"Lo gila?!" hardik Geisya. "Gua bakal aduin ini ke Mama! Sementang udah punya g***n, jadi sok banget Lo ya!"
"Silahkan aduin, karena aku juga nggak peduli. Mulai bulan depan, aku cuma bisa kirim uang belanja buat Mama aja."
"Kamu gila, Gween?! Aku masih dalam tahap penyembuhan!" hardik Geisya marah.
"Tahap penyembuhan tapi udah bisa nyerang orang lain di tempat umum? Jambak-jambak kan sampai masuk kantor polisi?"
"Kamu nggak ngerti, Gween! Kalau kamu berada di posisiku saat itu, kamu akan melakukan hal yang sama!" geram Geisya marah.
"Kalau aku berada di posisi kamu, aku nggak akan sudi merendahkan harga diriku dengan berkelahi di tempat umum hanya karena memperebutkan si tukang selingkuh itu."
Plaak ....
Gween merasakan panas di pipinya akibat dari telapak tangan sang Mama yang mendarat bebas dengan keras di sana.
"Jaga ucapan kamu, Gween!" hardiknya marah. Matanya melotot dan urat wajahnya terlihat kaku, tampak sekali emosi sedang menguasainya.
Sakit di pipi Gween tak ada apa-apanya dibanding sakit di hati wanita itu. "Lalu, apa Mama pernah mengajarkan pada Geisya untuk menjaga ucapannya padaku?" tanya wanita itu pelan, penuh rasa putus asa yang terkadang membuatnya berpikir untuk mengakhiri hidup saja.
"Keluar!" Sang Mama menunjuk pintu dengan gerakan kasar.
Gween ingin sekali melawan, memberi protes pada perlakuan ibunya yang selalu berat sebelah antara dirinya dan Geisya. Tapi, mengingat kondisi wanita paruh baya itu yang masih rentan dan menurut dokter perlu istirahat total, maka Gween memutuskan untuk diam dan pergi dari sana tanpa mengatakan apapun lagi.
Betapa terkejutnya ia saat menemukan sebuah mobil hitam mewah terparkir rapi di halaman rumahnya lengkap dengan seorang sopir yang membungkuk hormat sambil membukakan pintu untuk Gween.
Wanita itu tentu tahu ulah siapa semua ini dan dirinya tak punya tenaga untuk beradu argumen dengan pria itu meski hanya lewat telepon sehingga dirinya memutuskan untuk masuk ke dalam mobil dan membiarkan sang sopir membawanya menjauh dari rumah yang tak terasa seperti rumah yang sebenarnya bagi Gween.
Mobil bergabung dengan kendaraan lainnya memenuhi jalan raya. Gween hanya diam meski tak tahu kemana tujuan roda empat ini berjalan. Perempuan itu lelah, benar-benar lelah dan rasanya ingin menyerah.
Mereka tiba di bandara, Red langsung menyambutnya dan meminta Gween untuk mengikutinya.
Memang uang adalah segalanya dan Gween tahu ditambah kekuasaan yang dimiliki Jero, maka pria itu sangat mampu untuk melakukan apapun yang ia mau.
Di ujung sana, Gween melihat pria itu sedang berbincang dengan cabin crew yang mengangguk-angguk mendengar instruksinya. Jero melirik Gween sesaat sebelum kembali fokus pada perbincangannya.
Red memintanya menunggu Jero di sebuah ruangan yang lebih cocok disebut kamar karena tersedia kasur yang menghadap langsung pada jendela kaca, lengkap dengan selimut dan bantal yang membuat wanita itu ingin bergelung nyaman dan menyembunyikan diri dari kejamnya dunia.
Red membungkuk hormat pada Jero yang muncul dengan sebuah paper bag di tangannya. Ia pun berlalu dari sana meninggalkan sang bos dengan wanitanya.
"Kita mau kemana?" tanya Gween pelan, terlalu lelah untuk mengeluarkan banyak suara.
"Jepang," sahut pria itu pendek.
"Bisnis?"
Pria itu mengangguk dan meletakkan paper bag ke atas kasur. "Ganti pakaianmu," titahnya sembari melonggarkan dasi dan mendudukkan diri pada single sofa yang ada di sana.
Gween mengangguk patuh, merasa wajar karena pakaiannya yang sangat tidak layak saat ini karena tadi sangat terburu-buru saat mendengar kabar sang Mama.
"Ganti di sini, Gween Calista," tegur pria itu saat Gween hendak beranjak menuju kamar mandi.
"A ... apa?" Gween tergagap saat bertanya.
"Right now, here!" Jero duduk dengan gaya angkuh, menyandarkan diri sembari menatap Gween yang begitu jelas tampak rapuh.
"Tapi, --"
"Kamu atau aku yang akan melakukannya, Gween?" Pria itu menatap Gween dengan mata gelapnya yang selalu mengandung banyak misteri.
Perempuan itu menelan ludah susah payah, apalagi saat Jero beranjak dari duduknya dan berjalan pelan kian mengikis jarak mereka.
Jero mengusap rambut wanita itu dan menyelipkan bagian depan ke belakang telinga, lalu tangan pria itu mengusap pipi Gween dengan gerakan pelan.
"Bercinta di atas ketinggian kukira akan sangat menyenangkan," bisik pria itu sensual. Nafas hangatnya yang mengenai tengkuk Gween membuat perempuan itu meremang.
"A ... apa?!" Gween tak bisa berkata-kata karena saat ini tangan nakal Jero sudah mulai beraksi. Menjalar pasti memasuki sweater Gween yang hanya menutupi sebuah sport bra yang tadi dipakainya saat olahraga.
"I want to eat it," bisiknya serak sembari meremas dengan gemas.
"Nggh ...." Lenguhan yang tak bisa Gween tahan semakin membuat mata Jero menggelap karena hasrat membara yang semakin menyelimutinya.
"Say my name," titah pria itu yang kini menjalarkan lidah basahnya di tengkuk Gween yang kian melemas karena kakinya yang terasa seperti jelly.
"Nggh ... Jero ...."
"Once again."
"Jero Axford!"
"Hmm. What do you want?"
Gween menggeleng frustasi, kepalanya pusing karena serangan panas pria itu yang kian brutal. Jero kini bahkan mendorongnya dengan cepat hingga jatuh di kasur, lalu pria itu menarik sweater Gween dengan mudah dan melemparkannya sembarang.
Jero berdiri dan mengamati Gween dengan rahang berkedut. Ia tak bisa mengontrol diri lagi dan langsung melahap habis-habisan bibir merah muda wanita itu yang selalu terlihat menggoda bagi Jero.
"Hmm. What do you want?" Tanya pria itu sekali lagi.
Gween tak tahu apa yang diinginkan oleh tubuhnya, tapi yang pasti sentuhan pria itu bagaikan sengatan listrik yang membuatnya tak bisa untuk menguasai diri dan gilanya membuatnya ketagihan untuk merasakan lagi dan lagi.
"Gween Callista," bisik pria itu serak dengan mata tajam penuh tuntutan.
"Jero ... Please ...." Gween pengarang tertahan kala pria itu mulai bergerak sensual menggesekkan bagian inti mereka tanpa melepaskan pakaian yang masih melekat.
"Katakan apa yang kamu inginkan, Sayang?!"
Oh, tolong selamatkan jantung Gween yang seolah lepas dari tempatnya karena panggilan sayang dari pria itu yang seolah bisa mengguncang jiwanya.
"Kamu ... aku mau ... kamu," ucap Gween terbata-bata karena rasa mengkritik yang menyebar ke seluruh tubuhnya.
"As you wish, Sweetie."
Jero tak membuang waktu lama. Di atas ketinggian ribuan kaki, ia menyatukan hasrat keduanya dengan ritme yang kian tak terkendali akibat tingginya kobaran api yang membuat keduanya terbakar bersama.
Dengan pemandangan awan yang begitu cerah, mereka saling melepaskan gairah cinta. Saling mendekap, saling menatap, dengan peluh yang mengalir deras tanpa mereka merasa lelah.
"Arrgh ... I didn't make a mistake in ordering you."
Ahhh ... Gween sampai lupa bahwa dirinya hanya wanita bayaran pria itu.
Tuhan, kenapa rasanya sangat sakit sekali?
TO BE CONTINUED