BAB 13

1638 Words
Sebuah mobil sedan hitam melewati jalan kota Perugia dan berhenti di depan gerbang besi yang tertutup rapat. Cahaya lampu dari depan mobil menembus guyuran air hujan dalam gelapnya malam. Membuat salah seorang yang menyadari kehadirannya segera mengambil payung dan berjalan ke arah mobil. Suara klakson yang bercampur dengan suara hujan mmebuat langkah pria itu semakin cepat. Sudah hampir dua tahun berjalan dan tidak ada satupun orang yang datang ke mansion itu. Sehingga saat melihat mobil datang, pria yang berpakaian setelan jas rapi itu langsung menyadari jika itu adalah tuan mereka. Pintu gerbang terbuka lebar. Sang supir kembali melajukan mobil, melewati pria yang membungkukkan badannya sehingga sebagian pakaian yang dikenakan pun basah karena tetesan air hujan. Mobil itu mulai melambat sampai akhirnya berhenti tepat di depan teras. Bersamaan dengan Azade yang keluar dari dalam mobil, pintu mansion terbuka lebar. Sang kepala pelayann keluar menyambut kedatangan Lionello. Pria itu berdiri tak jauh dari pintu sembari menunggu Lionello keluar. "Selamat datang kembali, Signore," ucap pria berusia empat puluhan tahun itu seraya menundukkan kepalanya sejenak. "Ya," jawab Lionello singkat dan melewatinya. Tetapi langka Lionello berhenti di ambang pintu. Dia menoleh ke belakang, menatap Azade yang masih berdiri di samping mobil. "Istirahatlah di sini," ucap Lionello padanya lalu mengalihkan pandangan ke arah kepala pelayan. "Siapkan kamar untuknya," perintahnya sebelum melanjutkan langkahnya menyusuri mansion yang terasa begitu sepi. Lionello menyusuri setiap koridor di mansion itu menuju kamarnya yang dulu dia tempati bersama Violetta. Dirinya sengaja menghabiskan waktu lima jam di perjalanan tanpa tidur agar malam ini dirinya dapat tidur dengan nyenyak. Langkah Lionello berhenti tepat di depan pintu kamarnya. Sebelah tangan terangkat memegang kenop pintu lalu mendorong daun pintu itu, hingga seketika aroma khas kamar itu memenuhi indra penciumannya. Lionello mengambil langkah memasuki kamar. Dirinya tidak lupa menyalakan lampu sehingga ruangan yang awalnya gelap gulita itu menjadi terang dalam sekejap. Kedua kaki Lionello bergerak menuju ranjang lalu duduk di sana. Bibir Lionello tersenyum miris saat telapak tangannya mengelus permukaan selimut kamar itu. Sungguh, meskipun kamar ini sudah dua tahun tidak ditempati, kehadiran Violetta sangat terasa. Aroma tubuhnya yang khas seolah tidak pernah menghilang sedikit pun, seolah-olah wanita itu berada di dalam kamar ini. "Apa kau … ada di sini?" gumam Lionello. Pandangan Lionello mengitari ruangan kamar yang begitu sunyi. Tidak ada siapapun di kamar itu. Lionello tidak melihat Violetta ataupun orang lain sehingga menampar Lionello pada kenyataan jika dirinya terlalu bodoh karena mengucapkan kalimat itu. "Lio …. " Lionello tertegun saat mendengar suara yang sudah tidak asing memanggilnya. Suara yang kerap kali dia dengar saat melewati kafe miliknya atau ketika dirinya sedang mabukk. Lionello terpaku, dirinya tidak bergerak sedikit pun atau berbicara apapun. Dia ingin memastikan suara itu dan berharap akan mendengarnya lagi. "Lio …. " Lionello menoleh ke belakang. Kedua matanya membelalak seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Perlahan tubuh Lionello bangkit dari tepi ranjang dan berjalan memutari tempat tidur itu untuk menghampiri seorang wanita yang berdiri tak jauh dari sofa bed di dekat jendela. Namun langkah Lionello terhenti saat wanita itu justru memotong langkahnya. Mendekati dirinya yang terpaku di tempat itu dengan mata tidak berkedip sekalipun. Seolah takut jika dirinya berkedip, sosok wanita yang amat sangat dirindukannya itu pergi dari hadapannya. "Apa kau datang untuk menemuiku?" Suara wanita itu kembali terdengar. Kali ini bertanya pada dirinya saat jarak mereka hanya satu langkah. Lionello menundukkan tatapannya, lurus ke arah wajah wanita itu yang terlihat semakin cantik dibanding sebelumnya. Lionello tidak langsung menjawab. Dia mengangkat satu tangannya untuk mengelus wajah wanita itu. Kedua mata Lionello berkaca-kaca saat telapak tangannya yang kasar menyentuh permukaan wajah istrinya yang terasa begitu lembut. Sedang wanita itu mengembangkan senyum seraya memejamkan mata, merasakan sentuhan dari tangan Lionello. Perlahan matanya kembali terbuka. Dia membalas sentuhan lembut Lionello membuat pria itu tanpa sadar meneteskan airmata. "Jangan menangis." Violetta tersenyum dan mendekatkan wajahnya ke arah Lionello lalu mengecup bibir pria itu sekilas dan kembali tersenyum. "Jangan menangis." "Aku pikir … aku … tidak bisa melihatmu lagi …. " Wanita itu tidak berhenti tersenyum. Bahkan kali ini senyumnya semakin lebar hingga memperlihatkan deretan giginya. "Aku selalu ada di sampingmu. Kau saja yang mengabaikan—" Lionello langsung menangkup wajah Violetta dan membungkam mulut wanita itu menggunakan bibirnya. Sehingga suara Violetta terbenam di dalam ciumann Lionello. Perlahan Lionello melepaskan ciumannya. "Maafkan aku. Mulai sekarang … jangan pernah menghilang dari pandanganku. Jangan pernah jauh dariku. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu." "Dan anak kita …. " sambung Violetta membuat pandangan Lionello tertuju ke arah perutnya yang masih tampak rata. "Ya." Lionello menganggukkan kepala dan mengelus perut Violetta. " … anak kita." "Aku sudah lama menunggumu datang ke sini," ucap Violetta. "Maafkan aku … karena sudah membuatmu menunggu lama," balas Lionello. Violetta kembali tersenyum. Dia mengelus wajah Lionello, lagi. "Ayo … aku akan menemanimu tidur di sini," ucapnya seraya menggandeng Lionello menuju ranjang. Lionello hanya mengikuti. Sesekali Violetta menoleh ke belakang untuk menunjukkan senyumnya pada Lionello. Sampai akhirnya mereka berhenti di tepi ranjang. Violetta membantu Lionello melepas jas dan menyampirkannya di tepi ranjang. Sedangkan Lionello hanya mengikuti saat Violetta menepuk-nepuk permukaan kasur seolah memberikan instruksi padanya untuk berbaring di sana. *** Suara dering ponsel memecahkan suasana panas yang menyelimuti kamar apartemen. Sepasang manusia tanpa sehelai pakaian yang diselimuti oleh gairah itu mengabaikan dering yang berlomba-lomba dengan suara desahann mereka. Sampai akhirnya sang pria merasa terganggu karena dering terus terdengar, seolah sang penelepon tidak menyerah sampai panggilannya terjawab. "Angkat dulu teleponnya. Mungkin saja penting," ucap Teofilo seraya memegang pinggang wanita yang duduk di atasnya untuk menghentikan aktivitas mereka. "Itu pasti Tía Margaretta. Biarkan saja," balas Fernandá. Dia mendekatkan wajahnya ke arah Teofilo seolah hendak menciumm bibir pria itu. Tetapi Teofilo memalingkan wajahnya, menghindar dari ciuman Fernandá karena ingin wanita itu menjawab panggilan dari bibinya agar suara berisik itu berhenti. Sontak hal tersebut membuat Fernandá mengumpat kesal pada bibinya karena mengganggu keasyikan mereka. Dengan terpaksa, Fernandá turun dari atas tubuh Teofilo dan berjalan ke arah tasnya yang tergeletak di lantai. "¡Diga!" sapa Fernandá saat menjawab panggilan telepon dari Margaretta. "Kau di mana? Apa urusan kalian belum selesai? Sudah setengah jam dan kau belum kembali," tanya Margaretta. "Ya. Masih ada beberapa berkas yang aku suruh untuk dibuat. Mungkin satu atau dua jam lagi baru selesai, Tía. Aku akan pulang sendiri saja nanti." "Baiklah kalau begitu. Aku pulang dulu, okay? Nanti sebelum kembali ke Garciá jangan lupa mampir dulu ke tempatku." "Iya. Sudah dulu Tía. Teofilo mau menunjukkan berkas yang lain," ucap Fernandá dan langsung memutuskan sambungan telepon saat mendengar jawaban dari bibinya. "Menunjukkan yang lain? Aku rasa … kau sudah melihat semuanya," sindir Teofilo saat Fernandá berjalan menghampirinya dengan melenggak-lenggokkan pinggul. Namun Fernandá hanya tersenyum mendengar sindiran Teofilo. Dia kembali duduk di atas tubuh Teofilo dan memasukkan milik pria itu kembali ke dalam miliknya sebelum desahannya pecah saat pinggulnya terus bergerak di atas tubuh pria itu. *** Lionello mengernyit saat merasakan sesuatu bergetar di dalam saku celananya. Getaran itu seolah mengganggu dirinya yang baru terlelap sekitar dua jam yang lalu. Seketika Lionello tersadar dan merogoh kantong celananya. "Ada apa?" tanya Lionello dengan suara serak. Dia bangkit duduk sehingga pelukannya pada guling pun terlepas. "Bagaimana keadaanmu di sana? Apakah semuanya berjalan lancar?" "Ya," jawab Lionello dengan satu tangan mengucek matanya. "Tiga jam yang lalu ada yang datang mencarimu," ucap Teofilo memberitahu. Dirinya duduk di sofa dengan tangan lain tampak sibuk mengapit rokok dan mendekatkannya ke arah mulut. Teofilo melakukannya berulang kali sehingga asap terus keluar dari mulut dan hidung. "Siapa?" tanya Lionello. Pandangannya mulai mengitari sekitar saat mengingat Violetta sempat berada di sampingnya ketika tidur. Tetapi kenapa kamar tampak sepi? Apakah wanita itu sedang berada di luar kamar? "Margaretta dan keponakannya, Fernandá." "Lalu?" tanya Lionello dengan nada nadar seolah tidak merasa tertarik. "Apa kau menyukai wanita bernama Fernandá itu?" tebak Teofilo. "Tidak." "Apa kau marah jika dua jam yang lalu sebelum dia pulang, aku dengannya sempat melakukan sekss panas?" "Itu terserah kau saja," jawab Lionello. Sontak Teofilo tertawa mendengar jawaban Lionello. "Ya, setelah dia tahu kau pernah menikah, dia berbelok arah dan langsung menggodaku. Apa kau tahu bagaimana caranya dia melakukan itu setelah aku memberikan jawaban padanya kalau aku belum mempunyai kekasih?" Dengan satu tangan masih memegang ponsel dan mendengarkan Teofilo berbicara, Lionello bangkit dari tempat tidur. Dirinya berjalan ke arah kamar mandi lalu membuka pintu dan berharap mungkin saja Violetta ada di dalam sana. Tetapi ruangan itu kosong sehingga Lionello pergi ke ruangan walk in closet dan tetap saja kosong. "Dia melepas dua kancing atas kemeja dan menaikkan roknya. Awalnya aku hanya merespon biasa sampai akhirnya saat aku menawarkan minum untuknya … dia berlagak menjatuhkan minuman ke arah pakaiannya." Teofilo tertawa di tengah-tengah aktivitasnya menceritakan kejadian beberapa jam yang lalu. Lionello mengambil napas panjang. Dia mulai berjalan keluar kamar. Rasa cemasnya Violetta akan kembali pergi mulai menyelimuti membuat Lionello tidak dapat mendengar dengan baik cerita Teofilo. Bahkan Lionello menjauhkan ponselnya dari telinga ketika melihat seorang kepala pelayann karena para pelayann yang tinggal di vila sehingga mansion tampak sangat sepi. "Paco!" Lionello memanggil dan mematikan sambungan telepon begitu saja di tengah-tengah obrolan Teofilo saat memanggil kepala pelayan. Sontak pria itu langsung menoleh ke arah Lionello yang berjalan cepat menuruni anak tangga. Lionello berhenti tepat satu meter di depan Paco. Napas Lionello tersengal-sengal sembari pandangan sekilas memperhatikan sekeliling yang tampak sangat sepi seperti tidak ada tanda-tanda kehadiran orang lain selain mereka berdua. "Apakah kau melihat Vio keluar?" tanya Lionello membuat kening Paco mengernyit bingung sekaligus tercengang mendengar pertanyaannya. "Dia tidak mengatakan apapun padaku karena aku sedang tidur. Apa dia mengatakan padamu, dia ada di mana sekarang?" "Vio?" tanya Paco dengan nada ragu. "Ma-maksud Anda … Signora Violetta?" Ya, meskipun dapat dibilang dirinya belum lama bekerja dengan Lionello, dia sangat mengerti siapa nama istri dari tuan besarnya tersebut. "Ya, siapa lagi?" balas Lionello seraya mengedikkan bahunya. "Maaf … Signore." Paco menundukkan kepalanya sekilas di hadapan Lionello. " … Bukankah Signora sudah meninggal dua tahun yang lalu?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD