BAB 3

1134 Words
Dua pria tampan itu sedang duduk berhadapan di ruang tamu. Salah satu dari mereka memberikan sebuah foto pada yang lain. Sedangkan jari-jari tangan kiri sibuk mengapit sebatang rokok yang mengeluarkan asap di ujungnya. "Aku pernah mengenal wanita itu dulu. Apa kau masih mengenal wajahnya?" tanya Teofilo tanpa menghentikan aktivitas merokoknya. Lionello terpaku melihat seorang wanita yang dia kenal di dalam foto itu. Teofilo memberikan foto yang lain padanya. Kali ini dirinya lebih terkejut saat melihat foto kedua yang diberikan oleh kakak iparnya tersebut. "Bukankah itu Violetta?" tanya Teofilo memastikan. Ya. Itu Violetta. Wanita yang berada di tengah-tengah dengan senyum lebar yang cantik itu adalah mendiang istrinya. Mana mungkin Lionello tidak dapat mengenalinya. Dia masih mengingat semua hal tentang wanita itu. Bahkan suara wanita itu pun masih melekat di hatinya. "Bukankah itu sebuah kebetulan?" Teofilo kembali berbicara karena tidak ada respon apapun dari Lionello. "Ternyata dia adalah temannya Violetta. Mereka berteman akrab saat kuliah di Jerman dulu," sambung Teofilo. "Siapa namanya?" tanya Lionello setelah keterkejutannya mulai menghilang. "Estelle Tourneur. Dan suaminya bernama Jean-Marc De Villiers," jawab Teofilo. "Mereka pasangan dari Jerman, Lio. Mereka pindah ke Spanyol sekitar tiga tahun yang lalu saat Estelle hamil." Lionello menjatuhkan perhatiannya pada foto yang terdapat Violetta di sana. Tatapannya tertuju ke arah Violetta, Maria, Estelle serta satu wanita lain yang tidak dia kenal. Sedangkan ada dua pria lain yang berdiri di belakang mereka. Salah satunya merangkul Violetta begitu dekat. Dan Lionello tahu siapa pria itu. "Dari mana kau mendapat semua informasi ini?" tanya Lionello. Dirinya sudah menebak kalau mungkin kakak iparnya itu meminta bantuan salah satu rekan di pietra focaia. "Dari temanku," jawab Teofilo. "Pietra Focaia?" "Sí." "Kau masih berhubungan dengan mereka?" "Tidak. Tidak semuanya. Hanya beberapa saja yang masih dapat dipercaya." Teofilo menyandarkan punggung pada sandaran sofa. Dia juga menekuk salah satu tangannya ke belakang kepala sebagai tumpuan. "Sudah lima hari polisi belum ada yang menghubungi. Jadi tadi siang aku meminta bantuan temanku." "Mungkin karena mereka tidak memiliki keluarga di sini dan warga negara Jerman, jadi polisi pasti membutuhkan waktu lebih lama," timpal Lionello membuat Teofilo menganggukkan kepala. "Bukankah itu Maria?" Teofilo bertanya memastikan seraya menuangkan beer ke dalam dua gelas kosong di atas meja. Dia memberikan satu gelas itu pada Lionello. "Ya. Dia Maria," jawab Lionello. "Apa kau … mengenal mereka?" "Hanya sebagian," jawab Lionello, lagi. "Bagaimana keadaan Estefania?" "Sudah membaik. Dia sudah mulai sering menyahut saat diajak bicara. Lukanya juga sudah kering. Saat aku ke sini, dia sudah tidur." "Paling tidak dua atau tiga hari lagi polisi akan datang untuk menjemput Estefania. Bagaimana dengan ibumu?" Lionello terdiam sejenak. Dia meraih gelas yang sudah terisi minuman alkohol lalu meneguknya. Setelah habis, Lionello menuangkan kembali ke dalam gelas dan meminumnya. "Sudah pasti dia akan sedih. Tapi mau tidak mau aku harus tetap menyerahkannya ke pihak polisi. Lagipula aku bukan siapa-siapa di sini." "Kalau kau membutuhkan legalitas untuk mengasuh Estefania, kau bisa mengurus berkas-berkas yang dibutuhkan. Nanti biar aku yang akan membantumu." Lionello melirik ke arah Teofilo saat mendengar saran dari kakak iparnya tersebut. "Aku hanya kasihan pada ibumu. Apalagi kalau dia sampai tahu ibunya Estefania adalah temannya Vio, Nieve sepertinya tidak akan melepaskan Estefania dengan mudah." Lionello semakin memikirkan ucapan Teofilo. Dia yakin akan sulit melepaskan Estefania dari Nieve. Bahkan sepanjang hari selama lima hari terakhir Lionello melihat ibunya selalu bersama Estefania. Bercanda dan bernyanyi hingga membuat anak itu mulai bisa diajak berbicara kembali. "Aku akan memikirkannya," ucap Lionello. "Apa kau punya salinannya? Kalau ada, kirim ke emailku." "Sebentar." Teofilo bangkit dari sofa dan berjalan ke ruangan tengah untuk mengambil ponsel. Dirinya kembali duduk di samping Lionello. "Aku kirimkan filenya," ucap Teofilo. Dalam sedetik, Lionello mendengar ada nada notifikasi pelan dari ponsel miliknya. Dia pun mengeluarkan ponsel dari dalam saku celana dan mengecek email yang dikirim Teofilo. "Aku pulang dulu," ucap Lionello pamit. Teofilo menganggukkan kepala. Tanpa berlama-lama Lionello bangkit berdiri. Langkahnya tertuju ke arah pintu sampai bayangannya tidak dapat dijangkau oleh mata Teofilo. Lionello berjalan seorang diri menyusuri trotoar jalan yang tampak sepi. Hanya ada satu dua orang yang berlalu lalang melewatinya. Langkah Lionello terhenti di depan kafe itu. Bola matanya menatap lekat ke arah kafe. Terkadang, benak Lionello membayangkan kalau Violetta masih berada di sampingnya. Mungkin, kalau wanita itu masih ada, saat ini mereka sudah mempunyai seorang anak, laki-laki atau perempuan. Tangan Lionello bergerak mengangkat ponselnya. Dia membuka kembali email yang dikirimkan Teofilo. Sepasang manik mata cokelat kehitaman itu menatap lekat wajah wanita yang sangat dia rindukan. Lionello mendesah kasar seraya mengusap wajah untuk menghilangkan Violetta sejenak dari pikirannya. Dia harus segera pulang karena takut Nieve menunggunya. Lionello memasukkan ponselnya kembali lalu melanjutkan langkahnya. Pria itu menyeberang jalan untuk masuk ke gedung apartemen tempatnya tinggal. Lionello menaiki lift menuju lantai tempat tinggalnya. Ketika sudah sampai, dirinya berjalan pelan masuk ke dalam apartemen. "Kau sudah pulang?" Lionello menoleh ke arah samping dan melihat Nieve sudah duduk di sana sejak beberapa menit lalu menunggu kepulangannya. Dia tersenyum lalu mendekat ke arah Nieve dan duduk di sofa yang berseberangan dengan Lionello. "Madre belum tidur?" Nieve tersenyum tipis. "Madre belum mengantuk." "Mungkin … beberapa hari lagi polisi akan datang menjemput Estefanía." "Apa informasi tentang keluarganya sudah ditemukan?" Pria itu terdiam sejenak. Lionello tidak bisa memberitahu informasi mengenai Estefanía pada Nieve. Terlebih ibu dari anak itu adalah salah satu teman kuliahnya Violetta. "Sepertinya polisi belum menemukannya." "Lalu kenapa dia ingin mengambil Estefanía?" Nada suara Nieve mulai terdengar kesal bercampur cemas. Lionello tidak bisa menyalahkan kecemasan Nieve. Wanita seusianya memang lebih menyukai anak kecil karena terasa seperti mempunyai cucu. "Karena memang seperti itu peraturannya. Estefanía mungkin akan dibawa ke dinas sosial." "Tapi dia masih terlalu kecil, Lio. Aku tidak bisa … membiarkannya tinggal di sana," ucap Nieve. Benaknya mulai membayangkan hal tersebut. Sehingga membuat Nieve merasa semakin diselimuti kecemasan yang tidak jelas. Nieve mendesah kasar. Wanita itu bangkit dari tempat duduknya dan menyusul duduk di samping putranya. Kedua tangannya memeluk lengan Lionello seraya memasang wajah memohon pada putranya. "Madre mohon Lio… tolong, jangan biarkan mereka membawa Estefanía. Bila perlu kau harus mengambil hak asuh jika polisi tidak menemukan keluarganya. Jangan biarkan dia tinggal di dinas sosial. Madre mohon padamu..." Kedua mata Nieve mulai berkaca-kaca. Airmatanya sudah memenuhi kelopak mata. Siap untuk merembes kapan saja. Sedangkan dia semakin erat memeluk lengan putranya. Jari-jari tangannya meremas kain pakaian Lionello. "Apa kau tidak melihat perubahan Estefanía setelah tinggal bersama kita? Apa kau tidak menyayangi anak itu? Lihat dia, Lio… mungkin kalau kau mempunyai anak… dia akan seusia dengan Estefanía." Kau benar, Ma. Mungkin jika Violetta dan bayi yang ada dalam kandungannya masih hidup… anakku akan seusia dengan Estefanía, batin Lionello saat termangu mendengar ucapan Nieve. Tidak ada yang tahu kalau Violetta pernah mengandung, termasuk Nieve ataupun Teofilo. Dirinya tidak pernah mengatakan hal tersebut pada mereka. Sedangkan saat Violetta meninggal dulu, istrinya pernah bilang kalau hanya Maria dan Elmer yang mengetahui kehamilannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD