3. Alasan Damian Kenneth

1054 Words
ALICE menyiapkan steak dan sebuah daging oven favorit Damian, dia mengetahuinya dari pelayan lama yang sore ini berkunjung untuk mengantar bahan masakan. Wanita paruh baya itu juga membawakan Alice seragam pelayan yang sudah dipesan khusus sesuai dengan ukuran tubuhnya. "Apa kau terbiasa memasak daging?" tanya Desire, pelayan senior yang membantu dia memasak itu. Alice menoleh, dia hanya menampilkan senyum tipis. "Tidak begitu terbiasa, aku hanya mengerti cara memasak daging, itu pun tidak terlalu banyak," balas Alice berkata jujur. Desire mengangguk. Dia mengerti, memang makanan favorit tuan mereka itu sedikit berbeda, daging oven dengan bumbu rumahan akan cukup sulit dimasak oleh orang yang tidak terbiasa. "Ah, apa aku boleh meminta resepnya kepada Anda, Bu Desire? Paling tidak aku akan mempelajarinya saat anda tidak berkunjung ke mari," ucap Alice ramah. "Tentu saja. Aku sudah menyiapkan resep ini dari dua hari terakhir. Tuan Damian sudah berencana mencari pelayan baru semenjak sepekan terakhir." "Terima kasih," ucap Alice merasa jika bu Desire begitu ramah kepadanya. "Bukan masalah. Lanjutkan saja semuanya, aku akan mengerjakan pekerjaan lain dan akan pulang sebelum jam enam sore." Bu Desire berjalan menuju dapur. Melanjutkan pekerjaannya sembari membersihkan rumah. Pelayan senior itu memang hanya akan menjenguk di sore hari, membersihkan rumah dan menyiapkan makan malam. Setelah itu dia akan pulang dan terbebas dari tugasnya. Namun, dengan pekerjaan yang seringan itu Damian berani membayarnya dengan nilai 2000 dollar setiap bulan, itu pun belum termasuk uang tunjangan. Sungguh, siapa pun pasti merasa beruntung jika mendapatkan bos seperti Damian. Kehidupannya pasti akan terjamin hingga masa tua, itu pun jika pria itu masih mau memperkerjakan pelayannya hingga masa tua. Malam itu tiba. Pukul tujuh malam Alice menatap pintu utama dengan resah, dia khawatir masakannya akan dingin dan tidak enak ketika dimakan nanti. Apalagi mengingat tuannya belum pulang hingga sekarang. Seakan menjawab keresahannya, tak lama suara mobil terdengar di depan sana, juga suara derit gerbang yang dibuka dengan tergesa-gesa. Alice yakin itu tuan Damian nya. Sepersekian detik berikutnya pintu utama terbuka, menampilkan sosok pria dewasa dengan kemeja putih. Jangan lupakan dua kancing teratas yang terbuka, menampilkan bagian tubuhnya yang putih mulus. "Selamat malam, Tuan. Makan malam anda sudah siap," ucap Alice dengan sopan. Damian terdiam, pria itu mengamati tubuh Alice dari atas hingga bawah. Dia tersenyum miring. "Apa kepala pelayan sudah ke sini untuk memberikan seragam kepadamu?" tanya Damian dengan nada rendah. Alice menatap tubuhnya sebentar. "Ah, iya, Tuan. Bu Desire juga memberikan resep makanan harian untuk kumasak setiap harinya," balas Alice. Damian mengangguk. "Good. Hangatkan masakanmu, aku yakin kalian memasaknya dari sore. Aku akan mandi, setelah itu baru menyantap makan malamku." Damian berkata seraya membetulkan pakaiannya yang sedikit berantakan. Sesaat, pria itu melihat Alice yang menatapnya dalam diam. "Kenapa kau menatapku begitu? Apa ada sesuatu yang aneh, hum?" Alice menggeleng cepat. Dia langsung menundukkan wajahnya, enggan menatap mata Damian yang menurutnya sangat tajam itu. "Ah, tidak. Aku hanya mencium aroma alkohol. Apa anda baru saja minum, Tuan?" tanya Alice bergumam. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan apa pun. Fokus pada pekerjaanmu saja," timpal Damian lalu melenggang pergi meninggalkan Alice yang masih mematung. *** Alice melayani Damian yang duduk dengan tenang di meja makan. Gadis itu mengambilkan apa saja yang tuannya minta. Setelah selesai, Alice berjalan mundur, bermaksud untuk tidak merusak pemandangan tuannya ketika menyantap makan malamnya. "Mau ke mana kau?" Damian melirik Alice dari ekor matanya. Pria itu seperti menatap tidak suka. "A-aku ... tidak ingin menganggu anda, Tuan." "Duduk!" ucap Damian tak terbantahkan. "Eh?" Alice masih belum mengerti dengan apa yang tuannya inginkan. "Duduk di depanku dan makanlah. Aku tahu kau juga belum makan malam," lanjut Damian menerangkan. "T-tapi aku ...." Alice merasa tidak percaya diri untuk duduk makan malam bersama Damian. Dia merasa tidak pantas mengingat Damian adalah tuannya, dan dia hanyalah pelayan biasa. Siapa pun pasti akan merasa begitu. "Makan!" tekan Damian. Pria itu menatap gadis di depannya dengan tajam, sontak Alice mengangguk cepat dan langsung meraih piring yang tersedia. Jujur saja dia tidak berani menatap Damian yang pesonanya mengalahkan pangeran itu. Belum lagi aroma tubuh yang selalu menguar saat mereka berdekatan. Itu benar-benar menganggu kewarasannya. Setelah memakan menu buatan Alice, Damian menyeka sudut bibirnya dengan tisu. Dia mengamati bagaimana manisnya setiap pergerakan Alice. Sungguh, gadis cilik itu berhasil membuatnya hampir gila. "Esok rekan kerjaku akan datang ke mari. Jangan gunakan pakaian terlalu ketat, aku tidak menyukainya. Kau bisa saja membuat rekanku tertarik," kata Damian dengan pelan. "Ah, dan satu lagi ... aku tidak suka kau mengulung rambutmu ketika ada orang lain di rumah ini. Itu tidak baik untukmu dan juga ...." Damian tidak menyelesaikan ucapannya, dia menatap Alice dengan intens. "Dan apa, Tuan?" tanya Alice. Damian menghela napas. "Dan itu sangat menggangguku," balas pria itu berbohong. Alice menggeleng. Gadis itu tidak mengerti mengapa penampilannya mengganggu Damian. "Apa anda tidak menyukainya, Tuan? Aku bisa merubahnya. Setidaknya itu tidak akan menyakiti mata anda." Pria itu bangkit dan berjalan mendekati Alice, langkanya terhenti tepat di samping tubuh mungil pelayan barunya itu. "Tidak perlu. Aku hanya tidak suka kau memperlihatkan bagian tubuhmu kepada orang lain ... hanya itu," bisik Damian tepat di telinga Alice, membuat gelenyar aneh merasuki tubuhnya. "I-iya ...." Alice mengangguk kaku. Jantungnya kembali berpacu ketika berdekatan dengan Damian begini, apalagi aroma parfum yang pria itu gunakan selalu berhasil membuatnya hanyut. Setelah mengatakan itu Damian berlalu menuju kamarnya di lantai atas, dia meninggalkan Alice yang mematung, memegang bagian dadanya yang tak henti berdebar. "Oh, astaga! Pria itu selalu membuatku tersiksa!" gumamnya pelan. Sementara itu Damian merebahkan tubuhnya di atas ranjang besar. Dia mengamati foto seseorang yang terpajang di dinding kamarnya, lalu sebuah senyuman terlukis di sudut bibirnya. "Seharusnya kau tidak pergi secepat itu, Grisa. Aku sangat mencintaimu melebihi apa pun. Dan apa kau tahu, aku menemukan seseorang yang sama persis denganmu, tanpa pikir panjang aku mengajaknya untuk tinggal di sini. Berharap dia juga sama seperti dirimu, baik dan penyayang," ucap Damian mengamati foto sang kekasih. Atau lebih tepatnya mantan kekasih. Ya, Damian menerima Alice karena gadis itu sangat mirip dengan Grisa, kekasihnya yang telah meninggal beberapa tahun lalu. Dia masih belum bisa melupakannya, bahkan kehadiran Alexis saja tidak mampu menggantikan sosok Grisa di hatinya. Hampir setiap malam pria itu selalu berbicara dengan potret Grisa, dia masih belum bisa melupakan gadis yang telah mengisi beberapa detik dalam hidupnya itu. Biar bagaimana pun Grisa satu-satunya gadis yang mau menerimanya dalam keadaan apa pun, tipikal yang hampir tidak bisa ditemukan di zaman sekarang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD