"AKU yang mencari pelayan wanita, tolong siapkan sesuai dengan kriteria yang kukirimkan kemarin!" ujar pria dengan jas dan kacamata hitam yang membuat penampilannya semakin memesona.
"Orangnya sudah ada di dalam, Tuan," balas pegawai pusat penyalur tenaga kerja. Pria itu hanya mengangguk singkat lalu melenggang pergi tanpa kata-kata.
Damian Kenneth, pria berusia 27 tahun yang sedang sibuk dengan perusahaan warisan sang kakek. Satu tahun terakhir Damian resmi menggantikan kakeknya menjadi CEO di Neth Company. Rambut setengah pirang dan tatapan yang tajam itu selalu sukses memabukkan banyak pasang mata.
Damian mempercepat langkahnya ketika ruangan yang dia tuju sudah terlihat oleh kedua matanya. Pria itu mulai masuk tanpa permisi. Di dalam sana sudah ada Anni, kepala pusat penyalur tenaga kerja bersama beberapa wanita dengan pakaian pelayan.
"Tuan Damian, senang bertemu dengan Anda," ucap Anni membuka percakapan.
Damian tidak membalas, dia hanya tersenyum tipis. "Apa mereka kandidat yang kau persiapkan sesuai dengan kriteria yang kuberikan, Nyonya?" tanyanya memperhatikan tiga gadis cantik yang berbaris di hadapannya.
Anni mengangguk pelan. "Benar, Tuan. Hanya mereka yang bisa melakukan apa yang ada dalam list pekerjaan yang Anda berikan."
Damian mengangguk. Dia berjalan maju menuju salah satu gadis yang sedikit membuatnya tertarik. Pria itu melepas kacamata hitamnya lalu dimasukkan ke dalam saku jasnya. Damian semakin mendekat ke arah gadis manis yang terlihat paling muda di sana, lalu menarik dagunya tanpa sungkan.
"Kau terlihat sedikit lebih muda. Siapa namamu gadis kecil?" tanya nya dengan nada rendah yang terkesan mengerikan.
Gadis itu menatap takut, jantungnya bahkan sudah berdegup kencang saat manik matanya bertemu langsung dengan mata elang milik Damian yang begitu memesona itu. Aroma wangi dari embusan napas Damian membuatnya ragu-ragu untuk membuka suara. Bukan karena dia terbuai, tapi gadis itu takut jika ternyata mulutnya bau. Dia pasti akan sangat malu.
"A-alice ... Agatha Alicia," gumamnya pelan.
Damian tersenyum miring. "Alice, nama yang indah. Kau ikut aku pulang, aku memilihmu sebagai pelayan baru di rumahku," ujarnya cepat.
Alice melebarkan matanya. Dia tidak percaya dengan apa yang Damian katakan. Secepat itukah?
Melihat reaksi Alice yang sepertinya malah tidak percaya itu, Damian mengerutkan keningnya heran. "Ada apa? Apa kau tidak suka, hum? Ah, aku bisa memilih orang lain untuk bekerja di rumahku dengan gaji dua ribu dollar setiap bulannya."
Alice menggeleng cepat. Dia tidak ingin kehilangan kesempatan ini. Dia harus menjadi pelayan di rumah seorang CEO kaya raya ini. Dengan gaji 2000 dollar per bulan paling tidak akan bisa merubah nasibnya dan keinginan nya untuk menempuh pendidikan sarjana pasti akan segera terpenuhi.
"Saya menyetujuinya!" Alice menjawab dengan cepat. Gadis itu tidak ingin Damian berubah pikiran dan memilih orang lain.
Damian tersenyum simpul. Dia mengangguk pelan. "Segera siapkan semua barang-barangmu dan mulai hari ini kau akan tinggal bersamaku," ucapnya kemudian mulai memakai kembali kacamatanya.
***
Mobil mewah milik Damian mulai memasuki kawasan Redwood City, dia membelokkan mobil sport -nya itu pada pelataran rumah mewah dengan arsitektur yang benar-benar memukau.
Alice menurunkan kopernya sembari terus mengedarkan pandangan ke segala arah. Rasanya dia seperti sedang bermimpi, berkunjung ke sebuah istana megah di California. Betul-betul mengesankan! Gadis itu tidak pernah menyangka jika tuan Damian sekaya ini, dia pasti harus menghabiskan jutaan dollar untuk membeli rumah di kawasan elite ini.
"Masuklah. Tinggalkan kopermu di luar saja, nanti ada penjaga yang akan mengantar koper berat itu ke dalam kamarmu," ucap Damian kemudian berjalan memasuki rumahnya.
Alice mengangguk menurut. Dia berjalan mengikuti Damian karena memang rumah ini cukup luas untuknya. Alice yakin dia pasti akan kesulitan menghafalkan ruangan-ruangan yang ada di sini, apalagi kebanyakan pintu berbahan dasar kaca. Oh Tuhan, mimpi apa dirinya bisa tinggal di rumah semewah ini!
"Mari saya antar ke kamar anda, Nona." Suara pria paruh baya menyapa pendengarannya. Alice menoleh, dia mendapati orang itu membawa koper miliknya. Dari seragam yang orang itu gunakan sepertinya dia adalah penjaga yang Damian katakan.
"Ah, baik. Terima kasih sebelumnya."
Sementara itu di lain tempat seorang perempuan dengan setelan dress berkerah leher rendah duduk di atas meja Andrew, sekretaris Damian. Dia adalah Serenia Alexis, kekasih Damian yang sudah beberapa pekan terakhir sedang berlibur ke Paris bersama teman-teman sosialitanya. Perempuan dengan lipstik merah tebal dan kacamata yang bertengger di rambutnya itu mendecak kasar.
"Seharusnya pria itu menjemputku hari ini, dasar menyebalkan! Memangnya apa yang lebih penting dari kekasihnya, huh?" Alexis menatap Andrew dengan raut kesal. Hari ini dia baru saja pulang dari Paris, seharusnya Damian datang menjemputnya di bandara. Tapi pria itu malah tidak ada, ketika dihubungi pun ponsel Damian malah tidak aktif.
Andrew menghela napas. Rasanya pria itu baru saja terbebas dari keluhan Alexis, tapi saat ini perempuan itu sudah kembali bersama sikapnya yang semena-mena.
"Tuan Damian hanya pergi ke pusat penyalur tenaga kerja, kupikir itu tidak akan memakan banyak waktu. Sebaiknya kau tunggu saja, tuan Damian pasti akan segera kembali untuk melanjutkan pekerjaannya." Andrew berkata sambil terus menyelesaikan pekerjaannya. Dia tidak punya banyak waktu untuk mengobrol dengan Alexis, pekerjaannya jauh lebih penting daripada harus mengurus perempuan yang terus mengoceh itu.
"Aku tidak mau menunggu. Katakan di mana tempatnya dan aku akan menyusul Damian ke sana sekarang!" seru Alexis.
Andrew mengengguk pelan. Pria setengah brewok itu merobek kertas catatan di atas mejanya, lalu mulai menuliskan alamat tempat pusat penyalur tenaga kerja yang bosnya datangi itu.
"Tuan Damian berangkat setengah jam yang lalu, kupikir akan lebih baik jika kau menunggunya saja. Percuma jika kau memaksa ke sana dan tuan Damian sudah tidak di sana." Andrew memperingati.
Alexis membaca alamat yang Andrew tuliskan, lalu menatap pria yang banyak omong itu. "Jangan mengaturku. Aku akan tetap menyusul kekasihku dan mengajaknya pergi ke kafe malam ini," balas Alexis kemudian melenggang pergi.
Andrew hanya bisa mengembuskan napas lemah. Perempuan itu memang sedikit keras kepala. Apa pun yang dia inginkan harus tercapai, jika tidak maka orang lain akan menerima akibatnya. Entah bagaimana dulu bosnya bisa terpikat oleh gadis seperti Alexis, gadis itu bahkan hanya menggunakan ketenaran Damian juga kekayaan Damian untuk menopang gaya hidupnya yang konsumtif.
"Kurasa pak Damian telah salah memilih kekasih," gumam Andrew pelan. Pria itu kemudian kembali memfokuskan matanya pada layar komputer. Enggan memikirkan gadis yang baru saja mengacaukan moodnya itu. Lagi pula, pekerjaannya sudah cukup melelahkan.