DAMIAN duduk menyilangkan kakinya. Televisi di depan menyala, tapi tatapannya terus tertuju pada Alice yang sedang mengepel lantai rumahnya itu. Diam-diam Damian tersenyum simpul.
Alice, gadis manis itu terlihat begitu menggemaskan. Jika tidak mengingat statusnya Damian pasti akan menjadikan gadis kecil itu sebagai kekasihnya. Kulit putih dan leher jenjang itu selalu berhasil menyita perhatiannya, ah ... dan juga bibir berisi yang dilapisi lipgloss dan membuatnya selalu terlihat basah. Oh God, belum apa-apa Alice sudah membuatnya hampir gila. Rasanya Damian ingin mengigit bibir itu dan memberikan tanda kepemilikan di atas leher putih yang memabukkan itu.
"Berapa usiamu?" Suara Damian mengagetkan Alice. Gadis yang sedang mengepel lantai marmer itu seketika mendongak menatap tuannya dengan kebingungan.
"Apa Tuan sedang berbicara denganku?" tanya Alice merasa ragu.
Damian memejamkan mata sebentar, berusaha menekan emosionalnya. "Apa kau melihat ada orang lain di ruangan ini selain kita?" Damian balik bertanya. Nada bicaranya terdengar ketus.
Alice mengedarkan pandangannya, dia tidak menemukan siapa pun di ruangan ini selain mereka berdua. Lalu, Alice menggeleng lemah. "Tidak ada, Tuan," jawabnya polos.
Damian mengeram. Gadis manis itu sangat polos rupanya. "Itu artinya aku sedang berbicara denganmu, Agatha Alicia ...."
"A-aku ... umurku baru menginjak 22 tahun, Tuan." Gadis manis itu membalas dengan suara bergetar, khas orang yang sedang ketakutan.
Damian tersenyum. "Tidak perlu gugup begitu. Lanjutkan saja pekerjaanmu dan aku akan menilainya selama tiga hari. Jika kau benar-benar memenuhi apa yang kuinginkan, maka kau akan resmi menjadi pelayan di rumah ini," terang Damian. "Dan ya ... tidak semua pekerjaan akan kau lakukan seorang diri, aku mempunyai banyak sekali pelayan di rumah ini, mereka hanya datang saat pagi dan menjelang petang untuk menyiapkan makanan. Kau bisa belajar sesuatu dari mereka," lanjutnya.
Alice mengangguk patuh. "Baik, Tuan."
Sebuah suara dering ponsel membuat Damian dengan tergesa-gesa merogoh saku celananya. Namun, saat pria itu mendapati nama seseorang yang terpampang, mendadak helaan napas terdengar jelas dari dirinya. Dengan ekspresi malas Damian menarik ikon hijau, sampai suara nyaring terdengar dari seberang telepon.
"Sayang ... aku mencarimu di pusat penyalur tenaga kerja, kenapa kamu sudah tidak ada di sini, huh? Astaga, kau ini benar-benar merepotkan! Seharusnya kamu menjemputku di bandara siang ini, kenapa malah pergi ke pusat penyalur tenaga kerja? Apa sekarang pelayan lebih penting dari diriku, hum? Aku tidak mau tahu, kamu harus menjemputku sekarang juga di sini! Aku tidak ingin mendengar alasan apa pun!" seru Alexis penuh penekanan.
Damian menghela napas, dia mengusap wajahnya dengan kasar. "Sayang, dengarkan aku. Aku harus melihat kinerja pelayan baruku saat ini, dan ... untuk apa kau menyusul ke sana? Kau bisa menungguku di kantor. Lagi pula kupikir dirimu masih menghabiskan libur panjangmu di Paris, kenapa mendadak sekali," balas Damian.
Decak kasar terdengar dari Alexis, perempuan itu rupanya sudah sangat kesal. "Ceritanya panjang. Sekarang aku tidak mau tau, kamu harus datang ke sini sebelum jam satu siang! Aku lapar!" serunya kemudian langsung mematikan sambungan telepon secara sepihak.
"Sayang, kamu—Astaga!" Damian mengacak rambutnya. Dia bangkit menyambar jas hitam di bahu kursi. Dia harus segera menjemput Alexis sebelum perempuan itu memarahinya lagi.
"Aku harus menjemput seseorang, kau kerjakan saja apa yang kau bisa. Dan yah ... siang ini aku akan makan di luar, kau tidak perlu menyiapkan apa pun. Pikirkan saja menu makan malam nanti," ujar Damian memberitahu Alice.
Gadis cantik itu hanya menurut. Dia tetap melanjutkan mengepel lantai saat Damian mulai keluar.
"Dua ribu dollar untuk masa uji coba kurasa bukan nilai yang sedikit. Apalagi setelah itu tuan Damian akan menambah gajiku. Ah, rasanya aku harus banyak-banyak bersyukur." Alice bergumam sembari menatap kain pel yang ada di tangan kirinya.
***
Damian berjalan cepat menuju tempat yang Alexis katakan melalui pesan singkat. Dalam hati dia sudah mengumpat kasar, kekasihnya itu memang selalu saja membuatnya marah-marah. Sejujurnya Damian sudah tidak tahan dengan sikap Alexis yang selalu mengaturnya, tapi mengingat hubungan mereka yang sudah cukup lama, rasanya mengakhiri semuanya dinilai kurang baik.
"Sayang, aku di sini!" Alexis melambai ke arah Damian. Perempuan itu menampilkan senyum lebarnya. "oh, astaga ... aku selalu merindukan aroma tubuhmu yang begitu menggoda ini," lanjut Alexis saat Damian mencium kedua pipinya.
"Kau kapan tiba? Kenapa tidak menghubungi aku sebelumnya?" tanya Damian merangkul pinggang ramping milik kekasihnya itu.
"Baru saja, mungkin setengah jam yang lalu. Semuanya begitu mendadak, Honey. Ah, ya ... temani aku makan siang, oke? Aku sangat merindukanmu ...." Alexis bergelayut manja di lengan kekar Damian. Dia seolah tidak mempedulikan tatapan aneh dari orang-orang sekitar.
"Jangan begitu, ini kawasan ramai," bisik Damian yang merasa tidak nyaman dengan sikap manja kekasihnya.
Alexis mengangguk malas. "Baiklah, iya. Kalau begitu ayo kita cari restoran mahal di sekitar sini," ajaknya menggandeng lengan kekar Damian dengan posesif.
Damian menurut, mereka berjalan menuju mobil miliknya yang terparkir di depan gedung. "Omong-omong kau pergi ke sini bersama dengan siapa?"
"Sendirian. Aku memesan taksi online hanya untuk bertemu denganmu, Honey. Kupikir kau masih di sini, ternyata tidak," jawab Alexis bernada manja.
Damian mengangguk pelan. "Lalu, siapa yang memberi tahu kamu? Apa dia Andrew? Dan apa pria itu tidak mengatakan jika aku akan sebentar saja, seharusnya kau tidak perlu mencariku dan berpanas-panasan begini. Lihat lah bagaimana bekeringatnya wajahmu." Pria itu menyeka keringat yang mengotori dahi kekasihnya.
Sungguh, meskipun perempuan itu sedikit menyebalkan. Tetapi Damian begitu menyayanginya. Dia tidak ingin terjadi apa-apa terhadap Alexis.
"Kau tidak perlu memarahi sekretarismu itu, dia sudah mengatakannya. Aku saja yang tidak sabar untuk bertemu denganmu, aku sangat merindukan suaramu, Damian."
Damian terkekeh. Pria itu mengusak pelan rambut kekasihnya yang selalu wangi itu. "Kau selalu membuatku jatuh cinta, Alexis ...."
"Kau juga ... selalu membuatku merasa ingin meneriakkan namamu," balasnya sensual.
Damian terkekeh. "Jangan begitu. Kau membuatku merasa ingin melakukannya saja," jawab pria itu tertawa. Mendengar itu Alexis ikut terkekeh, dia menyandarkan kepalanya pada bahu Damian.
"Kau begitu tampan dan seksi, siapa pun pasti akan dengan mudahnya jatuh cinta kepadamu, Damian. Tapi, aku yakin kau tidak akan mudah jatuh cinta kepada wanita mana pun kecuali aku," bisik Alexis. Jemari gadis itu merayap ke arah rahang tegas Damian, mengusapnya dengan penuh kasih sayang. Membuat sang empunya harus memejamkan mata sebentar.
"Alexis ...."
"Ya?" Alexis tersenyum, merasa sedang memegang kemenangan atas diri Damian.
"Hentikan itu, kau menyiksaku."