Bab 18

1305 Words
Rhea berjalan memasuki sebuah mobil mewah dengan Darel yang duduk di sampingnya. Entah apa nama mobil ini, yang pasti.. ini adalah pertama kalinya Rhea naik ke mobil mewah yang biasanya hanya bisa dia lihat di media sosial para artis terkenal. Rhea memang sudah sering mengencani orang kaya, tapi ini adalah pertama kalinya Rhea bermain dengan bos besar seperti Darel. Pria ini memang sangat menggumamkan. Tampan dan kaya.. perpaduan yang sangat mematikan untuk seorang wanita seperti Rhea. Mobil yang mereka tumpangi mulai berjalan membelah halaman depan rumah yang sangat luas. Bahkan ada kolam ikan dan juga air mancur di tengan halaman. Benar-benar tipe rumah yang sering Rhea impikan. Rumah khas orang kaya. “Kita akan langsung pergi ke lokasi, Pak?” Pertanyaan yang diajukan sopir membuat Rhea mengernyitkan dahi. Selain karena dia bukan sopir yang beberapa hari lalu menjemput Rhea, pertanyaan sopir itu juga menimbulkan tanda tanya besar. Kemana mereka akan pergi selain ke kantor? Sial! Rhea bahkan belum menyiapkan apapun. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan oleh seorang sekretaris. Di dalam tas yang sejak tadi dia jinjing hanya berisi make up, ponsel, dan satu buku catatan kecil yang memang selalu Rhea bawa kemanapun dia pergi. Rhea memang telah mencari tahu apa saja yang harus dilakukan oleh seorang sekretaris, hanya saja.. Rhea tidak siap jika mereka langsung pergi ke lapangan. Rhea ingin ke kantor saja.. “Iya” Jawaban Darel kembali membuat Rhea mengernyitkan dahi. Mereka mau ke mana? Bukankah Rhea yang harusnya mengatur jadwal mereka? Kenapa dia malah tidak tahu kemana perginya mereka? “Kita akan kemana?” Rhea bertanya pelan sambil menatap Darel penuh harap. Pria ini lebih sering mengabaikan pertanyaannya dari pada menanggapi. Tipe bos galak yang akan marah ketika pekerjaan tidak sesuai dengan yang dia harapkan. Sial! Rhea memang terjebak dalam pekerjaan ini! “Lokasi proyak yang baru. Aku bekerja sama dengan salah satu perusahaan ternama untuk membangun pabrik baru” Rhea menganggukkan kepalanya. Pabrik? Proyek pertama yang akan dia tangani adalah pabrik? Oh sial! Rhea tidak tahu apa-apa. Maka dari itu, Rhea segera mengambil ponselnya. Mencoba mencari tahu apa saja yang harus dia lakukan saat nanti Darel bertemu dengan rekan bisnisnya itu. Rhea tidak boleh bodoh, dia terancam kehilangan pekerjaan jika tidak kompeten. Astaga, saat ini Rhea jadi berharap jika Alea menghantamkan gelas ke kepalanya agar dia jadi pingsan dan tidak perlu pergi bekerja lagi.. *** Wilayah yang sedang dilihat oleh Darel adalah kawasan bekas supermarket yang sudah hampir bangkut. Sungguh, di kota besar seperti ini, Rhea tidak tahu bagaimana supermarket sebesar ini bisa bangkrut. Supermarket dengan 3 lantai yang luasnya hampir setengah hektar. Kata Darel dia nanti juga akan membeli beberapa kawasan di depan supermarket ini karena sebuah hotel besar memerlukan tanah yang besar pula. Entahlah, membebaskan tanah sebesar ini.. Rhea tidak tahu bagaimana caranya. Memang beberapa penduduk di sekitar sudah banyak yang menjual tanahnya pada Darel karena pria itu memasang harga yang sangat tinggi. Penduduk terlalu tergiur dan menganggap itu semua adalah keuntungan besar. Huh, mereka tidak tahu saja berapa keuntungan yang jauh lebih besar yang akan diterima oleh Darel. “Jadi bagaimana dengan lokasinya? Bapak sudah cocok?” Rhea bertanya dengan sopan. Dia harus profesional. Sejak rekan bisnis Darel yang katanya ikut berinvestasi di proyek ini datang, Rhea memang mengubah sapaannya menjadi lebih formal. Dia tidak ingin terlihat aneh dengan langsung memanggil nama Darel begitu saja. “Tentu saja cocok. Aku sudah membeli tanah ini..” Jawab Darel. Rhea mengerjapkan matanya.. astaga, dia salah tanya? Lelaki tua yang menjadi rekan Darel menatapnya bingung juga. Sial! Memangnya dia sesalah itu, ya? “Oh, maafkan dia, Pak. Dia sekretaris baru saya. Baru hari ini bekerja” Rhea kembali mengerjapkan matanya mendengar suara Darel yang membela dirinya. Hei, pria itu yang tadi membuat suasana jadi seperti ini. Kenapa dia juga yang membelanya? Tapi memang kalimat yang dikatakan oleh Darel sedikit memperbaiki segalanya. Membuat Rhea hanya bisa tersenyum kikuk. “Ah, tidak masalah. Dia sepertinya masih belajar..” Pria itu menatap Rhea sambil tersenyum. Bukan jenis senyuman yang biasanya diberikan oleh lelaki rua pada umumnya. Huh, Rhea memang cantik. Wanita itu juga menyadarinya. Banyak pria yang terpesona dengannya. Tapi Rhea tidak pernah suka jika ada pria tua menjijikkan yang memberikan tatapan seperti itu. Rhea seketika merasa sangat tidak suka. Sejak awal, Rhea sebenarnya juga sudah menyadari jika pria tua itu terus saja melemparkan tatapan kagum padanya. Tapi kali ini, Rhea sangat tidak suka. “Baiklah. Lokasi ini memang sudah menarikku. Tidak disangka jika masyarakat sekitar lebih antusias untuk menjual tanah mereka. Kita bisa segera menyelesaikan proyek ini. Anda setuju?” Rhea segera mengeluarkan buku kecil yang ada di dalam tasnya begitu dia melihat wanita di depannya, sekretaris pria tua itu mulai mencatat sesuatu di bukunya. Baiklah, mungkin memang ini yang menjadi tugasnya. Tapi tunggu dulu.. apa yang harus dia catat? “Ini akan jadi kerja sama yang sangat menguntungkan kita berdua” *** Dengan kaki yang terbungkus sepatu hak tinggi berwarna hitam mencoba untuk berjalan terus di belakang Darel. Mengikuti langkah Darel yang sangat cepat agar dia tidak ketinggalan pria itu. Bersama dengannya, sekretaris pria itu itu juga ikut berjalan di belakangnya. Sekalipun Rhea seorang w************n, dia juga masih suka menilai orang lain. Ya, sekretaris pria itu.. Tampak sekali jika dia juga w************n yang suka menjajakan tubuhnya. Terlihat dengan jelas bagaimana dia terus menempel pada bosnya. Beberapa kali juga Rhea menangkap basah wanita itu sedang menatap Darel seakan dia ingin memakan pria itu. Well, Rhea tahu bagaimana tatapan itu karena dia sendiri melemparkan tatapan yang sama pada Darel. Pada pria mengagumkan yang setiap hari menggunakan pakaian hitam. Dia sangat menawan.. bersinar ketika terkena cahaya matahari. Membuat dia tampak seperti seorang bintang yang memukau. Oh, sial! Dari belakang saja Darel tampak sangat seksi dan mengagumkan. Rhea jadi ingin mengusapkan tangannya pada punggung tegap itu. Menyentuh seluruhnya sambil menempelkan dadanya. “Kita akan bertemu lagi seminggu dari sekarang untuk membahas sisanya..” Darel mengakhiri pertemuan mereka dengan menjabat tangan pria itu. Rhea ikut tersenyum, lalu juga menjabar tangan pria tua itu. “Kamu sepertinya selalu memiliki sekretaris yang cantik. Bagaimana cara mendapatkannya?” Pria tua itu memang bertanya sambil tertawa sehingga Darel juga ikut tertawa. Ah, Darel kira pria tua itu bergurau? Hanya Rhea yang tidak tertawa. Dia memang w************n, iya.. dia tahu itu. Tapi diperlakukan seperti ini juga membuat dia tidak suka. “Saya tidak pernah memilih yang cantik..” Jawab Darel dengan santai. Huh, dia mungkin tidak memilih yang cantik karena memang semua yang mengajukan diri menjadi sekretaris Darel adalah wanita cantik. Mana mungkin ada wanita tidak cantik yang berani melamar? Wanita juga selalu tahu diri. Sekalipun mereka menyukai pria tampan, jika sadar wajah mereka tidak memenuhi standar, mereka juga tidak akan nekat. “Tidak memilih yang cantik tapi istrimu adalah Alea Brawijaya? Kamu anak muda yang suka bergurau rupanya..” Pria tua itu kembali tertawa. Huh, tentu saja. Pria seperti Darel hanya akan cocok bersanding dengan wanita cantik. Sekalipun Rhea sedikit kesal pada Alea yang telah melukainya, Rhea juga tidak akan abai pada fakta yang ada. Jika bukan Alea, tidak akan ada wanita yang pantas bersanding dengan Darel yang tampan itu. Minimal Darel harus berdampingan dengan model atau artis yang cantik. Tidak mungkin ada orang biasa yang berharap bisa bersanding dengannya. Sekelas Alea Brawijaya saja, Darel tidak terlalu peduli padanya. Bagaimana jika wanita lain yang biasa-biasa saja? “Oh iya, bagaimana kabar istrimu? Aku mengenalnya ketika dia masih kecil. Ayahnya adalah rekan bisnisku juga.. tidak aku sangka aku akan bekerja sama dengan menantunya” Baiklah, sekalipun baru kali ini Rhea bekerja menjadi seorang sekretaris, tapi menurut Rhea pria tua itu memang terlalu banyak bicara. “Dia baik..” Terlihat dengan jelas jika Darel memang tidak menyukai topik yang pria itu bahaskan. Well, Darel bahkan tidak menyukai istrinya sendiri. Bagaimana mungkin dia mau membicarakan istrinya dengan orang lain? “Kudengar dia hamil. Wanita hamil memang cukup merepotkan. Apa saja yang sudah dia minta?” Baiklah. Rhea yakin jika Darel tidak akan bisa menjawabnya. Pria itu bahkan menolak ketika Alea memintanya mengantar ke dokter kandungan. “Maaf, Pak. Kita ada jadwal lain yang sudah menunggu.. kita harus segera pergi” Maka, Rhea memajukan tubuhnya. Mencoba untuk menginterupsi pembicaraan mereka. Sekalipun jujur saja Rhea memang tidak mengerti apapun mengenai jadwal Darel hari ini. Tapi mungkin kalimatnya akan membuat Darel selamat dari pembicaraan yang tidak menyenangkan itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD