"Ris, dipanggil Pak Javier keruangannya."
Risa mengangguk, kemudian bangkit. Kenapa Pak Javier memanggilnya? Apa dia melakukan kesalahan? Risa mengetuk pintu dua kali. Kemudian masuk setelah mendapat izin.
"Bapak memanggil saya?"
"Jika nama kamu Risa Kirana, berarti memang kamu yang saya panggil," jawabnya dingin.
Risa mengangguk. Namun kemudian membulatkan matanya. Loh? Jadi CEO baru yang namanya Javier adalah pria yang sudah dua kali ditabraknya itu? Tapi reaksi pria itu terlihat biasa. Dia malah tampak tidak kaget melihat Risa. Dia juga bicara tanpa melihat kearahnya.
"Laporan yang kemaren kamu buat ada yang dirubah dibeberapa bagian. Ada perubahan harga dan jumlah barang. Segera minta daftar terbaru ke bagian marketing dan perbaiki. Saya tunggu dalam–" ia melihat jam tangannya. "Lima belas menit," sambungnya.
Risa menelan ludah. Lima belas menit? Yang benar saja. Jalan ke lift saja sudah dua menit. Lalu ke bagian marketing lima menit. Berapa waktu tersisa? Risa membatin.
"Ada yang kurang jelas?" Tanya Javier. Risa menggeleng lalu segera pergi.
Javier menekan tombol pada telepon. "Pak Gunawan tolong antarkan biodata pegawai keruangan saya."
Tidak butuh waktu lama, laporan itu sudah ada ditangan Javier. Biodata pegawai perusahaannya. Dia membuka satu persatu. Beberapa sudah ada yang didiskualifikasinya. Javier menahan senyum mengingat ayahnya. Ayahnya pasti akan mencekik diri kalau tau apa yang dikerjakannya. Kemudian tangannya berhenti pada satu kertas. "Umurnya baru 24 tahun tapi sudah punya anak umur 5 tahun. Hebat sekali." Ia tergelak.
Tak lama kemudian terdengar pintu diketuk. Wajah wanita yang lima belas menit lalu berada diruangannya muncul dengan membawa berkas warna merah dan menyerahkan padanya. Ia memeriksa berkas itu. "Baiklah,". Dia kemudian menutup berkas itu dan menautkan jari-jarinya. Dipandanginya wanita itu. "Sudah berapa lama kamu bekerja disini?"
"Dua tahun Pak," jawab Risa. Kenapa Javier menanyakan itu? Apa dia melakukan kesalahan? Tapi apa? Risa terus menerka.
"Pegawai wanita diwajibkan memakai sepatu hak tinggi. Apa kamu tidak tau peraturan itu?” Tanya Vier, membuat Risa menelan ludah. "Maaf Pak." Mampus. Bagaimana Javier bisa tau dia tidak pakai hak tinggi? Perasaan pria itu sama sekali tidak beranjak dari tempat duduknya. Bahkan melihatnya saja tidak. Apa dia cenayang? Risa membatin.
"Apa kamu ikut lomba lari? Sehingga memakai sepatu kets ke kantor."
Risa menggeleng. "Tidak Pak."
"Saya tidak suka orang yang melanggar peraturan. Jika besok kamu masih melanggarnya, tidak perlu lagi datang kekantor." Javier kemudian kembali sibuk dengan ponsel, berkas, dan laptopnya. "Ada yang kurang jelas?"
Risa menggeleng. Lalu permisi meninggalkan ruangan.
...
Risa menggenggam tangan mungil itu dengan gelisah. Ia menyeka air matanya. "Bunda disini nak, jangan takut ya." Ia mencium tangan jagoannya itu.
"Selamat siang Risa," sapa dokter.
Risa menoleh. "Bagaimana keadaan anak saya dok? Apa Kayhan baik-baik saja?" Tanyanya khawatir. Dokter itu tersenyum. "Bagaimana dia tidak akan baik-baik saja. Kayhan adalah anak yang cerdas dan kuat. Dia juga punya ibu yang luar biasa seperti kamu. Jadi tidak usah khawatir. Daya tahan tubuhnya sedang turun. Jadi dia butuh istirahat. Sebisa mungkin jangan berikan dia makanan cepat saji atau yang mengandung perasa buatan."
Risa mengangguk.
"Dia akan segera pulih." Kemudian dokter itu permisi tentu saja setelah Risa mengucapkan terimakasih.
...
Risa bergerak gelisah didepan kamar inap Kayhan. "Iya Han. Aku tidak bisa kembali ke kantor. Kayhan masuk rumah sakit." Hana terdengar ikut prihatin. Dia berjanji akan berusaha menyelamatkan Risa dikantor. Lagipula siapa orang tua yang tega meninggalkan anaknya dirumah sakit. Tidak ada yang menjaga pula. Alasan Risa memang masuk akal dan sangat logis. Ia menghela nafas lega. Setidaknya dia tidak mencari-cari alasan hanya untuk mangkir tanggung jawab. Risa memutuskan untuk ke kantin selagi Kayhan tidur. Sudah jam dua lewat dan di belum sempat makan apapun.
Risa memesan nasi-sup. Sembari menunggu dia memandangi sekeliling kantin. Tak lama kemudian pesanannya datang. Kondisi perutnya memang kritis. Karena tidak butuh waktu lama untuknya menghabiskan makanan itu. Terlebih dia bukanlah orang yang suka pilih-pilih makanan. Selagi halal semua dia makan. "Berapa buk?" tanyanya.
Setelah membayar Risa segera bergegas kembali ke kamar Kayhan. Tapi baru beberapa langkah dia malah bergegas menyembunyikan diri. Javier? Apa yang dilakukannya disini?
Risa meringis. Bisa berabe kalau Javier menemukannya disini. Sama saja setor nyawa. Diikutinya langkah Javier pelan. Kenapa Javier berjalan kearah yang sama dengan kamar Kayhan? Setelah memastikan Vier tidak ada, Risa bergegas kembali ke kamar anaknya. Tapi dia malah dikejutkan dengan Kayhan yang sudah ada didepan kamar.
"Loh nak? Kenapa Kayhan keluar?" Tanyanya langsung memeluk bocah itu.
Bagaimana Kayhan bisa membawa tiang infus ini keluar? Risa langsung mengangkat putranya itu kedalam gendongan dan membawanya masuk.
Sementara itu, seorang pria tampak menoleh ke-kiri kanan. Apa aku halusinasi? Rasanya tidak. Tapi kenapa aku mendengar suara yang familiar disini? Batinnya. Vier mendengus kesal.
"Ada apa Al? Sudah aku katakan jangan telfon disaat jam kantor," ucapnya tidak ramah pada orang disebrang telepon.
"Aku tau kamu sedang diluar Vier. Lagipula ini jam istirahat."
Javier melirik jam tangannya. Jam istirahat? Yang benar saja. Apa temannya ini sedang mimpi?
"Aku tidak janji Al. Aku tidak berhutang apapun. Lagipula aku punya pekerjaan penting selain party-party." Javier kemudian memutuskan sambungan. Vier kembali masuk kedalam ruangan.
"Bagaimana kabar Mama? Dokter bilang apa?" Tanyanya pada wanita paruh baya itu. Diandra. Ibu Vier.
"Baik Vier. Hanya pemeriksaan rutin. Tidak usah khawatir." Ia tersenyum tulus. "Oh ya, Al sudah menyiapkan party untukmu."
Javier menghela nafas. "Aku tidak janji. Mama tau aku tidak suka hal seperti itu."
"Ayolah Vier. Itu untuk penyambutanmu. Apa salahnya bersenang-senang? Kamu baru kembali dari London."
Vier menggeleng. Bukan masalah party, tapi sesuatu dibalik party itulah masalahnya.
"Mama kenapa masih bekerja? Seharusnya mama jaga kesehatan. Kenapa masih sibuk mengurus butik dan shoes-centre itu? Ada Rachel disana dan biarkan dia yang mengurusnya.”
Diandra menatap Vier tidak suka karena mengalihkan pembicaraan. Tapi Vier tetaplah Vier. "Mama kesepian Vier. Papamu juga sibuk."
"Papa juga. Kenapa masih saja sibuk mengurus hotel? Ada Arkan disana. Lalu untuk apa ada Arkan jika papa masih sibuk mengurus hotel itu?"
"Kamu sedang memarahiku?" Tanya sebuah suara. Vier dan Diandra menoleh. "Papa hanya mengawasi Vier," ucap pria itu ikut duduk disofa.
Vier menggeleng. "Jika papa masih datang ke hotel, aku akan mendepak Arkan dari posisinya. Apa gunanya dia menjadi Direktur."
"Apa kamu menganggap aku tidak percaya pada anak-anakku?"
Vier menggeleng. "Aku hanya ingin dia menjadi dirinya. Arkan bukan lagi anak kecil yang harus diawasi. Biarkan dia membuat keputusan dari apa yang didebatkan hati dan fikirannya," ucap Vier tegas. "Ini juga berlaku untuk mama. Jika Mama masih ingin bertemu Rachel, serahkan semua padanya. Atau akan aku pastikan mengirim Rachel kembali ke London dalam satu minggu ini."
Suami istri itu saling menoleh. Apa mereka punya pilihan lain?