Pisau tajam yang siap dilempar ke arah Joko tiba-tiba harus diambil si Mbah untuk memotong daun pisang, Rana tak ada kesempatan untuk mengambilnya, rasa sakit hati yang masih berputar-putar dalam benaknya tetap saja tak bisa hilang, Rana tak bisa bila harus dipermalukan terus oleh Joko.
Sebelum dagangan si Mbah habis, Rana sudah kembali menuju rumahnya seorang diri. Dia menyendiri di dalam kamar yang hanya berisi tempat tidur, satu meja dan juga cermin berbentuk daun waru tertempel di dinding bambu. Mendekat Rana ke arah cermin, dilihatnya wajah yang memang tak sempurna itu.
Mata julingnya, sedikit tompel menghiasi pipinya dan hitam kulitnya membuat orang tak bisa menerima keberadaannya. Bahkan parahnya dia harus menelan pil pahit jika ada yang takut melihat rupanya. Cermin itu dia lempar ke luar jendela, muak bila harus melihat wajah yang memilukan, Rana tertindas dalam pikiran-pikiran buruknya.
Diam dalam tangis yang membeku, tak ada yang bisa dilakukan Rana selain merintih, setiap hari tak pernah absen orang yang menghinanya, jeritan pilu itu pun selalu dihadirkan Rana dalam murkanya untuk Tuhan, wajah buruknya mebuat dirinya selalu dikucilkan, ditindas bahkan tak ada yang menganggap dirinya ada, kecuali hanya si Mbah seorang.
***
Suara kernyitan pintu terdengar, ditambah lagi suara keras seperti meteor yang jatuh ke bumi, Rana bergegas melihat ke luar kamarnya, dilihatnya si Mbah terjatuh tak berdaya, matanya tertutup tanpa sadar, dengan sekuat tenaga Rana membawa si Mbah duduk di atas kursi jati panjang, badan si Mbah panas sekali.
Dicarinya minyak angin di setiap arah tapi tak diketemukan, Rana tak bisa berpikir lagi diambilnya baskom berisi air dan kain kecil untuk mengompres dahi si Mbah.
Rana telaten membolak-balikkan kain itu dengan rasa yang tak kuasa dibendungnya, wanita tua itu kini tak berdaya, badannya lemah, hanya bisa terbujur kaku dan memejamkan mata. Tak lama setelah itu mata si Mbah terbuka, semburat senyum menghiasi wajah Rana.
Dipandanganya si Mbah dengan muka pucat tanpa tenaga, Rana pun memberikan seteguk air pada gelas yang ada di samping Mbah. Sesaat dia pun ke dapur, membuatkan bubur untuk Mbah yang masih saja tak kuat membawa tubuhnya.
Rana duduk terdiam di pojok kursi, menyaksikan si Mbah yang lemah dan matanya tertutup karena kondisi badannya yang tak bersahabat, pikirannya berputar, mengingat akan keadaan ekonomi yang melilit, esok Rana akan berjualan seorang diri demi kelanjutan hidup mereka, di benaknya sudah terbayang beberapa peristiwa yang menyakitkan, bertemu Joko, repot membuat adonan onde-onde dan juga menghadapi para pembeli yang tak kalah menyebalkan seperti Joko.
***
Hidup serba kekurangan, untuk makan saja dia harus rela menjajakan onde-onde bersama si Mbah, rumah yang sudah reot itu pun hanya bisa melindungi dirinya dan si Mbah dari panas dan hujan, meski kadang saat hujan turun, kebocoran gentengnya terjadi di mana-mana.
Dia masih terdiam, merasakan betapa pahit hidupnya, makan makanan luar saja sampai detik ini dia tak pernah merasakan, semua hanya cukup untuk membeli beras, lauk tempe atau tahu, bahkan untuk bisa makan ayam pun sepertinya itu setahun sekali pada saat lebaran saja.
“Andai saja aku ini kaya,” Rana berbisik lirih dalam pangkuan dagunya, pikirannya telah berhayal jika dirinya menjadi orang kaya, berkecukupan, makan makanan enak setiap hari, bisa lihat acara televisi bahkan tak perlu repot-repot bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, mata Rana terpejam dengan senyum simpul menggelitik bila orang melihatnya, dia seperti telah bahagia dengan khayalannya.
Kenyataanlah yang akan berbicara, Rana membuka matanya dan dilihatnya kondisi rumah yang menyedihkan, semua dongeng khayalan itu seakan telah berlalu. Dia hidup pada dunia penuh dengan kenyataan pahit, air mata itu menetes lagi perlahan, kemiskinan ini membuatnya benar-benar takut untuk tak bisa makan, apalagi wajahnya yang menyeramkan itu menjadi beban terberat dalam hidupnya.
“Rana...Rana”
Suara itu kembali membuyarkan imajinasi Rana, didengarnya suara si Mbah memanggil namanya, dia pun bergegas memenuhi panggilan orang yang disayanginya itu.
“Iya, mbah”
“Kamu besok ndak usah jualan, nunggu Mbah sembuh saja”
“Kalau gak jualan dapat uang dari mana, besok Rana akan tetap jualan Mbah”
“Jangan dipaksakan, nduk...”
Rana memeluk erat si Mbah, benaknya memang sedang bergejolak, tapi bagaimana pun dia butuh uang untuk bisa makan, Rana memang harus menjajakan onde-onde meski pun seorang diri.
Sebelum kokok ayam jago terdengar, Rana sudah berkutat di dapur. Si mbah yang melihatnya itu pun segera bangun dari tikar pandannya, membantu cucunya yang tengah sibuk mempersiapkan adonan onde-onde, tapi tiba-tiba si Mbah pun harus terduduk kaku, wajahnya kembali pucat, tenaganya hilang. Rana mengantar si Mbah untuk kembali beristirahat.
Semangat membara dalam pelupuk mata. Rana berjalan seorang diri, membawa ember berisi puluhan kue onde-onde, menuju pasar untuk kembali mencari rupiah demi membeli beras dan lauk pauk. Sampainya di pasar, terlihat sekumpulan anak manusia telah berbondong-bondong dengan segala kesibukan yang berbeda. Ada penjual, pembeli, tukang parkir, dan bahkan orang yang mencuci matanya di pasar.
Bersiap dengan semua peralatan yang sudah dijamah Rana, kini dia hanya tinggal menunggu pembeli meminang onde-ondenya. Hal yang sama dan tak pernah berubah, di samping lapak Rana terlihat Joko telah memotong bagian-bagian ayam, diliriknya dengan menyembunyikan pandangan di balik pembatas lapak, Joko melihat lirikan Rana lalu tak lama dia pun menjumpai Rana dengan d**a membusung.
“Apa kau lihat-lihat!! Dasar Juling”
Rana mengalihkan padangan, dia berkutat kembali pada adonan onde-onde yang siap digoreng, ditambah ada satu pembeli yang mampir ke standnya, dilayanilah pembeli itu dengan sangat ramah, satu porsi onde-onde pun siap untuk disajikan.
“Mbak, kenapa kuenya asin seperti ini? Saya tidak mau makan,” Kata pembeli itu menjelaskan, menaruh piringnya di atas meja lalu pergi tanpa berpamitan.
“Rasain...syukurin...” Suara Joko menimpali.
Rana terdiam sembari air matanya menetes, dia pun mencicipi segera adonan yang dibuatnya tadi pagi, memang rasanya asin seperti apa yang dikatan pembeli tadi. Segera ditambahnya gula untuk mengurangi rasa dan membuat adonan itu bisa kembali enak bila dinikmati lidah setiap orang.
Menunggu dengan penuh kesabaran, Rana terduduk diam sembari menawarkan onde-ondenya, “onde-onde...onde-onde.. dua ribuan...onde-onde...onde-ondeeee,” Rana mulai jenuh, sejak dua jam dia menunggu dan tak ada lagi orang yang mau membeli kuenya.
Dipandanginya adonan-adonan yang telah dia hasilkan dari usahanya bangun sepagi mungkin, tapi sudah hampir siang adonan itu hanya berkurang beberapa onde-onde saja yang telah digorengnya tadi, itu pun tak kembali dengan uang.
Masih setia menunggu, Rana memangku dagunya, jenuh pun menghampiri. Biasanya siang begini kue onde-onde sudah tak tersisa, satu persatu lapak di pasar mulai tutup, pertanda hari memang sudah sangat siang, adonan kue onde-onde yang dibuat Rana masih tetap, tak berkurang lagi.
“Mana mungkin ada orang yang mau beli, jika yang jual saja menyeramkan wajahnya”
Suara itu kembali membungkus kesedihan Rana, dia tak sanggup mendengar berbagai celoteh dari mulut Joko. Segera mengemasi barang dagangan, Rana memutuskan untuk pulang, tanpa meninggalkan pesan apa pun pada lelaki yang suka membuat hidupnya menyedihkan, Joko.
Memasuki rumah, terlihat si Mbah menyungging senyum, menyambut kedatangan cucunya yang terlihat lelah berjalan. Sudah ada segelas teh hangat di meja, dibuat khusus untuk cucunya. Rana tak kuat menahan rasa yang mencekik hatinya, tak diambilnya teh itu, dia hanya butuh sandaran untuk meringankan bebannya. Air mata itu pun hadir, menghiasi segala rasa yang tak bisa ditahan Rana.
“Jangan menangis, kau sudah besar,” Hibur si Mbah dengan suara pelan.
“Bagaimana aku tidak menangis, Mbah, aku membuat adonan sejak pagi, aku bawa ke pasar pagi-pagi betul, tapi tak ada yang membelinya”
“Sudahlah, tidak masalah, yang penting Tuhan masih memberi kita kesehatan”
“Bagaimana tidak masalah, lalu mau makan apa kita hari ini, bukan untung tapi rugi besar yang aku dapatkan”
“Wong sabar rejekeni jembar, nduk”
Si Mbah masih tetap meyakinkan Rana, tapi baginya semua ini tak bisa diterima, Rana kembali menyalahkan Tuhannya, mencaci dengan rasa kesal yang terus membubuhi kata-katanya.
“Jangan kau teruskan marahmu itu, tak baik”
“Apa kita bisa hidup tanpa makan, Mbah”
“Di kebun belakang masih ada singkong, bisa kita manfaatkan daunnya atau bahkan kita bisa ambil singkongnya, bukan?”
Rana terdiam, berpikir sejenak. Dia harus mengulang kembali kejadian beberapa waktu yang lalu, kembali memakan daun singkong, sekadar untuk menyambung nyawanya.
Kini hal serupa itu akan kembali terjadi. Makanan yang sebenarnya enggan untuk dimakan, tapi dia harus menerimanya. Kemiskinan ini akan terus menghantuinya. Hari ini dia merasa tak ada keadilan Tuhan sama sekali, baginya Tuhan telah melepaskan, seperti tak ada tanggung jawab untuk makhluknya.
Rana masih saja bergeming. Dadanya berkibas akan kemarahan, kulitnya tersapu murka yang tiada tara, hatinya tertimbun kekecewaan yang menggumpal.
Mata Rana masih tertuju pada wajah si Mbah yang sudah lumayan sehat, ada sebuah tanya yang ingin dia katakan, masih tersimpan erat dalam benaknya, dia bimbang. Apakah akan mengatakan hal yang mengganjal di hatinya saat ini, Rana masih berpikir untuk mengumpulkan keyakinannya itu.