17. Perlawanan ?

1061 Words
Hari ini adalah hari libur Gween dan ia bangun lebih cepat dari biasanya untuk melakukan olahraga ringan yaitu lari pagi di sekitaran taman. Setelah itu ia membuat sarapan untuk dirinya sendiri dan dilanjutkan dengan bersantai di dalam kamar. Gween pikir Jero sudah pergi ke kantor karena jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Namun, kamar pria itu malah menunjukkan pintu yang tidak tertutup begitu rapat dan langkah wanita itu berhenti di sana kala mendengar suara aneh dari dalam. Kaki Gween mendorong perlahan sehingga pintu bergeser dan cukup untuk wanita itu melihat pemandangan di dalam sana yang membuatnya begitu mual dan ingin muntah saat itu juga. Salia sedang melenggak-lenggokkan diri sambil menanggalkan busana satu persatu di hadapan Jero. Jelas hal itu membuat Gween terkejut bukan main sehingga tanpa sadar menjatuhkan piring yang tadi dibawanya untuk sarapan di kamar. Bunyi nyaring itu membuat keduanya tersentak dan menoleh secara bersamaan. Jero yang masih berpakaian lengkap berderap cepat mendekati Gween. "Are you okay?" Pria itu menarik wanita yang dilingkupi rasa syok itu menjauh dari pecahan kaca yang berserak di lantai. Gween menarik nafas panjang seolah kesulitan untuk bernapas, bertepatan dengan itu ia juga menarik tangannya yang digenggam oleh Jero. Wanita itu membungkuk kecil dan mengucapkan kata maaf. "Maaf telah mengganggu kalian," ujarnya lebih pelan dari yang dia mau. Gween ingin berbalik dan meninggalkan tempat itu secepatnya apalagi melihat ekspresi Salia yang begitu santai memakai kembali seragam kerjanya tanpa perlu repot-repot merasa bersalah atau malu sekalipun. Sayangnya Jero tak melepaskannya begitu saja, pria itu mengikuti Gween hingga ke kamar. "Apa yang kamu lakukan?" tanya perempuan itu yang tiba-tiba merasa lelah dan ingin tidur seharian padahal ketika dirinya selesai berolahraga pagi tadi dia begitu bersemangat untuk menjalani hari ini. Jero tak langsung menjawab, ia menghela napas panjang dan menggeleng pelan. Dalam hati dia bertanya-tanya, dirinya tak perlu memberi penjelasan kan? Bertepatan dengan itu, dering ponsel Gween terdengar nyaring sehingga mengalihkan perhatian wanita itu. Nama Geisya terpampang jelas di sana. Gween ingin mengabaikan karena berpikir wanita itu akan membahas tentang masalah ia yang tak datang membantu mereka kemarin. Tapi, saat membaca satu pesan yang masuk dari adiknya itu, Gween merasa lututnya begitu lemas. Mama jatuh di kamar mandi dan sekarang kondisinya memburuk. Gween segera menyambar sweater abu miliknya serta tas yang tergeletak di atas sofa. "Mau ke mana?" tanya Jero saat wanita itu hendak melewatinya. "Mama ...." Jawaban wanita itu begitu tak jelas sehingga membuat Jero ikut menyusul langkah Gween yang begitu terburu-buru. "Ku antar!" Kata Jero tak ingin dibantah. Gween yang tak lagi bisa berpikir jernih hanya bisa mengangguk pelan dan membiarkan Jero menuntunnya masuk menuju mobil yang kini melaju dengan kencang membelah jalan raya. "Rumah sakit mana?" tanya Jero yang membuat Gween tersentak karena lupa menanyakan hal itu pada sang adik. Gween kembali menghubungi wanita itu dan mendapatkan jawaban yang membuat dahi Jero berkerut heran. "Mama berada di rumah," ucap Gween memberitahu yang sebenarnya tak perlu karena Jero mendengar sendiri jawaban dari Geisya. Jero tersenyum miring dan memacu kemudi semakin kencang hingga akhirnya mereka tiba di halaman rumah Gween. Wanita itu sungguh panik sehingga langsung berlari ke dalam rumah tanpa memikirkan apapun lagi. Jero mendengkus pelan dan melirik rumah tersebut sesaat sebelum kembali melaju meninggalkan Gween di sana. "Akhirnya kamu datang!" Kata sambutan yang begitu ketus terdengar dari mulut Geisya yang duduk santai di ruang tengah sambil memakan cemilannya. "Di mana Mama?" tanya Gween tanpa berbasa-basi. Geisya mendengkus pelan sebelum menunjuk ke arah kamar Talia. Gween segera berlari ke sana dan membuka pintu kamar wanita paruh baya itu yang kini terbaring lemah di atas ranjang dengan selimut yang menutupi setengah tubuhnya. "Gimana keadaan Mama?" tanya Gween yang duduk di pinggir ranjang sembari mengusap lengan sang mama. Sejahat-jahatnya Talia kepada dirinya, wanita paruh baya itu tetaplah mamanya yang harus tetap ia hormati. "Kepala mama pusing, badan juga sangat lemas seolah tidak ingin digerakkan," jawab wanita itu berkeluh-kesah. "Sudah diperiksa dokter?" tanya Gween lagi. Wanita itu melirik meja nakas sesaat sebelum mengangguk pelan. "Apa kata dokter, Ma?" "Tidak ada, hanya menyarankan istirahat penuh sampai kondisi Mama kembali pilih." Gween menggangguk paham. "Kalau gitu Mama istirahat dulu, Gween mau bicara sama Geisya," ucap wanita itu lembut. Ia beranjak dan hendak meninggalkan kamar sang mama, tapi kalimat wanita paruh baya itu seketika menghentikan langkahnya serta menaburi duri pada luka yang sama sekali tidak pernah sembuh. "Jangan bebani adikmu dengan menyuruhnya menjaga Mama. Mama tidak mau kondisinya kembali memburuk karena hal ini." Gween mengepalkan kedua tangan di sisi tubuhnya dengan erat. "Baik, Ma," sahutnya pelan. Apakah di pikiran Mamanya itu hanya ada Geisya, Geisya, dan Geisya? Sejak dulu memang begitu, tapi apakah sang mama tidak iba? Sumpah mati, Gween juga anaknya. Wanita itu duduk di sofa seberang Geisya. "Kenapa Mama bisa sampai jatuh?" tanyanya pelan. Yang ditanya hanya mengedikkan bahu cuek dan tak menghentikan kunyahannya pada cemilan coklat kesukaannya itu. "Mama sudah bilang belum untuk dicarikan pembantu? Karena jujur aja aku nggak akan sanggup ngurusin Mama beserta rumah ini?" ujar adik Gween itu dengan enteng. Gween mengangguk pelan. "Nanti aku hubungin jasa penyalur pekerja rumah tangga. Rate harganya bakalan aku kirim ke kamu." "Nggak perlu. Lo aja yang milih, toh yang bayar elo. Pokoknya pekerjaannya ngerjain semua pekerjaan rumah plus ngurusin Mama." "Uang yang kemarin aku kasih buat Mama kan masih ada, toh kalian juga nggak jadi berangkat 'kan?" "Lo gila? Semuanya jelas sudah habis nggak bersisa." "Ke mana uangnya?" Gween bertanya bukan karena tidak tahu, jelas ia sudah menduga kemana perginya semua uang yang dikirimkannya. Geisya meletakkan toples berisi cemilannya. "Gue nggak tahu," sahutnya pendek. Gween mengepalkan tangannya dan menarik nafas panjang. "Tolong pikirkan ini baik-baik. Kita bukanlah orang kaya yang bisa melakukan semua sesuka hati. Jadi, pikirkan dulu matang-matang semuanya sebelum kamu bertindak," ujar Gween memberi nasehat. Geisya menatap sang kakak dengan pandangan tak suka. "Nggak usah ikut campur urusan gue!" desisnya. "Masalahnya keributan yang kamu buat itu harus aku yang selesaikan," sahut Gween datar. Benar, dia sudah muak menjadi pihak yang selalu dikorbankan demi keselamatan dan kebahagiaan Geisya Putri. "Ya harusnya memang gitu karena Papa --" "Papa mati bukan cuma karena aku!" bentak Gween memotong. "Dia masih bisa diselamatkan kalau aja kamu nggak merengek minta masuk internasional school waktu itu!" desis Gween tajam. "Jadi Lo nyalahin gue?" bentak Geisya tak terima. "Ya. Jadi, kita sama-sama salah! Dan mulai sekarang kita sama-sama bertanggung jawab untuk menanggung tugas yang ditinggalkan Papa. Itu artinya, kamu bukan lagi tanggung jawabku!" TO BE CONTINUED
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD