Gween menatap pantulan dirinya di dalam cermin dengan wajah kusut dan mata memerah. Ia menangis semalaman meratapi nasib hidup yang begitu kejam.
Meskipun kali ini Gween bersikap egois dan begitu jahat dengan mengabaikan permintaan sang mama. Ya, dia memilih untuk tetap pulang ke penthouse Jero dan mengurung diri di kamar daripada memenuhi panggilan sang Mama yang terus saja membor bordir dirinya hingga Gween menyerah dan mematikan ponselnya.
Pagi ini ia terbangun dengan wajah sembab dan juga penampilan berantakan. Tapi hal itu tidak mengurungkan niat wanita itu untuk berangkat kerja.
Gween bersiap dengan cepat dan berdandan seadanya karena hari ini dia tidak akan mampu menyembunyikan kantung matanya yang begitu menghitam.
Wanita itu pun turun dan sedikit terkejut melihat Jero masih duduk di meja makan dengan secangkir kopi di tangannya.
"Tidak bekerja?" tanya wanita itu sembari melirik Salia yang berdiri tegak di belakang kursi Jero.
"Aku libur hari ini," sahut pria itu santai.
Gween mengerutkan dahi sembari mengingat-ingat hari dan tanggal. "Ini bukan hari libur, lalu kenapa kamu meliburkan diri sendiri?"
"Tidak jadi masalah, toh aku bosnya."
"Oh, sipaling Bos," sahut Gween mencibir.
Wanita itu hendak melangkah pergi setelah mengisi botol air minum yang akan dibawanya. "Kamu mau kemana?" Suara Jero terdengar menginterupsi.
Gween menoleh sesaat sambil mengerutkan dahi. "Bekerja," jawab wanita itu seadanya. "Aku bukan bos sepertimu yang bisa libur seenaknya," singgungnya lagi.
Jero meletakkan gelas yang sudah kosong sebelum beranjak dari duduknya. "Aku antar," katanya.
Gween mendelik waspada. "Tidak perlu," tolaknya cepat.
"Aku tidak sedang meminta izinmu," tukas Jero datar.
Wanita itu menggeleng tak habis pikir. Bagaimana bisa Jero tidak memerlukan izin ketika ikut campur dalam urusan seseorang?
"Ayo, cepat! Apa kamu ingin terlambat supaya ditegur dengan mesra oleh Bos bancimu itu?" tanyanya santai.
Amat sangat santai meski dirinya sedang menuduh sekaligus menghina Bos wanita itu.
"Kamu memang kaya raya tapi mulutmu tidak bisa seenaknya," ucap Gween geram yang mau tak mau ikut melangkah di belakang pria itu.
"Aku berbicara fakta."
Gween menarik nafas panjang guna memperluas rasa sabar untuk menghadapi ini. Dia memilih untuk tidak menanggapi lagi ucapan pria itu demi kesehatan hati dan mentalnya. Bahkan sepanjang perjalanan, Gween memilih untuk membuang pandangan ke arah kaca di sampingnya yang menunjukkan kepadatan ibukota di pagi hari ini.
Hal yang cukup Gween syukuri adalah ketika mereka tiba di restoran tempat Gween bekerja karena jujur saja dirinya tidak ingin berlama-lama duduk hanya berdua dengan Jero karena entah kenapa hari ini pria itu tidak dibuntuti oleh sopir dan juga pria kepercayaannya itu.
Tapi anehnya, Gween tak melihat tanda-tanda kepergian pria itu setelah mengantarkannya. Jero bahkan ikut turun dari mobil dan mengekori Gween masuk ke dalam restoran tersebut.
"Kamu mau apa?" tanya Gween dengan kerutan dahi yang begitu kentara.
Jero mengangkat sebelah alisnya. "Memangnya kenapa?" tanyanya balik.
Gween berdecak pelan lalu berbalik untuk melanjutkan langkahnya tanpa ingin menghiraukan kehadiran pria itu lagi yang mungkin saja ingin masuk dan menemui kliennya.
Oh, tapi ternyata tidak. Pria itu yang pernah datang dan memesan VIP room untuk pertemuan bisnis dengan kliennya itu kini malah memilih sebuah meja di pojok yang membuat keberadaannya tidak terlihat mencolok.
Gween menggelengkan kepala dan berusaha untuk mengabaikan pria itu. Ia berjalan menuju loker dan mengganti bajunya dengan seragam restoran yang ada.
Wanita itu langsung saja bergerak menuju dapur dan menemui captain waiter yang mengkoordinir pekerjaan mereka. Ada Reza juga di sana yang ternyata sudah kembali ke Indonesia.
"Apa kabar, Gween?" sapanya dengan senyum kelewat ramah.
"Ah, aku baik. Mas Reza sudah kembali?" Tanya wanita itu balik untuk berbasa-basi.
"Ya. Pekerjaan saya sudah selesai di sana," sahutnya.
"Coffe Moctail table twenty one, bisa kamu antarkan, Gween?"
Wanita itu mengangguk dengan sigap dan segera meraih nampan untuk mengambil pesanan itu dan mengantarkan kemeja yang disebutkan.
Saat berjalan beberapa langkah, Gween baru sadar jika minuman itu adalah pesanan Jero Axford. Wanita itu berusaha untuk se-profesional mungkin meletakkan gelas tersebut di depan Jero yang hanya melirik sekilas dan masih fokus pada ponselnya.
Gween kira pria itu tidak akan bertingkah dan membuatnya jengkel di sini. Sebelum pria itu bersuara dengan datarnya, "Aku sempat heran kenapa restoran di tempat strategis seperti ini tidak bisa maju, ternyata karena pemiliknya hobi bergosip dengan bawahannya."
"Apa maksud kamu?" Gween mendesis pelan agar tidak menjadi sorotan.
Jero tak menjawab seolah kata-katanya tadi hanya sebuah angin lalu dan tidak perlu ditanggapi oleh Gween yang kini darahnya kian mendidih dan siap melemparkan nampan di tangannya ke wajah pria menyebalkan itu.
Sepanjang melakukan tugasnya, Gween rasa ada mata yang terus saja mengawasinya lebih-lebih daripada mata atasan yang sedang memantau kinerjanya.
Ingin rasanya Gween berlari ke dapur dan mengambil sebuah garpu. Okay ... itu terlalu berlebihan dan akan membuatnya mendapatkan masalah besar.
"Sejak tadi aku mengingat-ingat di mana pernah melihat pria itu." Reza tiba-tiba muncul di belakang Gween dan berbisik pelan.
Wanita itu tentu saja merasa sedikit terkejut dan berbalik sembari memegangi dadanya. "Buat kaget," protesnya yang mendapat kekehan kecil dari Reza.
"Laki-laki itu ternyata yang dulu pernah bertanya soal jalan padamu saat terakhir kali kita pergi bersama, ya?" tanya pria itu memastikan.
Gween mengerutkan dahi dan berusaha untuk mengingat-ingat apa yang diterangkan oleh Reza barusan. Dan ia baru ingat tentang kebohongannya malam itu karena kehadiran Jero yang tidak pada waktunya.
"Aku nggak terlalu ingat, soalnya udah lama dan agak gelap juga waktu itu," ujar Gween meringis pelan. Bagus, dia mulai menjelma jadi manusia pembohong sekarang.
Reza menganggukkan kepala mengerti. Saat itu, dia benar-benar tidak tahu siapa pria itu tapi yang pasti Reza tahu bahwa orang itu bukan dari kalangan biasa.
Dugaannya terbukti benar saat seorang Jero Axford yang kini diketahuinya sebagai pengusaha muda kaya raya yang sukses mengembangkan usaha propertinya itu pernah datang dan memesan VVIP room untuk pertemuan dengan kliennya yang bukan dari kalangan sembarang.
Lalu kini pria itu muncul lagi seorang diri untuk menikmati secangkir kopi di pagi hari. Ah, apakah Reza harus memberikan kartu member spesial untuk pria itu agar menjadi pelanggan tetap di restorannya ini?
Gween yang sejak tadi berusaha untuk mengabaikan keberadaan pria itu kini tak bisa lagi berlaku demikian karena kehadiran seorang wanita anggun yang duduk manis di hadapan pria itu.
TO BE CONTINUED