya juga nggak minta di antar, saya hanya berpamitan pada pemilik rumah, Assalamuallaikum." Ines langsung melangkah keluar apartemenku. "Ineeesss." Aku menggeram kesal, kenapa gadis itu susah sekali menuruti keinginanku, mau tak mau aku segera menyusulnya, aku juga tak tega membiarkannya pulang sendirian apalagi sudah malam seperti ini. Saat aku sudah keluar, Ines tak terlihat mungkin sudah masuk lift. Aku pun berjalan menuju lift, menekan tombol menuju bassment untuk mengambil mobil. Aku mengemudikan mobil keluar bassment, mataku terus mencari keberadaan Ines tapi gadis nakal itu tak terlihat. Kemana perginya? Kenapa cepat sekali, tak mungkin Ines mendapatkan ojek atau taxi dengan mudah di sini, aku tahu pasti daerah sini kalau sudah jam 8 malam akan susah mencari taxi atau ojek. Pelan, aku melajukan mobil sambil sesekali mataku mencari keberadaan Ines. Aku segera mengambil ponsel, mendial nomornya, aktif tapi tidak di angkat, ya ampun gadis nakal itu benar - benar membuatku khawatir saja. Kalau sampai terjadi sesuatu dengannya, aku tak akan bisa memaafkan diriku sendiri. Aku mendial nomornya lagi, tapi tetap sama tak juga di angkatnya. Aku terus melajukan mobilku dengan pelan, mataku masih sama tengok kanan kiri mencari keberadaan gadis nakal itu. Hingga tatapan mataku berhenti di satu titik keramaian, di seberang jalan sana. Aku langsung menepikan mobilku dan segera keluar dari mobil untuk lebih memastikannya lagi dan ternyata benar, mataku tak salah melihat. "Ines." . Terima kasih Yang sudah memberi Votement . . Ada yang mau di sampaikan sama : Ines? Vino? . Bagaimana part kali ini? . . Jika suka karyaku jangan lupa tambhkan ke library + follow my Acc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD