Selamat Pagi
.
Vines Up
.
Semoga suka
.
Jangan lupa Votement'a
Agar author tahu kalian semua suka ceritanya atau nggak
Nggak sulit kok cuman tekan ☆ doang
Kalau sudi comment juga boleh, biar author makin semangat
.
Happy reading
.
.
.
.
"Ines."
Aku segera mengunci mobil dan berlari menyebrangi jalan, menghampiri gadis nakal yang sudah membuatku kelimpungan mencarinya, dan ternyata dia berada di sini. Aku segera menarik tangannya, menjauh dari keramaian.
"Loh, heh! Pak Vino?" Ines mungkin terkejut karena tiba - tiba saja ada yang menarik tangannya, lebih kaget lagi saat tahu akulah pelakunya.
Aku menatapnya dengan berkacak pinggang, rasanya kesal sekali dengan dia ini.
"Bapak kenapa di sini?"
"Kamu sendiri, kenapa di sini?"
Bukannya menjawab, dia malah nyengir seakan tanpa dosa, membuatku berkali - kali mendengus kesal.
"Saya penasaran lihat keramaian orang yang ngantri, pas lihat ternyata kue bantal dan s**u jahe yang lagi viral itu, ya sudah saya ikut antri karena penasaran sama rasanya." Jawabnya yang membuatku gregetan.
"Gara - gara kue bantal sama s**u jahe, kamu bikin saya jantungan tahu nggak? Saya kira kamu kenapa - napa, saya sampai pusing cari kamu, mana telefon juga nggak di angkat, punya ponsel buat apa?" Kataku kesal.
"Maaf, saya nggak tahu kalau bapak cari saya." Jawabnya sambil menunduk, kalau sudah begini mana tega aku lanjutin marah - marahnya, meski masih kesal tapi ya sudahlah, toh dia baik - baik saja.
"Kamu mau kue bantal sama s**u jahe?" Tanyaku, tapi Ines menggeleng.
"Kenapa?" Tanyaku lagi, bukannya tadi dia bilang ngantri karena penasaran, kenapan aku tawarin malah menolak.
"Saya, mau pulang pak." Jawabnya lesu, oke aku salah sudah marah dengannya tadi, aku sudah berlebihan karena rasa khawatir. Aku menarik tangannya, membawanya kembali ke gerobak penjual kue bantal dan s**u jahe.
"Permisi." Kataku saat sudah di depan gerobak, semua mata menatapku.
"Maaf boleh saya minta di dahulukan? Istri saya sedang ngidam ingin segera makan kue bantal dan s**u jahenya, sebagai ganti kalian semua yang sudah mengantri saya bayarin." Kataku, Ines menggenggam erat tanganku tapi tak aku pedulikan, biarlah membayar semua orang yang suda antri, asal bisa dapat cepat, karena antrian masih panjang, bisa sampai jam berapa kalau ikut ngantri.
"Silahkan mas."
"Silahkan."
"Wah suami idaman banget, rela keluarin banyak duit demi istri tercinta."
Aku hanya tersenyum saja mendengar celotehan mereka semua, setelah menerima kue bantal dan s**u jahe, aku segera melunasi semua p********n, menarik tangan Ines menuju mobilku di seberang jalan.
"Masuk!" Kataku saat sudah membuka pintu mobil untuknya, Ines mengangguk dan memasuki mobil, aku pun menyusulnya untuk masuk ke dalam, baru kali ini aku membuka pintu mobil untuk wanita, seumur - umur hanya keluargaku saja, selamat Ines kamu wanita pertama dan semoga juga satu - satunya.
Masuk ke dalam mobil, aku menatapnya yang masih saja menunduk, "Makan, nanti keburu dingin nggak enak, saya sudah susah payah beli buat kamu."
"Saya nggak minta dibeliin." Jawabnya, membuatku mau tak mau mengusap d**a, ya Allah beri hamba kesabaran yang lebih untuk menghadapi gadis nakal yang satu ini.
"Saya yang mau, sebagai permintaan maaf karena sudah memarahimu." Kataku tulus.
"Oh." Jawabnya, kemudian mengambil kue bantal dan mulai memakannya, luar biasa gadis nakal yang satu ini, sabar Vino.
"Kamu nggak ada gitu, niatan buat nawarin saya?" Tanyaku karena dia asik makan sendiri, Ines menatapku dan menggeleng.
"Bapak 'kan orang kaya, mana doyan makanan seperti ini." Jawabnya, sambil kembali memasukkan kue bantal ke mulutnya yang pedas.
"Terserah." Kataku sambil melajukan mobil, "Jangan makan terus, kasih tahu jalannya, saya bukan cenayang yang ... "
"Bawel!" Potong Ines sambil memasukkan potongan kue bantal ke mulutku, kurang asem nih Ines.
"Bagaimana? Enak?" Tanya Ines, meski kesal aku mengangguk saja sambil sesekali meliriknya, enaklah Nes apalagi di suapi rasanya berkali - kali enaknya.
"Lagi." Kataku.
"Oke." Jawabnya, menyuapiku lagi.
Ines menyuapiku sepanjang perjalanan menuju kosnya, aku sesekali meliriknya, ya ampun manis sekali kalau sedang nurut begini, aku kan makin lope - lope Nes.
Mobil berhenti tepat di depan kos - kosan sederhana yang berjejer lima pintu, aku menatap Ines, nggak salah dia tinggal di sini? Kos kecil? Padahal aku yakin gajinya cukup untuk menyewa rumah atau yang lebih besar dari ini, sepertinya aku harus mencarikan tempat tinggal baru, bila perlu satu apartemen meski beda lantai tak apa, karena lantai yang aku tempati hanya ada dua unit.
"Kamu sudah lama tinggal di sini?"
Ines mengangguk, "Tiga tahun sih ada." Jawabnya.
"Ya sudah sana turun, betah banget di mobil saya." Kataku, Ines terlihat mencebikkan bibir sexynya, bikin aku ngiler saja pengin gigit.
"Lama - lama bapak makin kepedean, terima kasih sudah mengantar saya, Assalamualaikum." Pamit Ines dan keluar dari mobil.
"Waalaikumsalam." Jawabku, menatapnya yang saat ini sudah berada di depan pintu kamar kos dan tak lama memasukinya. Aku tertawa melihat segala tingkah ajaibnya itu, biar ngeselin tapi entah kenapa aku malah menyukainya, dia gadis yang sangat berbeda dengan yang lainnya.
Aku kembali melajukan mobil untuk kembali ke apartemen, hari ini rasanya puas sekali bisa berlama - lama dengan Ines.
***
Pagi sebelum berangkat ke polres aku menghubungi Joko, memintanya untuk mencarikan unit yang kosong di gedung apartemen yang aku tempati, juga sekalian memindahkan Ines hari ini juga, aku mau Ines pindah dari kosannya.
Baru juga sampai ruangan, Ali langsung masuk dan melapor ada perampokan di toko emas, dua tim sudah di terjunkan. Aku langsung memakai rompi anti peluru dan berlari keluar bersamaan dengan Ali yang datang membawa mobil.
"Mari Ndan." Ajak Ali, aku hanya mengangguk saja, memasuki mobil, Ali mengemudi mobil dengan kecepatan tinggi.
"61, lima anak kijang bawa sepi."
"Dua anak kijang medan demak, segera kirim palang hitam, timor kupang ambon."
"Siap, meluncur timor kupang pati."
Timku memang bisa di andalkan, dalam sekejap sudah bisa diatasi.
"Pelan saja Li, sekalian nunggu Inafis sama labfor." Kataku.
"Siap Ndan."
Mumpung di mobil hanya berdua bersama Ali, sepertinya aku penasaran ingin mengorek informasi mengenai Ines dari Ali, aku yakin Ali bisa di percaya menjaga mulutnya dan dia juga sudah tahu jika aku tertarik pada Ines, berulang kali Ali sering menggodaku dengan membawa - bawa nama Ines.
"Li."
"Siap."
"Nggak usah serius, santai saja."
"Hehehe maaf Ndan kebiasaan." Jawabnya.
"Ada yang mau saya tanyakan."
"Boleh, pasti soal Ines ya?" Jawab Ali sambil tersenyum, benar 'kan dia tahu kalau aku tertarik dengan Ines, apa saja di hubungkannya dengan Ines. Tapi karena Ali benar, aku mengangguk saja sebagai jawaban ya.
"Ines sudah punya pacar?" Tanyaku dan dengan kurang ajarnya Ali malah tertawa, aku geplak saja tangannya, berani sekali dia menertawakanku.
"Siap salah, setahu saya nggak punya Ndan, coba nanti saya tanyakan." Jawab Ali sambil berusaha menahan tawa.
"Ya jangan dong Li, kalau kamu tanya, terus dia tahu bisa makin besar kepala, galaknya nggak nahan Li." Kataku jujur dan Ali kembali tertawa.
"Galak tapi suka Ndan."
"Itu dia, saya juga bingung kenapa bisa suka sama dia, padahal dibilang cantik ya nggak terlalu, kalau galak iya, tapi kenapa saya suka ya Li."
"Rasa suka dari hati tak memandang fisik Ndan, tenang saya bantu buat cari informasi mengenai Ines, serahkan sama saya semua rahasia aman." Jawabnya dengan percaya diri.
"Benaran nih?" Tanyaku dan Ali mengangguk.
"Saya akan berusaha semaksimal mungkin, demi cinta saya sama Ines." Aku langsung melotot mendengar jawaban Ali, dan Ali langsung nyengir, "Siap salah, maksudnya demi cinta pak Vino sama Ines." Ralat Ali langsung.
"Siiipp, ingat ya Ines cintaku, bukan cintamu." Kataku yang langsung di angguki Ali.
Sampai di TKP sambil menunggu tim inafis yang masih belum sampai, entah nyangkut di mana mereka, aku mengambil ponsel karena sejak tadi terus bergetar, saat aku lihat, ya ampun chat dan panggilan masuk dari satu wanita sampai ratusan, pasti Joko sudah mengatakan semuanya pada Ines, itu sebabnya dia memberondong begitu banyak chat dan panggilan. Biarlah, nanti saja kalau bertemu, lewat ponsel sudah pasti aku akan kalah debat dengannya, masa iya di depan anggota aku debat sama Ines, yang benar saja.
Tak lama tim Inafis datang, ada Ipda Kinanti, wanita cantik yang konon katanya jadi rebutan para perwira, tapi dia justru terus caper padaku dan aku seperti biasa, menganggapnya hanya sebatas rekan tak lebih.
"Apa kabar, Ipda Kinanti nggak nyangka ya bisa bertemu di sini." Sapaku.
Ipda Kinanti tersenyum, "Siap, Alhamdulillah baik pak Kasat, makin tampan saja nih, ada ya satu minggu kita tidak bertemu."
Aku hanya tersenyum saja mendengar perkataannya, karena memang begitu kenyataannya jika aku makin tampan di usiaku yang boleh di bilang tak lagi muda, pesonaku masih kuat menarik para wanita, dan benar sekali ada satu minggu aku tidak bertemu denganya.
"Bripda Umar, panas - panas begini minum es kayaknya nes nes nih." Suara Ali menggelegar, membuatku menoleh, s****n si Ali bilang nyes saja pakai ganti nes, awas lu Li.
"Berisik, kerja." Kataku yang langsung berjalan masuk ke dalam mengikuti tim Inafis.
"Steril?" Tanyaku.
"Siap, steril."
"Dari CCTV anak kijang tujuh ndan."
"Tujuh? Sisir?"
"Siap, sudah."
Kemana yang dua, kenapa hanya lima, aku masih memikirkan yang dua tiba - tiba saja Briptu Sherly berlari dari lantai dua.
"Ada apa?" Tanyaku langsung.
"s**l, lapor Dua anak kijang di rooftop."
"Empat ikut saya ke atas, lainnya menyebar di luar." Kataku memberi perintah, saat naik ke atas tangga aku baru menyadari Briptu Sherly tidak memakai rompi anti peluru.
"Briptu Sherly." Dia menatapku.
"Pakai ini." Kataku sambil menyerahkan rompi yang aku pakai.
"Tapi."
"Sudah pakai, lain kali jangan sampai kelupaan." Kataku yang langsung berlari ke atas.
Dor
Dor
Dor
Baku tembak tak terelakan lagi, aku bersembunyi pada tembok membidik salah satu diantara mereka.
Dor
"Aww."
Kena, tepat sasaran mengenai tangannya.
"Ampun, menyerah." Kata salah satu dari mereka, saat ini mereka sudah kehabisan amunisi.
Aku keluar dari persembunyian, masih menodongkan s*****a, "Rupanya kalian di sini, nggak mau ikut teman - teman kalian?" Kataku menatap sinis dua anak kijang yang sedang kelimpungan, mencari jalan untuk kabur.
"Geledah." Kataku yang langsung di laksanakan anggota.
Aku berjalan mendekat, karena mereka sudah dipastikan tidak memegang apapun.
"Bawa." Kataku, sambil balik badan.
Tapi ...
"Awas ndan." Aku terkejut menoleh ke belakang.
Jleb
"s****n!" Ali membabi buta memukuli anak kijang yang menusukku, hingga harus di tarik tiga anggota.
Ya benar, saat ini aku tengah menahan sakit karena perutku di tusuk, entah dapat dari mana pisau itu, tadi saat di geledah sudah tidak memegang apapun.
"Ndan." Ali mendekat, memangku kepalaku.
"Nggak papa Li, saya masih hidup." Kataku sambil tertawa memegang perut, padahal sakitnya ampuuun dah.
Tak lama anggota lainnya, berdatangan dan mengangkat tubuhku, membawa ke mobil, Ali entah sibuk telfon siapa.
"Ndan saya sudah telefon pak Dhika, semua siap di UGD, pesan pak Dhika jangan tutup mata ya ndan."
"Mata saya gelap Li."
"Tetap bertahan Ndan, demi Ines cintaku."
"s****n lu Li." Kataku, mataku rasanya sudah sangat berat, hingga gelap yang aku rasakan.
"Ndan, buka mata ndan." Panggilan dan guncangan Ali masih bisa aku dengar dan aku rasakan, sayangnya mataku sudah sangat berat.
***
Terima kasih
Yang sudah memberi Votement
.
.
Bagaimana part kali ini?
.
.
Jika suka karyaku jangan lupa tambhkan ke library + follow my Acc