Part 3 - Mengutuk Tuhan

1669 Words
    Mentari berarak menuju siang yang panas akan sinarnya, sepulang dari menjajakan onde-onde, si Mbah sedang memasak singkong, mencari-cari garam tak dapat ditemukannya, hingga Rana pun dimintai tolong untuk membelikan garam di warung ujung jalan, seketika Rana berangkat tanpa banyak alasan. Memasuki warung terlihat banyak para lelaki yang tengah duduk dan menyantap beberapa macam gorengan, didapatinya Joko yang tersenyum seolah siap mengumpatkan kata-kata pedasnya pada Rana.     “Juling...beli apa Juling?” Suara itu terasa panas sekali Rana dengar, dia hanya menunduk dan menunggu pemilik warung mengambilkan garam untuknya.       “Kamu ini Joko, orang cantik gitu dibilang juling,” seru pemuda Sobi, teman Joko.       “Coba kamu lihat Sobi, benarkah dia cantik?” lanjut Siman       “Oh iya ternyata cantik kalau dilihat dari sedotan ya, kan dia juling”       “Hahaahahahaaaa” Suara tawa itu seakan menusuk hati Rana, setelah garam di tangan, dia pun berlari secepat kilat, hinaan itu sungguh menyayat jiwanya, kristal bening tak ragu menghiasi langkahnya, dia tak kuasa bila harus menjadi bualan para lelaki. Rapuh, seperti kayu lapuk. ***             Si mbah adalah orang yang paling sabar jika Rana mulai diam, menangis dan benci dengan wajahnya, dipeluknya Rana dengan dekap kasih sayang tiada tara. Rana masih kelu, air matanya tak henti membanjiri pipi. Sesekali dia merintih pada Tuhannya, mengadang lehernya, dilihatnya langit-langit rumah dengan genteng yang berjejer itu. Rana menjerit dalam sakitnya, dia mengutuk Tuhan karena mata kirinya yang tak bisa berfungsi, juling. Berderai air mata, di atas tanah hitam yang tak berubin.            “Sudah, tak perlu kau marah pada Tuhan” Rana memandang si Mbah dengan kesal, dia berdiri mengambil benda apa pun yang ada di meja, dilemparnya ke mana pun dia suka, semua barang di atas meja itu sudah habis terbuang oleh tangan Rana, raungan suara tangis itu tetap saja tak berhenti. Rana merasa hidupnya tak berarti.            “Tenang, nduk..” suara si Mbah lembut. “Diam mbah, di luar sana semua orang menghinaku, rupaku yang buruk ini membuat semua tak menerimaku, siapa yang salah? Ini semua karena Tuhan yang tak pernah adil, Tuhan pilih kasih, Tuhan tak punya hati padaku”             “Jangan begitu, nduk”             “Kenapa? Percuma setiap waktu aku menyembah-Nya, tapi Dia tak pernah menyayangiku” Rana terus merenta, wajahnya penuh tetes air mata nan sembab, diluapkannya segala kekecewaan pada sang Tuhan, tubuhnya lemas karena sedari pagi dia tak menyantap apa pun untuk isi perutnya. Rambut panjang itu terkapar di lantai dengan wajah sayu, Rana tak kuasa menahan tubuhnya untuk jatuh. ***             Malam berselimutkan bulan purnama, suara desingan jangkrik di pinggir sawah rumah si Mbah terdengar begitu keras, di atas tikar daun pandan si mbah menikmati tidurnya, wajah keriputnya begitu kentara. Rana melihat si Mbah merasa iba hatinya, dia menyayangi perempuan tua itu lebih dari apa pun, usianya yang sudah renta tak menyurutkan niatnya untuk tetap bekerja, berjualan onde-onde setiap hari.             Rana duduk di samping si Mbah yang lelap, di tangan kanannya sebuah pisau tergenggam erat. Rana sudah tak ingin menyaksikan dunia ini. Hinaan dari lingkungan sekitar mencerca akan  buruk wajahnya, dengan satu mata juling membuat Rana tak ingin menikmati siksa di dunia. Hidup miskin, pas-pasan dengan hasil jual onde-onde, makan sekadarnya, tempe dan tahu menghiasi hari-harinya, tidak ada ikan laut, ayam goreng bahkan telur sekali pun.             Rana kembali meratap, air matanya jatuh di sela-sela sakit hati yang terus tumbuh tanpa henti. Pisau tajam itu sudah siap untuk mengikuti apa yang tuannya inginkan. Tergenggam erat, air mata itu menetes dan Rana seakan siap menggoreskan pisau itu pada urat nadinya.             Seperti ada yang berbisik di telinga si Mbah, dia pun membuka matanya tanpa diminta. Dilihatnya Rana dengan pisau tajam tepat terarah ke nadinya, sejurus si Mbah  membuang pisau itu dari genggaman Rana. Dipeluknya sang cucu dengan rasa khawatir tiada tara.             “Apa yang kamu lakukan, nduk?”             “Biarkan Rana mati saja Mbah, wajah buruk ini menyiksaku”             “Ngomong apa kamu ini? Kamu kira setelah mati urusan selesai!” Si Mbah dengan suara lirih memberi pengertian pada Rana, tak ada satu pun orang yang mau keluarganya meninggalkan, termasuk si Mbah. Sudah sedari kecil si Mbah merawat Rana, membesarkan dia seorang diri, mencurahkan segala kasih sayang hanya untuk Rana seorang. Apa pun akan Mbah lakukan untuk melindungi cucunya, tak rela bila pisau itu merenggut nyawanya.             Rana  ikut  terbuai dengan kata-kata si Mbah, air matanya pun hadir menyelimuti segala kegundahan yang menerpa. Entah pikiran apa yang kini dirasakannya, dia tak mengerti tentang sebuah makna dalam setiap ucapan si Mbah, Rana pun terpejam di pelukan sang malam bersama si Mbah di atas tikar daun pandan. Hati si Mbah dalam nestapa, tak menyangka bila Rana akan berusaha mengakhiri hidupnya, hanya karena sebuah anugerah yang belum bisa disyukurinya, wajah yang diberikan Tuhannya belum bisa dia terima dengan lapang d**a, bersembunyi sebuah nikmat yang masih menjadi teka-teki hingga ujung nyawa menjadi taruhannya. ***             Rana membuka mata, melihat sudut ruang dengan seksama, cahaya matahari menyelinap sedikit di balik tembok bambu rumahnya, dia bangun dari bantal yang membuat kepalanya bersandar dengan nyaman. Dipakailah sandal warna hitam yang sudah mulai tipis dan waktunya untuk diganti, Rana tak mendapati si Mbah di dapur, dia pun berpikir si Mbah pasti sudah pergi ke pasar.             Keluar rumah dengan kondisi sudah mandi dan berganti baju, dia akan segera menyusul si Mbah, membantunya agar dagangan hari ini bisa laku terjual. Melangkahkan kaki dengan penuh harap, untuk sampai di pasar dengan cepat, Rana mengambil jalan pintas, lewat jalanan sawah yang sepi dan lenggang. Suasana pagi tampak asri, pohon-pohon bergoyang diterpa angin sepoinya, burung pipit kecil berhamburan, berkicau merdu dengan nyanyian kerinduan yang menyapa, berhamburan menikmati alam, dalam balutan awan biru pipit-pipit itu tak berhenti, mendermakan keagungan tiada batasnya.             “Hai Juling,” Siti menyapa. Suara itu menggelegar di telinga Rana, menoleh ke belakang, dilihatnya Siti, seorang gadis berusia sama dengannya, berdiri tolak pinggang setinggi d**a, di sampingnya ada mak Rohima yang tak lain adalah mak Siti, memandang Rana dari ujung kaki hingga kepalanya, sengit tak terhenti.             “Jangan sekali-kali kamu lewat jalan sawahku ya,” lanjut mak Rohima. Rana masih membisukan mulutnya, dia hanya memandang dengan perasaan tertahan. Langkahnya masih terhenti di tempat. Dia tak menyangka jika sedari tadi berjalan di depan Siti dan maknya. Tanpa menggubris, Rana pun melanjutkan langkahnya.             “Juling, b***k ya kamu!” Mak Rohima mengejar Rana dan menghentikan langkahnya, Rana berdiri dengan kaki gemetar. Tangannya menggigil seketika, melihat ke bawah dengan rumput yang bergoyang seperti sedang menertawakannya.             “Makku bilang, kamu jangan lewat jalan di sawahku, mengerti!!” tandas Siti.             “Kamu ini wanita yang gak diinginkan di kampung ini, jadi lebih baik kamU diam di rumah mengunci             diri, tak ada orang di kampung ini punya wajah sejelek kamu, kamu itu dikutuk,” kata mak Rohima melanjutkan.             Rana merintih dalam diam, dia masih tetap sama, tak mengeluarkan sepatah kata pun. Lalu dengan sigap Rana berlari kencang meninggalkan Siti dan Maknya. Dalam hati Rana penuh tanda tanya, seburuk itukah wajahnya hingga semua orang tak ada yang mau menganggap dirinya ada, dikutuk adalah kata-kata yang paling menyakitkan baginya, bola mata kanannya basah dengan air mata.             Rana masih melewati jalanan sawah, dilihatnya beberapa kerumunan gadis yang tengah menikmati pemandangan pagi. Telinga Rana seperti frekuensi yang tepat akurat, dalam langkahnya sejuta cibiran pun terdengar kembali dengan sangat jelas.             “Ada ya wanita buruk rupa seperti dia”             “Iya, ayah ibunya gak jelas, matanya picik begitu”             “Kayak monster, belum lagi tompelnya itu, serem!”             “Orang-orang bilang dia kena kutukan” Kata-kata terakhir membuat Rana melenggang lagi lebih cepat, bahkan ini larinya seperti kuda dengan kekuatan penuh, tetes air mata itu tak terasa membanjiri langkahnya, dia masih tertegun dengan setiap kata yang keluar dari mulut para penduduk di kampunya, Siti dan Maknya, serta para wanita dengan wajah yang ayu. Belum lagi jika nanti dia bertemu dengan Joko, pasti hatinya akan kembali meronta. ***             Kaki yang mulanya melangkah dengan pasti kini harus terhenti, Rana memandang matahari yang memberikan senyum palsu baginya, dia terduduk dalam rasa yang tiada berguna, menatap kembali langit cerah, terbentang luas. Hatinya berdesis, tangannya mengepal seerat mungkin, dadanya bergetar lebih cepat seiring detak jantung yang tak bisa diatur, dia menggigit mulutnya dengan penuh kekesalan. Melihat sekelilingnya, sudah tak didapatinya siapa pun juga, hanya terlihat hamparan sawah dan angin yang terasa. Rana menjerit dengan sangat keras, seiring menyeruak air mata dalam laranya. “Tuhaaaaaaan....aku mengutukmu!!”. Kata-kata itu terhenti, Rana menahan tangisnya, tangannya menutup wajahnya dengan tetap memaki Tuhannya. ***             Pasar sudah ramai dengan kerumunan orang, semua sibuk dengan urusan masing-masing. Si Mbah menyiapkan semua seorang diri, melayani pembeli dengan sekuat tenaga. Sesekali dia menengok jalan, berharap Rana akan segera tiba. Hampir satu jam berjualan, Rana masih saja tak terlihat batang hidungnya. Hati si Mbah harap-harap cemas, khawatir bila ada sesuatu yang terjadi padanya. Sesaat perasaan itu seperti dihujani air dari langit, hati si Mbah merasa adem melihat Rana berjalan ke arahnya. Tak ada sedikit kata terucap dari bibir Rana, diam dan langsung berkutat pada daun pisang untuk membungkus onde-onde. Mata Rana melirik ke arah kanan rombong si Mbah, dilihatnya Joko dengan muka sinisnya yang tak pernah berubah, pikiran Rana sudah kemana-mana, dia tetap fokus pada daun-daun pisang dan juga kain lap di tangannya.             “Juling, apa kamu pernah berpikir untuk menikah?” Kali ini Joko berbicara dengan nada sedikit rendah, tak seperti hari-hari sebelumnya langsung menjurus seperti busur panah yang siap ditancapkan. Rana masih menyibukkan diri dengan daun pisang yang dilap dengan serbet motif garis merah. Dia tak menghiraukan Joko sedikit pun.             “Selain juling, ternyata kamu tuli juga ya, wajah bertompel!!” lanjut Joko dengan suara kerasnya. Lama-lama Rana tak bisa hanya mendengarkan dengan diam, rasa yang berkecamuk di hatinya pun ditumpahkan di depan Joko. Dia memandang Joko dengan wajah masam tanpa sedikit kebaikan.             “Apa tak ada pekerjaan lain yang bisa kau lakukan selain menghinaku?”             “Tentu saja ada, tertawa di depan muka jelekmu itu” Kekesalan Rana bertubi-tubi, mulai dari awal dia membuka mata sudah tak bisa menikmati pagi dengan indahnya hari, semua cacian tentang buruk rupanya hari ini menyeruak dalam sakit yang tiada bisa diketahui orang lain, sedari tadi Rana hanya bisa menerima dengan terpaksa. Rana berdiri di depan meja, di sampingnya terlihat pisau yang siap diambil. Dipandangnya Joko, matanya kembali melirik ke arah pisau itu lagi, ada sebuah hasrat yang ingin dia lakukan pada pisau itu, memandang Joko lalu memandang pisau itu lagi, sedikit gemetar, Rana mengambil pisau itu dan memandang Joko lebih lama.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD