Ines Menangis?

1844 Words
Selamat malam . Up Vines . Ramaikan dengan Votement kalian . Semoga suka . Happy reading . . . . Alvino Putra Abhimanyu Aku duduk di sofa depan TV saat menunggu Ines memasak, aku sengaja menyuruhnya masak, menurut Eko manager cafe di mana Ines bekerja, masakannya enak dan di sukai beberapa pelanggan yang biasanya tiap weekend datang, aku jadi penasaran seenak apa masakan gadis nakal itu. Bel apartemen berbunyi, aku segera melangkah ke pintu untuk melihat siapa yang datang dan saat pintu terbuka, ternyata tamu tak ada akhlak, yang tak aku harapkan kedatangannya malah masuk begitu saja, saat pintu baru terbuka, aku sampai tersingkir. Tamunya, siapa lagi jika bukan pasangan suami istri yang selalu membuatku naik darah, tapi sayangnya aku juga sangat menyayangi mereka, karena sudah menjadi bagian dari hidupku, Alvina dan Ganendra. "Bisa nggak sih yang sopan di rumah orang, jangan asal masuk!" Teriakku. "Wow." Suara adik iparku membuatku berdecak kesal, pasti mereka berdua berpikir yang macam - macam karena Ines berada di dalam apartemenku, apalagi dia sedang memasak di dapur. Vina dan Nendra menatapku, lalu tersenyum. Senyum yang dengan amat sangat jelas menggodaku. "Nggak usah mikir aneh - aneh, Ines cuman bantu belanja bulanan dan gue lapar makanya minta dia masak." Jelasku, Vina dan Nendra masih tersenyum. Lalu, "Oohhh." Kata mereka tersenyum sambil mengangguk berkali - kali, sangat jelas 'kan jika mereka sedang menggodaku. "Kalian ngapain ke sini? Tumben amat." Tanyaku sambil bersedekap dan menyender pada tembok menatap mereka berdua. "Kita di suruh Mommy, katanya abang di telfon susah, di chat juga nggak pernah di balas, tadi ke polres tapi katanya sudah pulang, ya sudah kita datang ke sini dan pas di sini ternyata ... " Vina menaik turunkan kedua alisnya sambil terus tersenyum. "Vina, abang nggak suka ya lu berpikir macam - macam, bilang sama Mommy, abang sehat dan baik - baik saja, sudah pulang sana." Usirku pada dua manusia di depanku ini. "Nggak! Vina lapar dan mau cobain masakan calon kaka ipar." Kata Vina membuatku terkejut, anak ini bisa merusak semua rencanaku, main bilang kakak ipar segala lagi. "Vina! Jangan aneh - aneh deh, Ines sekretaris abang, bukan calis abang!" Kataku, mataku menatap Ines yang saat ini terlihat muram, maaf Nes terpaksa aku bilang begitu, sebenarnya aku sudah yakin dan mantap jika kamu calisku, calon ibu bhayangkariku, calon ibu yang akan melahirkan anak - anakku, tapi untuk saat ini aku tak ingin gegabah, pelan namun pasti aku akan meraih hatimu Nes, tunggu mamas melanarmu Nes. "Ya sudah, kalau mbak Ines hanya sekretaris, kenapa abang sepanik itu? Biasa saja keleus." Jawab Vina sambil berjalan menuju meja makan, Ines sendiri masih berdiri, diam mematung menatap kami. Aku tahu, jika Ines sudah tak nyaman, aku harus bisa mengusir dua makhluk ini, tapi bagaimana caranya? Kalau hanya Nendra saja, pasti dengan amat sangat mudah aku tarik dia keluar, masalahnya Vina, aku keras sedikit saja padanya, aku bisa jamin tak akan butuh waktu lama apartemenku bakal di grebek pasukan family D2R, bisa amsyong 'kan, pikirkan Vino, gunakan otak cerdasmu. "Vina!" Panggilku dan dia menoleh, mengangkat satu alisnya, sebagai jawaban apa? Sumpah ya, kalau Vina sudah mengangkat satu alisnya itu, persis banget sama Mommy, sinis pakai banget, bikin merinding disko. "Kamu jadi minta abang belikan tas?" Tanyaku, ya aku ada ide agar dia keluar dari apartemenku, aku ingat seminggu yang lalu Vina menunjukan foto tas terbaru dan dia minta aku untuk membelikannya, tapi aku menolak karena harganya 35jeti. Jelas aku menolak, tak ada gunanya tas sekecil itu dengan harga selangit, sling bag yang sering aku pakai saja cukup seratus ribu, perjaka harus rajin nabung, buat persiapan kawinin anak orang, jadi bukan pelit ya, ingat itu. Vina menatapku, dia tampak berpikir, aku harap - harap cemas menantikan jawabannya. Harusnya tak perlu berpikir, karena aku tahu dia belum membelinya, jika sudah beli pasti saat ini dia pakai dan pamerkan padaku. "Nggak!" Jawabnya, membuatku melongo. "Kenapa? Bukannya kamu mau tas itu? Abang beliin sekarang juga, bagaimana?" Aku menatap Vina yang masih diam, semoga saja dia mau menerimanya. Lihat lah Nes, demi kamu bahkan aku rela melakukan apa saja, asal kamu nyaman dan pastinya biar kita bisa berduaan saja. "Vina nggak mau." Jawabnya lagi, membuatku frustasi, harus pakai cara apalagi untuk membujuknya. "Terus maunya beli apa?" Tanyaku. Vina tampak berpikir dan tak lama dia menyeringai, membuatku makin was - was menantikan jawabannya. "Mini countryman john cooper works." Jawabnya yang langsung membuatku syok, dia sendiri tersenyum, senyum yang sungguh sangat menyebalkan, untung sayang kalau nggak, sudah aku tukar tambah di marketplace. Adik iparku yang berdiri di sampingku, langsung cekikikan mendengar jawaban dari istrinya yang sudah membuatku syok. Benar - benar ya, pasangan yang satu ini selalu saja menguji kesabaranku. "Heh, gila lu ndro, mobil abang saja nggak segitu mahalnya, minta noh sama laki lu." Kataku kesal. Sebenarnya beli lima saat ini juga aku mampu, tapi buat apa? Aku di didik Ayah untuk tidak memamerkan kekayaan, biasa saja tak perlu wah, yang penting kantong tebal. Vina langsung tertawa, "Ya sudah, kalau nggak mau belikan. Biarkan Vina tetap di sini, mencicipi masakkan calon kakak ipar." Aku benar - benar di buat kesal, ingin berduaan saja bersama Ines nggak bisa, padahal aku sudah pusing memikirkan cara, agar bisa membawa Ines ke apartemenku, tapi dua makhluk ini malah mengacaukannya. Aku menatap Nendra, dengan bahasa isyarat yang hanya manggut - manggut dan geleng - geleng, meminta bantuannya untuk membujuk princess Abhimanyu yang super ngeselin ini. 'Please Ndra bujuk bini lu keluar dari sini' 'Nendra takut bang' 'Please hanya lu yang bisa' 'Oke, Nendra coba' 'Semangat Ndra' Kurang lebihnya seperti itulah percakapan antara aku dan Nendra dengan bahasa isyarat. "Sayang, kamu lupa ya? kita harus ke rumah mamah, pasti mamah masak banyak karena kita mau datang, kalau makan di sini nggak bisa makan masakkan mamah, kasihan 'kan sedih." Kata Nendra, berjalan menghampiri istrinya yang sudah duduk manis di meja makan. Vina menepuk keningnya, "Ya ampun, Vina lupa mas, saking bahagianya ketemu calon kakak ipar." Kata Vina membuatku mendengus kesal, apa - apaan Vina ini, dari tadi kakak ipar melulu yang dia katakan. Kalau Ines sampai menjauhiku, karena terpengaruh perkataan Vina, awas saja. Jangan sampai, aku belum mengungkapkan perasaanku, tapi Ines sudah keburu menjauh. Sekarang saja, dia sudah mulai menjauh, jika aku tak pintar menjebaknya, sudah pasti aku tak akan bisa melihat Ines berada di apartemenku. "Mbak Ines, kita belum kenalan 'kan? Tapi Vina sudah tahu tentang mbak Ines, biar makin afdol sebagai calon ipar, mari kita berkenalan dulu sebelum Vina pergi, aku Alvina Putri Abhimanyu yang sudah berganti menjadi Alvina Bhadrika Mahya, karena sudah menikah dengan pria tampan di sampingku ini yang bernama Ganendra Bhadrika Mahya, Vina kembaran dari bang Vino, kami kembar tapi beda nasib, jodoh Vina cepat datang sedangkan jodoh bang Vino nyangkut entah di mana, semoga mbak Ines bisa berjodoh dengan bang Vino." Kata Vina sambil menyodorkan tangannya. Sumpah, aku makin dibuat kesal sama semua yang Vina ucapkan pada Ines, perkenalan macam apa itu, dasar Vina! kalau saja dia bukan kesayanganku, sudah aku lakban mulutnya yang nyerocos nggak berhenti - henti. Ines menyambut tangan Vina, "Saya Dineschara Gantari Mahika, biasa di panggil Ines, senang bisa berkenalan dengan Ibu Vina." Kata Ines yang langsung membuatku tertawa. Lihatlah wajah kembaranku, yang sejak tadi jahil saat ini langsung asem, lebih asem dari mangga muda kesukaan bumil yang ngidam. "Ko ibu sih mbak,Vina masih muda jangan panggi Ibu." "Ma ... maaf, saya ..." "Sudahlah, Vina pergi, kalau kapan - kapan ketemu lagi jangan panggil Ibu, tapi cukup Vina saja, paham?" Kata Vina dan Ines mengangguk patuh. Ya ampun, lucu sekali dua wanita di depanku ini, kalau mereka berdua bisa di satukan dalam ikatan keluarga pasti bakal lebih seru, sepertinya Ines lawan yang cocok buat Vina, jika mereka berdua sudah dekat, pasti Ines tak akan canggung seperti saat ini dan bisa membalas seluruh perkataan Vina, yang selalu membuat semua orang tak bisa menjawabnya. Aku jadi makin semangat untuk menaklukkan Ines, agar bisa menjadi milikku. "Vina pamit bang." Kata Vina masih cemberut, seperti biasa dia mencium punggung tanganku dan aku mencium keningnya yang selalu sukses membuat suaminya kesal. "Iya, hati - hati di jalan, salam buat papah dan mamah mertua kamu." Kataku dan Vina mengangguk, Vina bersalaman dengan Ines begitu juga dengan Nendra. Aku mengantar mereka sampai keluar pintu apartemen, lega rasanya dua makhluk itu sudah pergi, sekarang saatnya aku berduaan dengan Ines. Sumpah, jantungku langsung berdegup kencang, aku berjalan menuju meja makan di mana Ines masih berada di sana, namun langkahku langsung terhenti saat melihat Ines yang duduk di meja makan dan menelungkupkan wajahnya, tubuhnya bergetar. Apa Ines menangis? Kenapa dia menangis? Aku langsung mendekatinya, menyentuh bahunya dan ya dalam jarak sedekat ini, aku bisa mendengar isak tangisnya. "Ines, kamu kenapa? Kenapa menangis? Apa saya melakukan kesalahan?" Tanyaku panik, sambil mengusap bahunya pelan. Ines mengangkat kepalanya dan menatapku, "Saya salah ya pak, panggil Ibu sama adik bapak? Apa adik bapak marah sama saya? Apa bapak akan pecat saya, karena sudah membuat adik bapak marah?" Tanya Ines di sela isak tangisnya. Oh, ternyata itu penyebab kenapa gula jawaku ini menangis, lucu sekali sih kamu Nes, bikin aku geregetan deh. Aku mengambil tisu, mengusap air matanya, "Sudah jangan menangis, ingus kamu sampai keluar nih." Kataku sambil menahan tawa, aku sengaja memecah suasana, agar Ines tak lagi sedih. Ines memukul bahuku, "Bapak! Saya serius, kenapa malah bercanda!" "Saya juga serius, itu ingus kamu keluar loh, makanya saya bersihkan, takut lewat bibir kamu nanti asin lagi." Kataku yang sudah tak lagi bisa menahan tawa. "Pak VINO!" Teriak Ines, membuatku makin tertawa. "Kamu nggak salah dan Vina juga nggak marah, tenang saja, Vina memang begitu, sama seperti kamu, judes." Kataku setelah sekuat mungkin berusaha menahan tawa, tapi langsung mendapat cubitan di lenganku. "Awww, sakit Ines!" Kataku sambil mengusap bekas cubitannya, asli no hoak - hoak club, cubitan Ines benar - benar sakit dan rasanya sangat panas, sama seperti Mommy. "Biarin." Jawabnya jutek. "Kamu nggak kasihan sama saya?" "Nggak!" "Tega banget kamu Nes, sudah jangan menangis, sudah jelek makin jelek lagi." Kataku dan Ines menatapku tajam, seram sekali tatapan Ines. "Sudah tahu saya jelek, kenapa di suruh jadi sekretaris bapak?" Tanya Ines dengan wajah garangnya. "Karena saya mau." Jawabku santai. "Mulai saat ini, saya mengundurkan diri, karena saya jelek nggak pantas jadi sekretaris bapak, permisi!" Katanya sambil berdiri dan melangkah pergi, meninggalkan aku yang masih terkejut dengan semua perkataanya. Apa dia bilang? Mengundurkan diri? Tak akan aku biarkan Ines, aku segera berdiri mengejarnya bertepatan dengan tangan kanan Ines yang akan membuka pintu, aku menarik tangan kirinya, hingga tubuhnya menabrak tubuhku, tanganku yang lain memeluk pinggangnya. Mata kami saling bertemu dan saling mengunci, sumpah jantungku langsung kebat kebit tak karuan, bisa sedekat ini bersama Ines, bisa memeluk tubuhnya. Gelenyar aneh kini mulai aku rasakan, rasanya, ya ampuuuuunn rasa apa ini, apa ada yang bisa menjelaskan? Aku semakin mendekat, mengikis jarak di antara kami hingga .... . . Hingga apa hayo? Ada yang tahu? . Ada yang ingin di sampaikan untuk Vino? Ines? Atau pasangan paling mengesalkan Vindra? . . Terima kasih . Yang sudah memberi Votement . . Bagaimana part kali ini? . . Jika suka karyaku jangan lupa tambhkan ke library + follow my Acc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD