Lionello termangu usai mendengar penuturan Paco. Seketika hati yang terisi oleh kebahagiaan menjadi kosong dalam sekejap. Harapan agar bisa kembali dengan wanita itu langsung melebur tanpa sisa.
"Signore?"
Paco memanggil untuk menyadarkan Lionello dari lamunan. Pria paruh baya itu menjadi cemas melihat Lionello tampak begitu lemah. Padahal sebelumnya Lionello tidak pernah menunjukkan kelemahannya di depannya maupun dengan orang lain.
"Signore, apa Anda baik-baik saja?" tanya Paco. Dirinya masih berusaha membuat pria itu berhenti melamun.
"Ya." Lionello menganggukkan kepala meski pandangannya masih kosong.
Tanpa mengatakan apapun pada Paco, Lionello berbalik arah membelakangi Paco. Kakinya mulai melangkah menaiki anak tangga meskipun terasa lemas dan berat. Dia berjalan pelan menyusuri deretan anak tangga dan mengabaikan tatapan iba dari Paco.
Setibanya di kamar, Lionello menutup rapat pintu kamar itu. Dirinya berjalan ke arah tempat tidur. Bukannya duduk atau berbaring di atas kasur yang empuk, Lionello justru terduduk lemas di lantai. Ponsel dalam genggamannya tergeletak begitu saja di samping saat menyandarkan punggungnya.
Lionello menutup wajahnya dengan satu tangan seiring isak tangis yang mulai terdengar lirih di dalam kamar yang sunyi. Penyesalan yang sejak lama dia kubur dalam-dalam di hatinya kini berusaha keluar hingga mampu menyelimuti dirinya. Bayang-bayang tentang kebersamaannya bersama Violetta membuat dadanya terasa sesak. Terlebih dirinya berhalusinasi kalau wanita itu masih hidup sampai lupa jika yang dilihatnya beberapa jam lalu tidaklah nyata.
***
Keesokan harinya Paco bersiap-siap pergi ke villa di belakang mansion untuk memberitahu para pelayan jika Lionello semalam menginap. Meskipun hari masih gelap, tidak membuat Paco melambatkan langkah kakinya.
Sesampainya di depan pintu villa, Paco langsung membuka pintu tersebut dan berjalan masuk. Hening. Dirinya belum melihat satupun pelayann maupun pengawal yang beraktivitas, terbangun dari lelapnya tidur di dalam kamar yang hangat.
"Eligia! Berenice! Bangun!" teriak Paco dengan nada kesal. Dia terus melakukan itu dan memanggil dua atau tiga nama saja setiap kamar agar mempercepat langkahnya membangunkan seluruh pelayann di dalam villa itu.
Tidak sampai sepuluh menit Paco membangunkan mereka dan menunggu di lantai satu, para pelayann sudah keluar dengan mengenakan pakaian seragam. Meskipun terlihat satu atau dua di antara mereka yang masih belum terlihat rapi. Para pelayann yang berjumlah dua puluh orang itu langsung berbaris rapi di depan Paco.
"Selamat pagi!" sapa Paco untuk memulai briefing.
"Selamat pagi," balas para pelayann di sana.
"Signore tiba di mansion kemarin malam. Sampai sekarang beliau masih menginap. Aku ingin kalian bekerja sebaik mungkin. Cukup waktu dua tahun untuk kalian bersantai tanpa melayani Signore. Layani beliau dengan baik. Siapkan segala jenis makanan maupun minuman diinginkan beliau dan siapkan juga semua keperluan mandi. Apa kalian mengerti?!"
"Mengerti!"
Setelah menyelesaikan pidato paginya, Paco menyuruh seluruh pelayan untuk pergi ke mansion dan melakukan pekerjaannya. Sebelumnya Paco pun memberitahu jika mereka ingin melayani Lionello, pergi ke kamar Lionello kalau sudah lewat jam sembilan pagi karen matahari terbit sekitar jam delapan.
Kini para pelayann sudah tidak terlihat di dalam villa sehingga Paco pergi untuk membangunkan para pengawal lain yang masih beristirahat. Karena memang setelah mansion sudah tidak dihuni oleh tuan mereka, para pengawal yang bertugas pun hanya ada di sekitar dekat gerbang. Itupun hanya ada satu ataupun dua pengawal saja.
***
Lionello terbangun saat mendengar suara ketukan pintu dari luar. Entah sejak kapan dirinya mulai terlelap dalam isakan tangis kemarin malam. Bahkan Lionello tertidur masih dalam posisi sebelumnya.
Perlahan Lionello bangkit dari atas lantai dan berjalan menuju sumber suara. Dirinya berdiri tepat di depan pintu. Lionello mulai mengangkat satu tangan dan memegang knop pintu lalu menariknya ke dalam. Kini pandangan Lionello menangkap Paco dan dua pelayan lainnya.
"Ada apa?" tanya Lionello dengan suara serak, menandakan jika dirinya baru saja bangun tidur.
"Selamat pagi, Signore. Sudah jam sembilan pagi, apakah Anda ingin sarapan atau mandi?" tanya Paco.
"Tidak. Nanti saja," jawab Lionello dengan nada enggan melakukan aktivitas.
"Baiklah. Apakah Anda ingin kami membereskan kamar Anda?"
"Tidak. Kalian tidak perlu melakukan itu," jawab Lionello.
"Baiklah, Signore." Paco pun menundukkan kepala sebelum meninggalkan kamar Lionello.
Lionello langsung menutup pintu kamarnya rapat-rapat dan menjauh seolah tidak ingin diganggu. Langkah Lionello berhenti di kursi dan duduk di sana. Dirinya melirik ke arah jendela kamar yang masih tertutupi oleh gorden tebal seolah tidak ingin sedikitpun cahaya dari luar masuk ke dalam kamar.
Hari ini dirinya akan pergi ke Frontone Gardens saat perjalanan kembali ke Milan. Meskipun membutuhkan waktu lebih lama beberapa menit karena harus mengambil jalan memutar, Lionello hanya ingin melakukan niatnya datang ke Perugia.
Lionello mengambil napas panjang lalu menundukkan kepala. Dia menekuk salah satu tangannya untuk menyanggah kening. Sehingga posisi Lionello tertunduk. Belum sempat dia memejamkan mata untuk sejenak, pandangannya menangkap sepasang kaki yang mengisi kursi kosong di depannya. Perlahan Lionello pun mengangkat kepala hingga matanya dipenuhi oleh sosok wanita yang kemarin malam membuatnya bingung antara halusinasi atau kenyataan.
Lionello tidak mengatakan apapun. Bibirnya terkatup rapat dengan pandangan hanya terpaku pada sosok wanita itu. Dia ingin membalas senyumnya yang mengembang dengan pandangan mata berbinar-binar. Tetapi yang hanya dapat dilakukan hanyalah mematung tak bersuara sedikit pun.
"Pulanglah. Kau tidak perlu ada di sini." Lionello hanya diam mendengar wanita itu berbicara. "Jangan menyakiti hatimu sendiri. Yang aku inginkan … kau menjalani kehidupanmu dengan normal tanpa ada rasa bersalah sedikit pun padaku. Itu adalah keputusanku. Keputusanku untuk hidup mengkhianatimu dan kelompokmu."
"Tapi … aku mencintaimu. Aku … tidak bisa melupakanmu," gumam Lionello dengan suara lirih.
Violetta kembali tersenyum lalu bangkit berdiri. Dia menghampiri Lionello dan duduk di pangkuan pria itu. Satu tangan mengalung pada pundak Lionello sedang tangan lain menangkup wajah suaminya. Mengelus dengan lembut membuat Lionello tidak bergerak sedikit pun setelah memeluk pinggang istrinya.
"Jika kau memang mencintaiku … lakukanlah tanpa ada rasa bersalah. Tanpa ada penyesalan. Karena aku pun seperti itu," bisik Violetta lalu mengecup bibir Lionello.
Bersamaan dengan itu, Lionello memejamkan matanya. Hingga perlahan dia merasakan bayangan wanita itu menghilang, kini untuk selamanya. Selang beberapa detik kemudian Lionello membuka matanya kembali. Dirinya menatap sekeliling kamar. Entah mengapa kali ini Lionello merasa jika kehadiran Violetta benar-benar nyata dan bukan mimpi kosong belaka.
Apakah itu yang ingin disampaikannya sehingga akhir-akhir ini menemuinya di dalam mimpi atau membuat Lionello berhalusinasi dengan melihat kehadirannya?
Lionello menarik napas panjang seraya mengusap wajahnya. Dia bangkit berdiri dan berkacak pinggang dengan satu tangan sedang tangan lain masih menutupi mulutnya. Mengusap wajah itu berulang kali, sebuah gerakan intens jika dirinya merasa gusar dan menginginkan Violetta kembali muncul meskipun hanya sekilas.