Bab 3

2000 Words
Riana terlihat asyik menelusuri rak-rak yang ada di supermarket tempatnya berada saat ini. Semakin ia menelusuri rak-rak tersebut, wajahnya semakin berubah cemberut karena barang yang paling ia cari tidak ia temukan di supermarket ini." Riana menghembuskan nafas kasar karena permen kesukaannya itu ternyata tidak di jual di supermarket yang ia datangi saat ini. "Beli dimana ya permen itu?" gumam Riana bertanya-tanya. Merasa sudah tidak ada lagi yang perlu dirinya beli, Riana akhirnya berjalan dnegan langkah lesu smabil membawa beberapa kebutuhan bulanan yang sudah ia ambil tadi menuju meja kasir. Petugas kasir segera menerima barang belanjaan milik Arum dan mulai menghitung total belanjaan tersebut dan memberitahukannya pada Arum. "Thank you," ujar Riana pada kasir yang berjaga di supermarket. Ia kemudian meraih dua kantong belanjaan miliknya lalu berjalan keluar dari supermarket tersebut. Begitu sampai di depan pintu supermarket Riana segera meraih merogoh sakunya untuk mengambi ponsel miliknya. Begitu ia mencoba menyalakan ponselnya, gadis itu langsung mendengus kesal menyadari bahwa ponselnya ternyata sudah mati karena kehabisan baterai. Ini semua karena ponselnya ini adalah ponsel keluaran lama dan memang kualitasnya sudah tidak bagus lagi, jadi sangat cepat kehabisan daya baterai. Riana belum memiliki uang untuk membeli ponsel baru maka dari itu ia terpaksa harus bertahan dengan ponsel ini. "Kenapa tadi nggak sekalian bawa power bank sih," gerutu Riana menyalakan dirinya sendiri yang ceroboh dan melupakan benda penting yang selalu ia bawa jika membawa ponselnya ini. Ia melihat sekitar dengan pandangan khawatir. Riana memang memiliki otak yang cerdas, namun setiap orang tetap saja punya kelemahannya dan kelemahan yang dimiliki dirinya adalah ia sulit menghafal jalan jika baru dilewati sekali saja olehnya. "Moga aja kali ini bisa ingat jalannya," gumam Riana penuh harap. Jika hanya berdiam di sini ia tentu tidak akan bisa pulang ke apartemennya. Maka dari itu Riana mencoba peruntungannya kali ini, semoga saja ia tidak kesasar. Yang diharapkannya saat ini semoga saja dirinya bisa sedikit mengingat jalan yang dilaluinya tadi. Dengan menenteng dua kantong besar belanjaannya, Riana berjalan menjauhi supermarket sambil berusaha sekuat tenaga untuk bisa mengingat jalan-jalan yang ia lewati tadi ketika akan pergi ke supermarket. Saat Riana tiba di persimpangan entah pertigaan maupun perempatan, ia akan berdiri lama sambil berpikir harus belok ke arah mana. Terkadang ia bahkan hanya bisa menebak saja jalanan yang dilaluinya tanpa benar-benar yakin apakah tadi ia melewati jalan itu. Riana benar-benar ingin menangis saat ini juga. Sudah dua jam lebih ia berjalan kaki tapi entah kenapa ia merasa bukannya semakin dekat dengan apartemenya, mlah dirinya merasa semakin jauh dari area apartemen tersebut. "Ini dimana sih?" gumam Riana yang mulai khawatir, jantungnya bahkan sudh berdegup kencang karena rasa takut dan gugupnya saat ini. Langit terlihat sudah mulai gelap tapi dirinya sama sekali tidak tahu bagaimana cara untuk pulang. Ini semua karena kecerobohan dan kebodohnya kenapa tidak membawa powerbank tadi. Riana mulai merasakan pegal dan kebas pada kakinya karena sudah terlalu lama berjalan tanpa arah. Ia akhirnya memutuskan untuk duduk dahulu di sebuah kursi halte bus yang tidak jauh dari tempatnya berdisi saat ini untuk mengistirahatkan kakinya yang begitu lelah. Selama duduk ia terus saja menarik nafas untuk menghirup udara sebanyak mungkin demi menenangkan dirinya yang saat ini sepertinya sudah akan menangis karena ketakutan tidak bisa pulang. "Ini gimana caranya balik ke apartemen?" ujarnya pada diri sendiri. Saat ini ia sudah merasa ingin menangis karena rasa lelah dan khawatir. Riana masih berusaha sekuat tenaga untuk menahan tangisnya yang sudah semakin memaksa untuk keluar. "Halo. Orang Indonesia ya?" Mendengar suara tersebut, Riana yang tadi menunduk segera mengangkat wajahnya melihat siapa yang mengajaknya berbicara. Di hadapannya saat ini ada seorang pria berkacamata yang terlihat masih begitu muda namun usianya mungkin lebih tua beberapa tahun dari Riana. Mendengar pertanyaan pria itu Riana langsung mengangguk dengan semangat. Akhirnya ia memiliki sedikit harapan untuk menanyakan keberadaan apartemen yang ia sea pada seseorang. "Saya lihat kamu dari tadi terlihat gelisah di sini. Apa ada masalah?" Tanya Pria itu dengan nada pelan, berusaha berhat-hati karena takut wanita di hadapannya ini merasa tidak nyaman karena dirinya sudah mengganggu. Riana langsung berdiri dan tersenyum formal pada pria yang berdiri di hadapannya ini. "Saya mahasiswa yang baru datang ke Singapura jadi sama sekali belum tahu tentang daerah di sini. Tadi setelah habis belanja dari supermarket, pas udah mau balik ke apartemen malah lupa jalan pulang, alhasil malah kebingungan di sini," ujar Riana menjelaskan permasalahannya pada pria tersebut. "Apartemen kamu dimana? Biar saya antar ke sana," ujar pria itu yang menawarkan bantuan pada Riana. Riana terdiam sebentar merasa sedikit takut, masalahnya sekarang sudah hampir gelap. Bagaimana jika pria di hadapannya ini adalah orang yang berniat melakukan hal jahat pada dirinya? "Saya tahu kamu pastui ragu dan takut buat percaya sama saya, tapi beneran kok saya nggak bermaksud jahat kok. Tadi saya lihat kamu seperti kebingungan bahkan sudah hampir menangis, makanya saya ingin menolong," ujar pria itu berusaha meyakinkan Riana bahwa ia tidak sedang berniat jahat padanya. Riana langsung menggeleng karena merasa tidak enak sudah mencurigai orang yang berniat menolong dirinya. "Maaf," ucap Riana sambil menatap pria itu dengan tatapan bersalahnya. "Jadi dimana apartemen kamu?" Tanya pria itu. "Kompleks Kondominium, One-north Residence," ujar Riana menyebutkan nama apartemen yang ia sewa itu. "Wah kebetulan dong kalau gitu, soalnya saya juga sebenarnya emang berniat mau ke sana. Kita bisa bareng aja ke sana. Ayo." Pria tersebut langsung meraih tas belanjaan yang dipegang Riana dan berjalan duluan. Dengan sigap Riana segera mengikuti langkah pria berkacamata itu. "Nama aku Refo," ujar pria itu memperkenalkan dirinya sambil mengulurkan tangannya pada Riana. "Riana," balas Riana menerima uluran tangan pria itu untuk bersalaman. "Kuliah di Universitas Nasional Singapura ya?" Tanya Refo. "Iya. Kok tahu?" Refo tertawa kecil mendengar pertanyaan Riana. "Tentu saja tahu, apartemen kamu hanya berjarak 7 menitan dari Universitas Nasional Singapura jika menggunakan kendaraan," jelas Refo. Riana mengangguk paham, itu juga alasan kenapa ia memilih langsung membayar apartemen itu. Karena lokasinya cukup dekat dengan kampusnya dan pasti kesulitan baginya untuk mendapatkan apartemen lain dengan harga murah dan lokasi yang strategis seperti itu. "Mas Refo kuliah di sini juga?" Tanya Riana. "Jangan panggil Ma dongs, panggil Refo aja. Sebenernya saya udah lulus dua tahun yang lalu sih, cuma masih pingin di sini karena temen ada yang belum selesai kuliah," jelas Refo. "Sekarang ini saya emang mau pergi ke apartemennya dia. Kebetulan kamu sama temen saya tinggal di gedung apartemen yang sama." Riana mengangguk paham, setelah itu ia kemudian memilih diam dan tidak berkomentar lagi. Dalam pikirannya ia merasa iri pada Refo yang setelah kuliah masih bisa bersantai di negeri orang tanpa memikirkan biaya yang harus ia keluarkan selama merantau di sini. Memang enak kehidupan orang kaya menurutnya, mereka sama sekali tidak perlu berpikir panjang ketika akan mengeluarkan uangnya untuk hal-hal apapun. Setelah sepuluh menit lamanya berjalan kaki akhirnya Riana dan Refo tiba di gedung apartemennya. Riana tentu saja langsung bernafas lega karena akhirnya berhasil sampai di gedung tersebut dan bisa pulang dengan selamat. "Udah malem banget, lebih baik kamu segera masuk ke dalam," saran Refo, ia kemudian mengembalikan barang belanjaan Riana yang dari tadi ia bantu pegangi. "Makasih banyak ya." ucap Riana. Keduanya kemudian berjalan bersama masuk ke dalam gedung apartemen menuju lift. Riana langsung menekan tombol nomor 5, membuat Refo menatapnya bingung. "Mau ke lantai lima juga? Unit apartemen temenku juga di lantai lima." Riana terdiam. Mungkin kebetulan memang unit temannya sama, batin Riana. Begitu lift tiba di lantai lima Riana berjalan perlahan menuju unit apartemennya. Ia mulai ketakutan karena merasa pria bernama Refo ini mengikutinya. Apa pria ini mau berbuat jahat? batin Riana yang mulai ketakutan. Riana mempercepat langkahnya kemudian langsung menuju pintu apartemennya dan buru-buru membuka pintu apartemennya. Begitu pintu terbuka dan ia sudah akan masuk ke dalam apartemen, pria bernama Refo itu berlari menahan pintu tersebut membuat Riana langsung berteriak histeris sambil memukul kepala Refo dengan kantong belanjaan yang dipegangnya. Refo tentu saja menjerit kesakitan karena pukulan Riana yang begitu keras padanya. "Ada apa ini?" Tanya Rangga yang sudah berdiri di depan pintu karena terkejut mendengar teriakan Riana. "Dia orang jahat ngikutin aku sampai sini," jelas Riana mengadu pada Rangga. Refo memegang kepalanya yang sakit karena dipukuli oleh Riana kemudian menatap Rangga. "Lo sejak kapan tinggal sama cewe bro?" Tanya Refo pada Rangga. Riana langsung terkejut begitu mendengar pertanyaan Refo untuk Rangga. "Kalian saling kenal?" Tanya Riana sambil menatap mereka berdua dengan ekspresi terkejutnya. "Lebih baik kalian masuk. Malu jika dilihat tetangga," ujar Rangga datar. Ia berjalan duluan masuk ke dalam apartemen meninggalkan Riana dan Refo yang kepalanya masih penuh dengan tanda tanya. Riana yang kebingungan karena pria yang ia kira mengikutinya ternyata teman Rangga dan Refo yang kebingungan mendapati sahabatnya tinggal bersama seorang wanita yang tidak ia kenali. Riana langsung berjalan menuju dapur begitu masuk ke dalam apartemen untuk membereskan belanjaannya, sedangkan Refo menuju sofa ruang tengah dan duduk di samping Rangga yang saat ini sedang sibuk dengan laptopnya. "Lo ternyata udah punya cewe bro? Udah tinggal bareng lagi. Nggak nyangka gue akhirnya seorang Rangga punya cewe juga," goda Refo pada sahabatnya ini. Rangga menatap Refo tajam mendengar perkataan temannya itu. "Nggak usah ngaco kalo ngomong," ujar Rangga dengan nada tajam sambil sibuk menatap layar laptopnya yang berisi laporan akhirnya. Refo melirik ke arah dapur dimana Riana terlihat sibuk menata belanjaannya ke dalam kulkas. "Kalau bukan cewe Lo, ngapain Lo ajak tinggal bareng?" Tanya Refo curiga. Rangga menghembuskan nafasnya kasar kemudian menatap Refo dengan pandangan kesal. "Ini semua ulah Kak Grace, dia kemarin bilang mau nyewain satu kamar di apartemen ini tapi bukannya disewain ke cowo dia malah nyewain ke cewe. Mana tuh cewe udah bayar biaya sewa selama setahun dan duitnya udah dipake sama Grace. Akhirnya tuh cewe gue biarin tinggal di sini sampai Grace bisa balikin uang dia nanti," jelas Rangga. Refo langsung tertawa setelah mendengar penjelasan Rangga. "Jadi Lo sama sekali nggak kenal sama tuh cewe? Tapi kalian berdua udah tinggal bareng." Rangga mengangguk kemudian mulai kembali fokus pada laptopnya menyelesaikan tugas kuliahnya yang menumpuk. Refo kembali memperhatikan Riana yang masih menata belanjaannya kemudian menyenggol lengan Rangga. "Tuh cewe kalo diliat-liat cantik juga bro, siapa tahu bisa jadi cewe Lo tuh. Mumpung tinggal bareng mending sikat aja, proses pdktnya pasti lebih gampang," ujar Refo dengan nada bercanda. Rangga kembali mengalihkan pandangannya ke arah Refo dan menatap tajam pria itu. "Kalo Lo datang ke sini cuma buat ngomong hal ngga penting dan ngaco, mending balik sekarang," ujar Rangga mengusirnya. "Oke oke sorry. Dasar cowo mulut pedes, pantes aja cuma dikit orang yang mau temenan sama Lo," ejek Refo. Rangga memilih tidak merespon lagi perkataan manusia astral yang sayangnya adalah temannya. Beralih ke area dapur, Riana berusaha bergerak cepat untuk merapikan semua barang belanjaannya yang perlu di taruh di dapur. Ia benar-benar merasa tidak nyaman karena dari tadi pria bernama Refo yang menolongnya menemukan apartemen terus saja melirik ke arah dapur untuk melihatnya lalu berbisik pada Rangga. Ia tahu pria berkacamata itu pasti membicarakan dirinya pada Rangga. Riana benar-benar malu saat ini jadi ia ingin cepat-cepat masuk ke dalam kamarnya. Begitu semua bahan makanan yang dibelinya sudah masuk ke dalam kulkas dan beberapa mie instan sudah ia letakkan di lemari. Riana segera mengambil kantong belanjaan yang berisi perlengkapan mandinya untuk di bawa ke kamar. Riana berjalan sedikit terburu-buru agar bisa segera tiba di kamarnya. Namun begitu melewati ruang tengah ia memutuskan berhenti sebentar untuk pamit pada Rangga dan Refo. "A a ku ke kamar dulu," ujar Riana terbata-bata karena gugup dan sedikit malu. "Oh oke Riana," jawab Refo. Sedangkan Rangga tidak meresponnya sama sekali bahkan tidak menatap Riana, tetap fokus menatap laptopnya. Riana tersenyum canggung pada Refo kemudian kembali berjalan terburu-buru menuju kamarnya. Begitu berhasil masuk ke kamarnya dan menutup pintu, Riana bersandar pada pintu kamarnya sambil mengelus dadanya untuk meredakan kegugupan yang ia rasakan. Ia bingung dengan dirinya sendiri, baru satu hari di apartemen ini tapi ia selalu merasa canggung dan gugup melihat pria bernama Rangga itu. Ia berharap semoga perasaan canggung serta gugup ini bisa berkurang seiring berjalannya waktu. Namun jika tetap tidak bisa berkurang, ia hanya perlu berusaha untuk mengurangi intensitas bertemu dengan Rangga. Misalnya baru keluar kamar setelah pria itu sedang keluar atau berada di kamarnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD