BAB 4

1314 Words
Nieve mendesah pelan melihat putranya tidak mengatakan apapun untuk merespon ucapannya. Meski Lionello selalu menuruti serta mewujudkan apa yang dia inginkan, ada beberapa hal yang tidak bisa diubah oleh Nieve dalam diri putranya. Termasuk keputusan yang sudah diambil Lionello. Nieve hanya berharap hati putranya melunak saat dirinya mengatakan hal itu. "Madre ingin tidur dulu. Kau … jangan tidur terlalu malam," ucap Nieve lalu bangkit dari sofa. Derap langkah kaki Nieve membuat Lionello tertarik untuk memperhatikan. Sepasang mata yang memiliki sorot ketajaman di atas rata-rata itu menjatuhkan pandangan pada punggung ibunya yang mulai rapuh. Hingga perlahan tatapannya menunduk saat tidak dapat menjangkau bayangan sang ibu. Bukan hanya Nieve yang menaruh perhatian lebih pada Estefania. Lionello pun mulai tertarik pada anak itu. Terlebih sekarang mengetahui latar keluarga Estefania. Sejak menjadi pemimpin salah satu kelompok mafia pun Lionello tidak bisa berbuat kejam pada anak kecil serta wanita tua. Lalu, apakah dia akan mendengarkan permintaan ibunya? Tetapi mengasuh Estefania bukanlah hal yang mudah. Terlebih dirinya tidak pernah memiliki pengalaman mengasuh anak kecil. Lionello mendesah kasar. Dia bangkit dari sofa lalu melangkahkan kaki menuju kamar. Saat melewati pintu kamar Nieve, seketika langkah Lionello terhenti. Kedua telinganya menangkap suara isakan tangis yang tertahan dari dalam kamar. Apakah ibunya sedang menangis? Sebelah tangan Lionello terangkat. Dia ingin mengetuk pintu kamar itu. Bertanya pada Nieve tentang alasan yang membuatnya menangis. Tetapi yang dapat dilakukan Lionello hanyalah berdiri mematung dengan kepala yang diselimuti oleh kebingungan. *** Dua hari berlalu begitu saja. Setiap harinya terasa berat bagi Lionello. Nieve tidak lagi bicara padanya sejak malam itu. Wanita tua itu lebih memilih menghabiskan banyak waktu bersama Estefania. Bahkan Nieve tidak pernah meninggalkan Estefania meskipun hanya satu menit. Di mana ada Nieve, di sanalah Estefania berada. Seperti saat ini, Nieve terlambat datang ke kafe karena memandikan serta merapikan penampilan Estefania. Wanita itu menguncir rambut Estefania serta menghiasinya dengan pita yang dia beli beberapa hari lalu. Seperti Estefania akan tinggal lama di sana, Nieve membeli apapun untuk anak itu, mulai dari pakaian, perlengkapan, s**u, hingga pita-pita rambut yang berbentuk lucu-lucu. Sedangkan di dalam kafe sudah ada Lionello, Teofilo, dua polisi serta aparat dinas sosial. Mereka duduk di satu meja. Sedangkan beberapa cangkir teh berada di hadapan mereka. "Sudah hampir lima belas menit kami menunggu tapi ibu Anda dan anak itu belum datang," ucap polisi tersebut. "Tunggu sebentar. Estefania pasti akan datang bersama ibuku," ucap Lionello agar mereka bersedia menunggu di kafe tanpa datang ke apartemen. "Kami akan menunggu sampai lima menit. Kalau beliau belum datang, kami akan menjemputnya di tempat tinggal—" "Itu mereka datang," ucap Teofilo memotong ucapan polisi tersebut. Ah, itu sebabnya Teofilo tidak menunggu informasi dari polisi. Karena dirinya sangat tidak menyukai polisi. Baginya polisi tidak bekerja dengan baik. Sepertinya Lionello pun merasakan hal yang sama. Terlihat jelas pria itu mencoba menahan kekesalannya. Seketika perhatian mereka tertuju ke arah Nieve serta Estefania yang baru memasuki kafe. Langkah Nieve perlahan berhenti. Dia menarik Estefania agar berdiri di belakangnya. Polisi dan yang lainnya bangkit dari atas kursi masing-masing. Langkah mereka menghampiri Nieve dan Estefania. Bagaikan sebuah ancaman untuk Estefania, Nieve semakin mengeratkan genggamannya pada anak itu serta berdiri menghalangi. "¿Buenos días, dama?" sapa salah satu polisi tersebut. "¿Por qué?" tanya Nieve pura-pura tidak tahu. Bahkan dia mengabaikan sapaan polisi tersebut. Nieve sedang tidak bisa bersikap ramah pada mereka jika kedatangannya untuk menjemput Estefania. "Kedatangan kami untuk menjemput Estefania De Villeirs." Mereka sudah mengetahui nama keluarga Estefania? Apa mereka sudah menemukan keluarganya? batin Nieve dengan tatapan menyipit pada orang-orang asing di hadapannya. "Apa … kalian sudah menemukan sanak keluarganya yang masih hidup?" tanya Nieve. Entah mengapa dirinya justru berharap mereka tidak menemukan keluarga Estefania agar anak itu tetap tinggal dengannya. "Kami belum menemukannya karena tidak ada sanak saudara korban di Spanyol. Kami hanya menemukan kartu identitas kedua orangtuanya," jelas polisi tersebut. "Ayo, Estefania," ajak salah satu orang dari kantor dinas sosial. Kedua tangannya terulur ke depan seolah ingin menggendong Estefania. Namun anak itu justru meringkuk ketakutan di belakang punggung Nieve. "A-apa … apa boleh biar aku saja yang merawatnya?" pinta Nieve. Keempat orang itu saling menatap. Sedangkan Teofilo dan Lionello hanya diam mendengar jawaban mereka. Meskipun pada akhirnya mereka tahu tidak akan memperbolehkannya begitu saja. "Jika Anda ingin merawatnya, harus melalui proses hukum terlebih dahulu," jawab salah satu dari pihak dinas sosial. "Ma, biarkan Estefania bersama mereka dulu," ucap Lionello membuat pandangan Nieve terpaku padanya. "Tapi, Lio …. " Nieve menundukkan kepala. Dia tidak sanggup melanjutkan ucapannya. Karena dirasa percuma membujuk Lionello untuk mengambil hak asuh Estefania. Putranya pasti akan mendukung orang-orang itu. Nieve berjongkok di hadapan Estefania yang masih tampak ketakutan. Dia tersenyum masam seraya menatap sendu pada anak kecil tersebut. Airmata Nieve sudah bersarang di pelupuk mata seolah siap untuk merembes kapan saja. "Percaya padaku, Ma. Nanti … aku akan mengurus semuanya," ucap Lionello pada akhirnya setelah beberapa saat diam untuk memikirkan jalan keluarnya. Kedua tangan Nieve mengelus wajah Estefania dengan lembut lalu menoleh ke arah Lionello. Dia tidak dapat menahan kesedihannya karena akan berpisah dengan Estefania. Perlahan airmatanya menetes membuat Lionello menghampiri lalu merangkulnya untuk berdiri. "Silakan," ucap Lionello pada orang-orang tersebut untuk membawa Estefania. "Lío …. " Nieve memanggilnya dengan nada memohon diiringi isakan tangis. "Kau tenang saja, Ma. Estefania akan kembali bersama kita nanti," bisik Lionello saat menarik Nieve ke dalam pelukan. Seketika tangis Estefania pecah saat digendong oleh salah satu dari keempat orang tersebut. Estefania menangis meraung-raung seraya mengulurkan kedua tangan pada Nieve seolah meminta bantuan wanita tua itu. Sedangkan Nieve hanya menatap iba diiringi tangis melihat kepergian Estefania. "Kalau begitu, kami akan pamit pergi. Terima kasih atas kerjasamanya," ucap polisi tersebut. "Lio … tolong bawa Estefania kembali," pinta Nieve semakin erat mencengkram pakaian putranya. "Ya," jawab Lionello pelan setelah bayangan Estefania menghilang dari hadapan mereka bersama keempat orang tersebut. Lionello menghela napas pelan. Dia melirik ke arah Teofilo yang sejak tadi berdiri tak jauh darinya. Dua pria itu saling bertatapan sampai akhirnya pandangan Teofilo tertuju ke arah Nieve yang terus menangis menyebut nama Estefania. "Aku akan menghubungi salah satu temanku untuk membantu kita mengurus semuanya," ucap Teofilo untuk menenangkan Nieve. "Lakukan secepatnya, Teo. Aku mohon …, " ucap Nieve memohon. "Aku khawatir … Estefania akan kembali seperti sebelumnya. Aku takut anak itu merasa ketakutan di sana. Aku sangat mencemaskannya, Lio," sambung Nieve dan kini menatap Lionello. "Tolong, Sayang. Madre mohon padamu. Tolong secepatnya bawa Estefania kembali." "Ya, Ma. Kau tenang saja," jawab Lionello diiringi helaan napas panjang. Salah satu tangannya masih mengelus punggung Nieve untuk menenangkan wanita tua itu. Satu jam kemudian suasana sedikit lebih tenang. Nieve sudah berhenti menangis dan sekarang sedang berjalan keluar ke pasar yang letaknya tidak jauh. Nieve pergi bersama tetangga apartemen yang dimintai bantuan Lionello untuk mengajak ibunya berjalan-jalan agar sedikit melupakan kejadian itu. Sedangkan Lionello dan Teofilo masih berada di kafe. Mereka duduk di ruangan pribadi milik Teofilo karena jam-jam sekarang kafe mulai ramai. Lionello menuangkan minuman alkohol untuk kesekian kalinya ke dalam gelas kosong yang ada di hadapan mereka. "Kalau kau malas mengumpulkan berkas-berkas yang diminta temanku, kau bisa menyuap mereka bukan? Aku yakin uangmu masih ratusan miliar euro," ucap Teofilo lalu mengambil gelas miliknya yang sudah diisi minuman alkohol. "Aku sudah berusaha hidup dengan bersih di sini selama satu tahun. Jangan membuatku menjadi kotor lagi," balas Lionello merasa tidak setuju dengan saran kakak iparnya tersebut. Sontak Teofilo justru tertawa mendengar ucapan Lionello. Tawanya pecah di dalam ruangan membuat adik iparnya tersenyum memutar bola mata serta memalingkan wajah karena merasa kesal. "Bagaimana rasanya hidup bersih, heh?" ledek Teofilo. "Kau sudah hidup dengan cara kotor sejak lahir. Jadi darahmu sudah menyatu dengan gaya hidupmu yang dulu. Berbeda denganku, aku … meskipun pernah melakukan keburukan pun, aku tidak diciptakan seperti itu sejak lahir," sambung Teofilo membuat Lionello semakin kesal. "Tidak bisakah kau berhenti meledekku? Aku masih menyimpan senjata di dalam laci meja itu," ucap Lionello seraya mengedikkan dagunya ke arah meja miliknya yang terletak tidak terlalu jauh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD