Insiden kecelakaan yang jarang terjadi itu sangat cukup menarik perhatian. Seluruh saluran berita televisi, radio bahkan internet menjadikannya berita utama karena menyebabkan delapan korban meninggal dunia, termasuk kedua orangtua Estefanía. Saat pihak kepolisian tengah sibuk mencari informasi mengenai keberadaan sanak keluarga dari kedua orangtua Estefanía, Nieve dan Lionello justru tampak menikmati kehidupan baru mereka dengan kehadiran gadis kecil tersebut.
Lima hari berlalu. Kondisi mental maupun fisik Estefanía pun sudah membaik. Ya, anak itu seringkali memimpikan insiden kecelakaan yang di alaminya. Untung saja Nieve selalu menemani dan menenangkan Estefanía tiap kali hal itu terjadi. Sehingga Estefanía dapat mengatasi mimpi buruknya tersebut.
Seperti saat ini, Nieve terlihat sibuk menyanyikan lagu pengantar tidur untuk Estefanía. Ia berbaring di samping anak itu dengan tangan yang mengelus puncak kepalanya.
Nieve menyanyikan sebuah lagu lulaby berulang kali. Senyum bahagianya tidak menghilang sedikit pun saat menimang-timang Estefanía. Entah mengapa bayangan ketika sedang menimang Lionello kecil dulu kembali terputar di dalam ingatannya.
Dari arah lain tampak Lionello tengah berdiri di ambang pintu. Ia melamun melihat ibunya sedang menidurkan Estefanía di kamarnya. Pandangannya menunduk mengingat jika Violetta pernah mengandung anaknya. Mungkin kalau istrinya masih berada di sampingnya hingga saat ini, anak mereka sudah seusia Estefanía.
Lionello menarik napasnya dalam-dalam. Kenangan masa lalu memang menyiksa hatinya, tetapi ia pun tidak ingin melupakan wanita yang sangat dicintainya hingga saat ini. Pandangan Lionello teralihkan sejenak untuk menghentikan lamunannya. Ia mengetuk pintu itu dengan sangat pelan membuat Nieve menoleh ke arahnya.
Ujung-ujung bibir Lionello tertarik perlahan, membentuk senyuman tipis untuk membalas senyum dari Nieve. Ia memotong langkah menuju ranjang di dalam kamar tersebut dan berhenti tepat di depan ibunya.
"Este sudah tidur, Ma?" tanya Lionello. Ia melirik ke arah Estefanía.
"Ya," jawab Nieve dengan senyum lebar. Jemarinya mengusap wajah anak itu dengan lembut sebelum menurunkan kedua kakinya hingga menapak pada lantai.
"Kau belum tidur?" Nieve bertanya balik.
"Aku masih belum mengantuk."
Nieve tersenyum saat menoleh ke arah Estefanía. "Setiap kali Madre menidurkan Este, Madre selalu terbayang dengan kenangan saat menidurkan mu di waktu kecil. Itu seperti baru terjadi hari lalu, dan ternyata sudah lebih dari tiga puluh tahun kenangan itu berlalu."
Lionello hanya diam mendengar ucapan ibunya. Ia berjalan ke arah Nieve dan duduk di sampingnya. Sepasang netra mata cokelat kehitaman itu menatap lekat pada wajah seorang anak yang sedang terlelap begitu pulas.
"Apa sudah ada kabar dari pihak kepolisian?" tanya Nieve membuat bola mata Lionello menatap arah lain.
"Teo belum memberikan informasi lagi, Ma."
Nieve menghela napas panjang. "Kasihan sekali Estefanía." Lalu melirik ke Estefanía. "Dia masih terlalu kecil untuk mengalami ini semua."
Hening. Lionello tidak merespon ucapan Nieve sedangkan wanita tua itu sudah berhenti berbicara. Tetapi keheningan mereka tidak berlangsung lama ketika Lionello bangkit dari atas ranjang dan memilih pamit pergi ke kamarnya sendiri. Nieve pun mengiyakan karena tahu putranya mungkin sedang kelelahan.
Lionello melenggang keluar. Langkahnya tertuju pada barisan anak tangga hingga berhasil melewati mereka. Apartemen itu hanya mempunyai dua lantai dengan tiga kamar. Dua kamar ada di lantai satu sedangkan satu kamar berada di lantai dua.
Setelah meninggalkan kehidupan kelamnya, Lionello pun memilih untuk tinggal di apartemen sederhana dibanding rumah mewah dengan segala fasilitas yang lengkap, taman serta kolam renang yang luas. Entahlah, mungkin dirinya sudah merasa bosan hidup di rumah besar yang membuatnya semakin sadar jika kehidupannya hanyalah dipenuhi kekosongan.
Nieve pun tidak menolak keputusannya membeli unit apartemen sederhana untuk dijadikan tempat tinggal mereka. Tinggal di rumah seperti ini membantunya untuk tetap tidak melupakan mendiang ibunya, Janira.
Lionello membuka pintu kamar dan masuk ke dalam. Sampainya di depan kasur, ia segera membaringkan tubuhnya. Pandangan Lionello tertuju pada langit-langit kamar. Keheningan yang menyelimuti selalu menarik Lionello ke dalam jurang rasa sakit karena terlalu lama merindukan sosok Violetta. Tapi ia masih saja tidak pernah bosan dengan hal itu.
Helaan napas panjang keluar dari mulutnya. Lionello berusaha memejamkan mata tanpa ada ingin melepas sepatu maupun mengganti pakaian. Ia hanya ingin terlelap sejenak sekitar satu atau dua jam.
Namun keinginannya meredup ketika ponsel yang berada dalam saku celananya tiba-tiba berdering. Lionello pun membuka kedua matanya dan merogoh kantong celana untuk mengambil ponsel. Di lihatnya nama Teofilo muncul di layar ponsel, menandakan jika kakak iparnya tersebut yang sedang menghubungi.
"Kau di mana?" Pertanyaan Teofilo langsung terdengar sedetik saat Lionello menempelkan benda pipih tersebut ke arah telinga.
"Di apartemen. Apakah terjadi sesuatu?" tanya Lionello.
"Apa kau bisa datang ke apartemenku?"
"Ya. Aku akan ke sana," jawab Lionello dan mematikan sambungan telepon.
Tanpa menunggu lama, ia pun segera bangkit dari atas ranjang. Lionello meraih mantelnya yang memiliki warna gelap. Sepanjang langkah menuruni anak tangga, kedua tangannya tampak sibuk mengenakan mantel hitam itu.
"Kau hendak ke mana, Sayang?"
Langkah Lionello dihentikan oleh kalimat pertanyaan Nieve. Ia menoleh ke arah samping dan melihat ibunya sedang sibuk menata sesuatu di dapur.
"Teo menelepon dan memintaku untuk pergi ke apartemennya, Ma," jawab Lionello.
Nieve tersenyum dan menganggukkan kepalanya tanda mengerti. "Baiklah, hati-hati di jalan, ya."
Lionello membalas senyum Nieve. Dia mendekat ke arah ibunya lalu mengecup kening Nieve sebelum benar-benar pergi.
"Aku pergi dulu, Ma," ucapnya berpamitan.
***
Suasana malam di tengah kota Barcelona tidak pernah sepi. Jalan masih saja dipenuhi oleh kendaraan. Trotoar yang digunakan untuk para pejalan kaki pun masih ramai. Padahal waktu hampir menunjuk pada angka sebelas malam.
Lionello berjalan melewati garis penyeberangan. Ia memasukkan kedua tangan ke dalam saku mantel agar tidak terasa dingin. Jarak apartemen Teofilo dengannya hanya seratus meter sehingga dapat ditempuh dengan jalan kaki.
Lio.
Langkah Lionello terhenti. Ia menoleh ke arah kanan. Helaan napas panjang terdengar dari arahnya ketika menatap kafe miliknya yang sudah ditutup sejak dua jam yang lalu. Letta Cafè, Lionello mengambil nama istrinya untuk disematkan sebagai nama kafe miliknya. Serta maraschino adalah menu utama di kafenya, jenis kopi yang sangat disukai mendiang Violetta.
Samar-samar Lionello masih sering mendengar suara Violetta yang seperti sedang memanggilnya. Dan ia merasakan itu setiap kali sedang sendirian. Mungkin alam bawah sadarnya yang melakukan hal itu sehingga ia seperti merasakan mendengar suara Violetta.
Lionello melanjutkan langkahnya hingga tanpa terasa sudah sampai di depan gedung apartemen Teofilo. Ia pun masuk ke dalam gedung tersebut lalu menaiki lift menuju lantai lima. Sebuah lantai yang menjadi bagian tertinggi di gedung apartemen itu.
Sampainya di depan pintu, ia segera mengetuk dinding pintu itu dan menunggu Teofilo membukanya.
"Masuklah," ucap Teofilo saat sudah membuka pintu. Ia menarik lebar-lebar daun pintu agar Lionello dapat masuk ke dalam apartemennya. Tidak lupa Teofilo segera menutup pintunya kembali dan menyusul langkah Lionello.