16. Strategi Jero ?

1007 Words
Gween melirik ke meja dimana Jero berada. Tak ada perubahan, keduanya masih di sana. Kadang tertawa, kadang berbicara sangat serius. Gween tidak tahu apa yang mereka bahas hingga berjam-jam lamanya. Bahkan hingga jam kerja Gween hampir habis. "Mau segelas kopi?" Reza tiba-tiba muncul dan menawarkan sesuatu. Gween menoleh, lalu tertawa kecil sembari menerima sebuah cup yang diulurkan oleh pria itu. Reza memang terkenal baik dan ramah pada semua karyawan yang ada, terlebih pada Gween yang telah mencuri hatinya. "Besok bisa temani saya?" tanya Reza tiba-tiba. Gween yang sedang menyesap kopinya mengangkat sebelah alis bertanya. "Acara pernikahan teman lama saya," jawab Reza menjelaskan. "Jadi ini sogokan?" gurau wanita itu sembari mengangkat dan menggoyangkan kopinya. Reza tertawa ringan, mengangguk-angguk kecil sebagai jawaban. Tanpa dua orang itu sadari, Jero Axford memperhatikan interaksi keduanya dari jarak beberapa meter. Gween menyetujui ajakan Reza, toh ia punya waktu dan tidak keberatan memakainya untuk mendapat makanan gratis yang lezat. "Jadi, apa gadis itu yang membuatmu akhir-akhir ini jarang pulang dan melewatkan undangan makan malam dari kakek?" Suara wanita di depannya membuat Jero meliriknya sekilas. "Tidak ada hubungannya dengan dia," jawab Jero singkat. Wanita itu, Ruby Axford, mengangkat sebelah alis tak yakin. "Jangan bermain-main dengan hidup seseorang. Kamu tahu setiap wanita yang dekat denganmu tak akan lepas dari pengawasan kakek?" "Aku tahu." "Ya. Jadi berhati-hati lah." Wanita itu tak sengaja bertemu dengan saudara beda ibunya itu di sini. Tempat yang membuat Ruby mengernyit heran karena tak biasanya Jero akan duduk seperti orang kurang kerjaan di tempat seperti ini. Dan setelah beberapa menit duduk di hadapan adiknya itu, dia baru menyadari bahwa si pria keras kepala dan susah diatur itu sedang mengintili seorang wanita. Ruby beranjak dari sana dan meninggalkan Jero yang menghubungi Red untuk memberikan tugas baru. Tugas yang membuat pria itu mengernyit heran di seberang sana. Sementara di tempat lain, Talia tengah mengumpat dan memaki-maki Gween yang kali ini benar-benar mengacuhkan mereka. Geisya jadi harus menurunkan harga dirinya mengemis seperti perempuan t***l pada Dandi untuk memaafkan dan melepaskan mereka. Ya, pertengkaran itu bermula saat Geisya melihat perempuan yang tidur bersama Dandi waktu itu juga berada di bandara. Wanita itu berjalan pongah dengan senyum mengejek penuh kemenangan. Geisya tentu tak membiarkan hal itu begitu saja, dan terjadilah penyerangan itu karena Talia tentu tak akan membiarkan anak kesayangan itu berjuang seorang diri. Kini, mereka sudah dibebaskan dan kembali ke rumah karena tak mungkin melanjutkan keberangkatan sebab uang yang ia minta sudah hampir habis untuk berdamai dengan Dandi yang awalnya menuntut mereka dengan kasus penyerangan dan penganiayaan pada kekasihnya itu. "Mama sudah datang ke kosnya?" tanya Geisya yang juga sangat merasa kesal dengan kakaknya itu. "Sudah, tapi kata teman kosnya dia jarang pulang dan hanya sesekali singgah ke sana," sahut wanita paruh baya itu. Geisya mengerutkan dahi dan melirik sang mama. "Aku jadi penasaran sama g***n-nya Gween, Ma," ucap wanita itu. "Palingan juga tua bangka perut buncit," sahut Talia. "Ngapain kamu pikirin, yang penting belanja kita lancar," imbuhnya. Geisya tak puas, ia mulai mencari tahu dari sosial media milik Gween yang sialnya tak memberi petunjuk apapun untuknya. Ia yakin g***n yang dimiliki oleh wanita itu tidaklah terlalu kaya raya karena dilihat dari penampilan Gween nih yang tidak berubah sama sekali. Tetap kampungan di mata Geisya. Tapi entah kenapa rasa penasaran wanita itu tetap tak merenda, dan ia berarti katakan mencari tahu lebih jelas lagi nanti. Sementara Gween sendiri kini tengah melirik sinis pada pria di hadapannya yang sedang fokus membaca tumpukan dokumen di ruang kerjanya. Kalau tahu dia sesibuk ini kenapa harus sok-sokan meliburkan diri? "Sekretaris kamu kemana sih?" gerutu Gween yang sudah merasa pegal memandangi layar laptop di hadapannya yang sumpah mati dia tidak mengerti tentang skala dan neraca yang ditampilkan benda persegi ini. Tanpa mendongak atau menoleh sedikitpun, Jero menjawab, " dia punya tugas lain yang lebih penting," sahutnya enteng. Gween menghela nafas panjang dan menyandarkan tubuh di sofa. Matanya sudah sangat berat, tapi pria kejam satu ini tak mengizinkannya untuk beristirahat. Suara ketukan di pintu seolah menjadi angin segar bagi Gween yang melihat kemunculan Red di sana. "Kamu keluar," titah Jero segera. Gween segera bangkit karena takut pria itu berubah pikiran. Ia berjalan secepat mungkin meninggalkan ruangan serba abu-abu itu yang membuatnya ingin mengutuk sang empunya. Red yang melihat hal itu hanya menggelengkan kepala pelan. Ia melangkah maju dan berhenti tepat di seberang meja bosnya itu. "Saya sudah menjalankan perintah anda. Saat ini pria itu tengah berada dalam pesawat menuju Singapura dan akan lebih fokus dengan pembukaan restorannya di sana." Jero menarik sudut bibirnya pelan, puas dengan apa yang Red laporkan. Sisanya dia bisa mengurus sendiri. Seperti menanam saham di restoran pesaing agar lebih maju daripada milik pria keturunan Arab itu dan membuatnya tidak kembali ke Indonesia dan fokus aja di Singapura. "Lalu bagaimana dengan Dandi Sujatmiko yang terus saja meminta bertemu dengan anda?" tanya pria itu. Jero mengibaskan tangannya. "Dia ingin bertemu dengan uangku, bukan Aku." "Perusahaan keluarganya semakin tak terkendali, ada beberapa anak perusahaan yang sudah gulung tikar dan beberapa lagi mem-PHK karyawan besar-besaran." "Penerimaan karyawan selanjutnya, fokuskan pada mereka." "Baik, Bos. Ah, satu lagi." Red mengurungkan niatnya yang hendak berpamitan. "Nyonya Thalia dan Nona Geisya sudah bebas hari ini dan kembali ke rumah mereka." "Hmm." Jero menanggapi seadanya. "Kalau boleh jujur, saya salut pada Nona Gween yang benar-benar tidak terpengaruh dengan ancaman Nyonya Talia. Tapi saya khawatir setelah ini dia akan lebih sulit menghadapi mamanya." Jero mendongak tajam. "Apa tugasmu sekarang bertambah?" tanyanya menyindir. "Saya hanya mengkhawatirkannya, bukan ingin mengencaninya," sahut Red yang tahu raut tak suka di wajah pria itu. Jero mengedikkan bahu. "Dia tidak akan bisa berbuat macam-macam." "Saya kira juga begitu," timpal Red setuju. Bagi Jero Axford hidup itu harus memiliki strategi jika tak ingin kalah dengan lawan yang lebih berambisi. Dan menurutnya hal itu bukan sesuatu yang keji karena toh dia memberi lawan pilihan dan mereka bebas menentukan apa yang akan mereka ambil. Seperti yang baru saja dilakukannya pada seorang Reza Arabian yang tergiur untuk membuka cabang di luar negeri ketika ada tawaran yang Jero sodorkan. Tanpa merasa curiga bahwa semuanya sudah Jero rencanakan. TO BE CONTINUED
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD