Selamat malam
.
Up Vines
.
Semoga suka
Jangan lupa Votement'a
Happy reading
.
.
.
.
Aku benar - benar tak menyangka bisa menatap wajah wanita cantik di depanku ini dengan sangat dekat, siapa yang nggak kenal dia coba, artis papan atas tanah air yang sudah membintangi banyak sinetron dan film, aku sangat suka dengan aktingnya, dia idolaku, Deraya Saraswati.
Aku menatap pak Vino yang saat ini sedang menatap mbak Deraya, sepertinya ada sesuatu nih, coba kita lihat akan ada adegan apa setelah ini, aku cukup jadi penonton saja.
"Apa kabar mas?" Tanya mbak Deraya dengan senyum manisnya, setelah beberapa saat terdiam saling tatap dengan pak Vino.
"Baik." Aku kembali menatap pak Vino, jawabannya singkat padat dan jelas, bahkan wajahnya datar tanpa senyum sama sekali, benar - benar lelaki satu ini nggak bisa basa basi sedikitpun, artis loh di depannya, tapi sok banget pak Vino ini.
"Belanja? Sama siapa? Calon istri ya mas?" Tanya mbak Deraya lagi, suaranya benar - benar lembut dan mendayu.
Apa? Calon istri? Yang benar saja, aku calon istri pak Vino ini, bisa - bisa tua sebelum waktunya, atau lebih parahnya mati muda karena selalu di buat kesal olehnya.
"Saya ... "
"Ya, dia calon istri saya, kenalkan Ra namanya Ines, sayang kenalkan dia Dera, kamu kenal 'kan? Artis papan atas tanah air." Jawabnya memotong perkataanku, jawaban yang membuatku syok apa lagi dengan senyum manis, tatapan mata yang membuat detak jantungku kian cepat, di tambah tangannya dengan sangat nakal melingkar di pinggangku, menarik tubuhku lebih rapat dengannya.
Saat dia bicara, aroma mint langsung memenuhi rongga hidungku, tatapan matanya benar - benar membuatku tak bisa berkata apa - apa lagi. Ya ampun, pak Vino yang super ngeselin ini benar - benar tampan, bukan hanya tampan tapi sangat tampan.
"Sayang." Katanya lagi, membuatku kembali tersadar.
"Eh, apa? Gimana maksudnya?" Tanyaku bingung, sumpah aku bingung dengan adegan ini, rasanya awkward pake banget.
"Kamu kenapa sih sayang, bikin mas makin gemas deh." Katanya sambil menarik ujung hidungku, seperti kekasih yang sedang gemas pada kekasihnya.
Kekasih? Yang benar saja, mana mungkin ke kekasih, mimpi kamu Nes. Tadi, apa? Mas? Nggak salah, aku panggil dia mas? Rasanya aku ingin sekali tertawa, ini atasanku kenapa coba, benaran salah minum obat atau dia sedang acting di depan mbak Deraya? Sepertinya memang benar, mereka berdua ada sesuatu, mungkin lebih tepatnya, pernah ada sesuatu di antara mereka berdua.
"Perkenalkan, saya Deraya." Mbak Deraya mengulurkan tangannya, mengajakku berkenalan. Ini serius? Seorang Ines di ajak kenalan sama artis papan atas tanah air? Ingin rasanya aku berteriak, 'bu, pak lihat nih Ines ketemu artis idola ibu bapak, ngajak kenalan lagi'. Bahagia? Pasti dong, di ajak kenalan artis loh, aku bahkan langsung tersenyum sangat manis pada mbak Deraya, tapi saat melihat wajah asem pak Vino membuat senyum di bibirku yang baru saja mengembang, jadi kuncup lagi deh.
Aku menyambut tangan mbak Deraya, "Salam kenal mbak Deraya, saya Ines." Jawabku, sumpah tangannya halus dan empuk banget, itu tangan nggak pernah buat cabut singkong, atau paling nggak masak di dapur apa ya, benar - benar mulus, beda dengan tanganku yang sejak kecil sudah di pakai buat bertani membantu bapak, atau nguplek di dapur dari jam tiga pagi bantu ibu jualan nasi bungkus, bubur dan lontong setiap pagi.
Mbak Deraya tersenyum, "Kapan pengajuan mas? Jangan lupa undang Aya yah." Katanya lagi dengan lembut.
Apa tadi? Aya? Panggilan sayang pak Vino kah? Sepertinya memang benar kalau mereka pernah ada sesuatu di masa lalu, mungkin belum selesai atau selesai karena terpaksa, soalnya pak Vino ini 'kan buaya darat, pasti mbak Deraya selalu makan ati, mending ati ayam enak bisa bikin perut kenyang, lah ini makan ati yang bikin sesak di d**a, mbak Deraya pintar karena ninggalin buaya darat ini.
"Maaf mbak De ..." jawabku, berniat memberi penjelasan kalau dia sudah salah paham, kami bukan sepasang kekasih, hanya sebatas atasan dan bawahan, tapi ...
"Siap, tunggu saja." Jawab pak Vino lagi dan tangannya bukan hanya sampai pinggangku saja, tapi melingkar hingga ke perut, membuatku risih.
Mbak Deraya tersenyum dan mengangguk, senyum yang terlihat seperti kecewa, apa lagi saat matanya menatap tangan pak Vino yang melingkar di tubuhku. Aku jadi nggak enak sama mbak Deraya, ini pak Vino niat banget sih bikin mbak Deraya sedih.
"Kalau begitu Aya duluan ya mas, duluan ya Nes."
"Iya mbak, hati - hati di jalan." Aku menganguk dan tersenyum, sedangkan pak Vino hanya diam saja tanpa ekspresi apa - apa, ini orang kenapa sih bikin penaran saja deh.
Setelah mbak Deraya tak terlihat lagi, aku segera memukul tangan pak Vino yang nakal itu.
Plak
"Aww, kenapa di pukul?"
"Untung cuman saya pukul, kalau ada pisau saya potong itu tangan, berani sekali sentuh saya." Ujarku emosi.
Pak Vino malah tertawa, "Kalau di potong nggak bisa genggam tangan kamu." Jawabnya berbisik di telingaku, tersenyum lalu pergi meninggalkan aku yang diam terpaku karena bingung dengan perkataannya.
Genggam tangan? Maksudnya apa sih itu orang, bikin makin bingung saja deh, mungkin benar pak Vino salah minum obat.
Aku berjalan mengikutinya yang sedang mengambil barang - barang yang di butuhkan.
"Kamu bisa masak." Kata pak Vino tiba - tiba.
Itu maksudnya tanya apa gimana sih, mau bilang tanya nada dan raut wajahnya seperti bukan tanya, jawab nggak saja lah.
"Nggak!" Jawabku, padahal aku bisa lah masak, sejak dari kecil bantu ibu masak buat jualan, aku sudah terbiasa dengan dapur dan segala macam bumbunya.
Pak Vino berdecak, sambil berkacak pinggang, "Kamu bisanya apa sih? Apa saja serba nggak bisa! Saya nggak mau tahu, kamu harus masakin saya, saya mau sop ayam, sana belanja bahan - bahannya." Katanya, ya ampun mentang - mentang atasan seenaknya saja kalau nyuruh.
"Kan bisa beli pak, buat apa susah - susah bikin."
"Beli mahal, saya lagi irit, lagi rajin nabung buat modal nikah, paham?"
"Bukan irit tapi pelit." Kataku dan pak Vino langsung membuka lepar mata sipitnya, jadinya lucu deh, mata sipit di paksain melotot, tetap saja nggak bisa lebar seperti mataku.
"Kalau nanti nggak enak jangan protes." Kataku sambil melangkah pergi, menuju sayur mayur.
Aku memilih bahan - bahan untuk sayur sop sesuai permintaan pak Vino. Apa semua sekretaris sepertiku ini, rasanya bukan sekretaris lagi tapi IRT.
Selesai belanja, aku dan pak Vino langsung menuju parkir mobil dan pak Vino melajukannya entah mau kemana, mungkin ke rumah dr. Dhika, nggak apalah mereka sudah tahu jika aku sekretaris pak Vino, mereka juga sudah mengenalku sejak insiden motor aku yang kena begal.
Tapi, kenapa belok kiri, rumah pak Vino 'kan masih lurus, ini mau kemana? Aku langsung menatap pak Vino yang sedang serius nyetir, sumpah dia tampan banget pakai kacamata hitam, jantungku serasa ada di dekat sound system dangdutan pas ada orang hajatan di kampung, ngebass banget.
"Ilernya di usap." Kata pak Vino sambil mengusap bibirku menggunakan tisu. s**l! Ketahuan 'kan, bodoh banget kamu Nes, pasti atasan kamu ini kepedean deh.
Aku mencebik, "Bapak terlalu percaya diri, siapa juga yang ngiler, ini mau kemana sih? Saya masih ingat loh rumah bapak, jangan bilang mau culik saya!"
Pak Vino mendengus, "Ngapain saya culik kamu, nggak doyan saya, lagipula nggak ada untungnya culik kamu yang ada buntung sih iya."
Entah kenapa ada denyutan nyeri di sudut hatiku, sadar Nes dia atasanmu jangan pernah bermimpi lebih dengannya, jangan mengaguminya sampai berlebihan hingga dirimu tak bisa lepas darinya, sepertinya aku harus sadar diri dan membangun benteng tinggi agar rasa ini tak semakin dalam.
"Iya, saya sadar diri ko, culik saya nggak ada untungnya, ini mau kemana memangnya?" Tanyaku, rasanya sudah tak bersemangat lagi.
"Apartemen."
"Apartemen? Ngapain?"
"Kamu lupa? Masak buat saya lah."
"Maksud saya kenapa di apartemen, kenapa nggak di rumah bapak, 'kan ada bu Forza sama bibi yang bisa ngajarin saya."
"Saya tinggal di apartemen, kamu googling saja cara bikinnya bagaimana, jaman sudah modern nggak usah bingung tanya resep."
"Kalau tahu begitu, kenapa bapak nggak masak sendiri saja? 'Kan bisa googling."
"Bawel banget sih kamu, tinggal turutin perintah bos saja susah amat."
Aku mecebik kesal mendengar jawabannya, sudahlah turuti saja, aku malas debat lagi dengannya, kalau sudah masak aku bisa cepat pulang buat kerja di cafe. Kerja? Ya ampun, aku sampai lupa jika harus kerja di cafe.
"Pak masaknya kapan - kapan saja ya, saya lupa harus kerja di cafe, ini sudah terlat."
Pak Vino menggeleng, "Hari ini kamu nggak usah masuk, saya sudah minta izin manager kamu."
"Izin? Kapan? Bapak jangan bohong deh, dari tadi bapak nggak pegang ponsel."
"Tadi saat di cafe, saat kamu belum datang."
Kalau sudah jadi bos begini amat ya, apa saja yang di mau bisa di dapat dengan mudah, sudahlah turuti saja.
Mobil memasuki bassment, setelah parkir aku berinisiatif membawa barang belanjaan tapi sama pak Vino nggak di bolehin, malah di kasih access card, aku di suruh membuka pintu saja. Oke, tumben baik banget atasanku ini, aku pikir yang akan membawa seluruh belanjaan aku, ternyata pak Vino sendiri.
Sampai di lantai 32 pak Vino memintaku membuka pintu nomor 805, mentang - mentang bos sampai nomor apartemen juga bisa di baca bos. Aku menempelkan access card dan tak lama pintu terbuka.
"Ini pak." Kataku menyerahkan acces card.
"Pegang saja, jaga baik - baik jangan sampai hilang." Jawabnya sambil melangkah ke dalam. Tunggu, maksudnya apa ini? Kenapa aku di kasih access card.
"Buruan masak Ines saya sudah lapar!" Teriakan pak Vino menyadarkanku dari rasa bingung karena di beri access card. Aku berjalan mendekati pak Vino yang sedang menata belanjaan di dalam kulkasnya.
Gila, apartemen bos gede banget, dapurnya saja kinclong begini, ini seperti bukan apartemen, gedenya melebihi rumahku yang di kampung.
"Di suruh masak, malah bengong." Kata pak Vino lagi, aku berjalan menghentakkan kaki, rasanya kesal berkali - kali dimarahin terus.
Aku langsung mengambil sayur dan memotongnya, ayamnya sedang di cuci pak Vino, aku jadi tersenyum melihat pak Vino yang memakai celemek dan memotong ayamnya, auranya benar - benar beda, seperti bukan pak Vino yang aku kenal, pak Vino sangat sexy.
"Pak."
"Hmm."
"Ini access card buat apa ya? Kenapa saya di kasih?"
"Kamu 'kan sekretaris saya, jika sewaktu - waktu saya butuh bantuanmu buat ambil pakaian atau berkas atau apapun di sini jadi lebih mudah, soalnya kadang saya tidur di polres lupa bawa ganti, atau kadang dadakan harus keluar kota, jadi kamu pegang dan jangan sampai hilang." Jawabnya, aku hanya mengangguk saja.
"Apa pak Joko juga punya?" Tanyaku penasaran, pak Vino menatapku.
"Buat apa?" Aku mendengus, bukannya jawab malah balik bertanya.
"Pak Joko 'kan orang kepercayaan bapak, masa saya yang baru di kasih access card apatemen bapak, pak Joko yang sudah lama nggak."
"Joko sama kamu beda, dia asisten dan kamu sekretaris." Jawab pak Vino sambil kembali mencuci ayam.
"Bedanya apa? Bukannya, lebih penting assisten ya pak buat urus semua keperluan pribadi bapak, kalau sekretaris hanya urusan kantor saja, setau saya begitu."
"Bedalah."
"Bedanya?" Tanyaku, pak Vino kembali menatapku.
"Banyak perbedaannya dan kamu nggak perlu tahu, nanti makin pintar." Jawabnya sambil menyunggingkan senyum dan kembali mencuci ayam.
Aku mendengus kesal, bisa - bisanya jawaban itu yang di keluarkan, bukannya kalau aku pintar dia juga yang senang, aku sebagai sekretarisnya nggak malu - maluin 'kan.
Aku tak melanjutkan obrolan, aku mulai membuat bumbu, menguleknya dan menumis, pak Vino berkali - kali bersin saat aku memasukkan lada, aku jadi tertawa.
"Sudah bapak tunggu saja di sana, tenang saja nggak akan saya racun." Kataku dan pak Vino mengangguk, berjalan meninggalkanku menuju sofa yang masih bisa aku lihat karena dapurnya tidak ada sekat pembatas, dapur modern punya holang kaya beda sama dapurku di kampung.
Aku melanjutkan masak, tak lama terdengar suara bel pintu yang berbunyi menandakan ada tamu yang datang, jantungku langsung berdetak kencang, siapa tamunya? Jangan - jangan keluarganya? Mampus, kalau beneran keluarganya mau tatuh di mana muka aku.
"Bisa nggak sih yang sopan di rumah orang, jangan asal masuk!" Teriak pak Vino, siapa tamunya? Kenapa sampai berteriak seperti itu, mataku melihat siapa tamu yang datang, mampus Nes, doraemon mana doraemon aku butuh pintu ajaibnya buat ngilang saat ini juga.
"Wow." Teriak si tamu, aku hanya bisa tersenyum canggung.
Terima kasih
Yang sudah memberi Votement
.
.
Bagaimana part kali ini?
.
.
Jika suka karyaku jangan lupa tambhkan ke library + follow my Acc