Pertemuan membawa luka

1724 Words
Maureen tersadar dan bangun dari tidurnya, pakaian yang ia kenakan sudah berubah, siapa yang mengganti pakaiannya? Rasanya sangat tidak mungkin ia mengganti pakaiannya sendiri, Maureen melihat tampilannya di cermin.. sudah hal yang pasti bahwa Maureen tinggal sendirian. Maureen keluar dari kamarnya dengan mata sayup karena baru saja bangun dari lelapnya dan melihat Adeline sedang memakan sesuatu. Tentu sahabatnya itu lah yang sudah mengganti pakaiannya. "Adeline?" tanya Maureen duduk di depan sahabatnya. Di meja mini yang sudah ia sediakan karena ia tinggal sendirian jadi tak perlu meja yang besar. Karena ukuran apartemennya jg kecil. "Aku lapar, jadi aku pesan makanan, ayo kemari kita makan bersama, aku sangat lah lapar" ajak Adeline. "Willy mana?" "Dia sudah pulang" "Kamu gila Adeline, apa kamu sedang berusaha mencomblangkan aku dengan Willy? Apa stok pria di negara ini habis? sampai kau menjodohkanku dengan sahabat sendiri?" "Iya, pikirlah sendiri... karena Willy bisa melindungimu dan membahagiakanmu, aku yakin itu dan aku mempercayainya, sungguh tak ada pria yang setulus Willy" "Aku tak mau Adeline" "Jalani saja lah Maureen" "Aku tak mau, aku menganggap Willy seperti seorang keluarga, tidak mungkin aku harus memiliki hubungan dengannya, kita hanya sekedar teman, itu saja... Aku tak bisa menjalani hubungan dengan seseorang yang tak aku sukai, itu sama halnya aku menyakitinya" "Iya- iya, diamlah, aku lapar" "Makan saja kalau kamu lapar" cuek Maureen. "Bagaimana mau makan, kamu sejak tadi berbicara" "Apa salahnya sih makan sambil berbicara" Adeline terkekeh melihat sahabatnya yang sudah seperti biasanya, sungguh menyenangkan menggoda sahabatnya itu. "Bagaimana perasaanmu setelah bertatap muka dengan pria yang selama 12 tahun tak berkabar?" tanya Adeline. "Bukankah tadi kamu bilang mau makan? Kenapa tak makan?" tanya Maureen. "Jawablah Maureen, tak ada yang bisa kamu sembunyikan dariku" "Kaget sudah pasti, aku benar benar terkejut, siapa yang tak terkejut setelah sekian lama aku tak melihatnya" "Bahagia?" "Ga sama sekali, lagian dia pasti sangat membenciku, jadi apa yang harus aku bahagiakan dari pertemuan itu?" Ujar Maureen. "Jangan selalu menutupi perasaanmu Maureen, aku lebih tau bagaimana kamu di bandingkan kamu sendiri, jadi aku lebih tau bagaimana perasaanmu sekarang" "Aku sudah melupakannya, aku sudah punya hidup sendiri, dia sudah menikah, dia pun sudah pasti bahagia" ujar Maureen berusaha menutupi perasaannya yang sebenarnya. "Apa kamu merasa kecewa ketika dia bisa Move On dan memiliki keluarga? Sedangkan kamu masih sendiri?" selidik Adeline. "Jangan berusaha menggetarkanku Adeline" "Aku hanya bertanya untuk memastikannya" "Diamlah" "Ayolah Maureen" "Kamu mau jawaban yang seperti apa?" "Jawablah sesuai apa yang ada di hati dan pikiranmu, Maureen" "Aku kecewa, aku kecewa kenapa dia bisa memiliki keluarga sedangkan aku tidak? Aku kecewa, siapa yang tidak akan kecewa melihat seseorang yang pernah di cintai bisa bangkit sedangkan aku masih meratapi kesendirianku seperti ini? Jangan bertanya Adeline, jangan pernah menanyakan hal yang sudah jelas terlihat di matamu" ujar Maureen berusaha mengatur nafasnya. "I Know Maureen, karena itu aku memastikannya, karena itu pula berusahalah bangkit sayang, buktikan pada dia bahwa kamu juga bisa.. tapi jika mengingat masa lalu, kamu memang harus di salahkan dengan apa yang selama ini terjadi Maureen, aku tak menyalahkan Arthur atas segala yang terjadi" "Aku memang salah, sungguh.. aku salah" "Tapi, jika kamu tidak meninggalkan Arthur pada waktu itu mungkin saja dia tak akan sesukses ini" "Itulah yang sering ku katakan, aku tak mau sampai harus menjadi penyebab kegagalan seseorang, aku tak mau hanya karena aku seseorang menderita dan kehilangan segala yang menjadi miliknya" ujar Maureen sembari meneguk minumannya. Suara ponsel Adeline terdengar. Adeline mengangkatnya. "Hallo?" ".........." "Apa? Serius kamu? Jangan becanda deh" ".........." "Benarkah? Waoww luar biasa, bukan?" ".........." "Baiklah, sampai ketemu nanti" Adeline mengakhiri telfonnya dan menaruh ponselnya dengan senyum mengambangnya, Maureen penasaran tapi ia tak ingin kepo dengan urusan sahabatnya. "Aku punya kabar untukmu Maureen" ujar Adeline dengan semangat. "Ada apa?" "Yann barusan menelfon jika Arthur ternyata pemilik perusahaan asing, barusan Yann mengatakan ternyata Arthur adalah seorang duda dengan satu anak" "Terus?" "Bukankah beritanya luar biasa?" "Jadi sekarang kamu berubah profesi dengan mencari tau latar belakang seseorang?" "Hahaha, aku serius Maureen" "Aku tak bilang kamu becanda Adeline" "Tanggapanmu bagaimana? Bukankah barusan kita membahas keluarganya" "Biasa saja, Aku dan Arthur tak lebih hanya bagian dari masa lalu, walaupun sekarang dia duda atau belum menikah, perasaanku sudah tak ada untuknya..dan sudah ku pastikan dia sudah melupakanku" "Dulu kan kamu tak memiliki apa-apa sampai keluarga Arthur meremehkanmu tapi sekarang kamu berubah Maureen" "Jangan menilaiku seperti itu Adeline, Arthur hanya bagian dari masa laluku dan tak akan pernah menjadi masa depanku" "Oke oke...Aku mengalah" Di detik kemudian suara ponsel Maureen terdengar, Maureen melihat layar ponselnya dengan nama Willy. Artinya Willy yang menelfonnya. "Siapa Andrea?" "Willy" "Angkat donk" * "Hallo Wil" "Kamu baik-baik saja?" "Hmm, aku baik-baik saja" "Kamu sudah makan? Apa kamu mau aku belikan sesuatu?" "Tak perlu, aku sudah makan bersama Adeline" "Apa aku harus kesana?" "Tak perlu, Adeline bersamaku" "Hmm, baiklah, istitahat yang banyak ya Maureen, jangan banyak pikiran" "Hmm" Maureen mengakhiri telfon. "Willy berlebihan, seperti penjaga saja" "Willy perhatian Maureen, bukan berlebihan" "Apa Green masih berpikir, aku dan Willy memiliki hubungan?" "Biarkan saja wanita seperti itu" "Green kan bagian dari kita juga Adeline" "Tapi dia sudah tak sejalan dengan kita, masalah kecil di besar-besarkan sampai harus menjadi bukit, Green berlebihan dan dia Pikir akan bisa selamanya tanpa kita" "Buktinya selama hampir 12 tahun dia bisa sendiri" # Di Mansion Arthur dan Pedro sedang membicarakan bisnis Yann yang akan mereka kerjakan mulai hari ini, Arthur berusaha menghapus ingatannya, menghapus apa yang telah terjadi dan siapa yang ia temui di hotel. Hari pertamanya benar-benar di luar dugaannya. "Tuan, Nona Celine sejak tadi menangis" ujar salah satu Maid. "Dia belum tidur?" "Belum Tuan" "Pergilah, mungkin Celine butuh kamu" Ujar Pedro. "Baiklah, kamu tunggu disini" Arthur bangkit dari duduknya lalu menuju kamar Celine. Arthur masuk ke dalam kamar putrinya yang di design dengan warna yang serba biru. Sudah 12 tahun Arthur meninggalkan mansion ini, tapi Mansion ini tak pernah berubah, masih dalam Posisi semula dan banyak kenangan indah disini, itu lah emngapa setiap kali ia selalu mengingat sosok Maureen. Bila Arthur bisa memutar waktu, ia ingin memutarnya saat ia bersama Maureen. Masa di mana hanya ada dia dan Maureen disini. Arthur tak bisa pungkiri bahwa ia rindu dengan masa itu, karena ia benar-benar selalu bahagia dengan waktu yang ia habiskan bersama Maureen. "Ada apa sayang?" Tanya Arthur menghampiri putrinya yang sedang menangis di dekat jendela. "Celine kangen sama Mommy" "Kamu kan bisa menelfon mommy" "Celine ga mau ngomong Dad, Celine mau lihat mommy" "Sayang, kamu tidak senang bersama daddy disini?" "Senang kok" "Terus?" "Hanya saja Celine akan lebih senang kalau kita berkumpul disini, Ada mommy juga" Ujar Celine. "Dad, panggil mommy ya ya ya" rengek Celine. "Tidak mungkin nak, mommy mu sudah punya kehidupan sendiri, kamu jangan meminta hal yang sulit untuk daddy kabulkan, kamu bisa minta yang lain sayang" "Tapi Celine hanya ingin mommy ada di sini" Ujar Celine dengan menundukkan kepalanya. "Nanti mommy sekali-kali main kesini kok" "Dad, Celine maunya mommy" "Celine jangan merengek" "Baiklah," "Nanti mommy bisa jalan-jalan kok" "Benarkah?" "Iya sayang" "Baiklah, Celine tunggu mommy aja" "Ayo sekarang Celine tidur, besok kan anak daddy harus kesekolah" Ujar Arthur sambil menggendong putrinya dan di tidurkannya di atas ranjang mini nya. "Celine udah mulai sekolah?" "Iya sayang" "Sama ga dad dengan sekolah Celine yang dulu?" "Sama sayang, sama-sama punya teman hanya saja bedanya karena teman-teman baru dan suasana yang baru" ujar Arthur menjelaskan pada putrinya. Arthur menyelimuti Celine. "Benarkah? Kalau gitu Celine mau tidur karena besok ke sekolah" "Iya sayang, agar kesekolah besok Celine ga telat" Celine mengangguk dengan senyum mengambang, anak sekecil itu harus merasakan perpisahan kedua orang tuanya. Celine harus menjadi korban atas sikap egois Arthur dan Gretta, memang bukan hal yang mudah untuk menyatukan pria dan wanita yang tak saling mencintai. Arthur membantu menidurkan Celine. Di menit kemudian Celine akhirnya tertidur pulas, Arthur memperbaiki selimut Celine dan beranjak pergi meninggalkan sang putri yang berharga untuknya. Arthur kembali ke duduknya tadi menghampiri Pedro yang masih menunggunya. "Celine sudah tidur?" tanya Pedro. "Hmm, baru saja" "Dia pasti merindukan ibunya" "Ibu macam apa juga yang dia rindukan" "Bagaimanapun sikap Gretta dia tetap ibu dari anakmu dan dia tetap mantan istrimu" ujar Pedro sembari membuka lembar demi lembar dokumen yang ia bawah dari pertemuannya tadi. "Tapi Gretta tak pantas di sebut ibu, ibu macam apa yang meninggalkan anaknya dan mengutamakan pergi berlibur ketika anaknya sedang di rumah sakit, kan tidak ada... lagian Gretta egois lebih mementingkan dirinya di bandingkan anaknya sendiri, bukan kah ibu lebih peka terhadap kedua orang tuanya?" "Baiklah, sekarang aku mau tanya dan kita bisa membahas yang lain" ujar Pedro. "Tanya apa?" "Bagaimana perasaanmu setelah bertemu dengan wanita itu setelah 12 tahun?" tanya Pedro selidik. "Biasa saja" "Tapi kamu tak terlihat biasa saja Arthur" "Jangan mulai menyelidikiku Pedro, bukankah kita sedang membahas pekerjaan tadi? Kenapa jadi membahas persoalan pribadi?" "Aku hanya ingin menanyakan saja bagaimana perasaanmu dan mencoba memastikannya bahwa kamu memang sudah melupakannya dan setau yang aku dengar dari Yann, wanita itu tak pernah menikah dengan siapapun" "Aku kan sudah bilang biasa saja, kamu mau jawaban yang seperti apa? dan aku tak peduli bagaimana kehidupannya selama ini, satu hal yang pasti aku sangat membencinya apalagi melihatnya baik-baik saja" "Aku membutuhkan jawaban yang jujur, aku bukan sekedar temanmu Arthur, aku sahabat dan keluargamu, wanita itu memang baik-baik saja dan dia menjalani kehidupan jauh lebih baik di bandingkan menjadi kekasihmu yang hanya duduk diam dirumah" ujar Pedro dengan terpaksa tak pernah menyebut nama Maureen atas permintaan Arthur. "Bertemu dengannya biasa saja, itu yang sejujurnya dan dia menjalani kehidupan sebaik apapun itu bukan urusanku dan tidak penting untuk aku ketahui" ujar Arthur memalingkan wajahnya. sungguh pria yang keras dan tegas. "Dasar, pria tidak peka, bilang saja kau senang bertemu dengannya" gumam Pedro. "Apa yang kau katakan di belakangku?" Tanya Arthur. "Aku tidak ngomong apa-apa" "Ya sudah, malam ini kita sudahi dulu, aku bosan membahas pekerjaan dan wanita itu, sungguh memancing emosiku" "Oke" "Aku mau istirahat, perjalanan begitu melelahkan" "Ya" "Kau juga istirahatlah, antarkan Celine ke sekolahnya besok, aku tak bisa karena harus ke kantor Yann" ujar Arthur sambil melangkah pergi. # Seperti biasa Maureen di sibukkan dengan pekerjaannya, deadline sebentar lagi yang artinya semua harus di kerjakan dengan sempurna, hari dimana ia tak tidur dan lupa makan itulah pekerjaan di Tim Editing ketika di kejar deadline.  "Teri, bagaimana ide yang akan kamu muat?" Tanya Maureen. "Ini nona" Teri menyerahkan idenya kepada Maureen. "Baik, ini baru bagus, silahkan menyuruh Joan untuk merevisinya" ujar Maureen. "Baik nona" "Bagaimana? Kalian siap untuk bekerja sampai pagi? Kita di kejar deadline jadi harus selesai dan tercetak di waktu yang sudah di tentukan" tanya Maureen. "Siapppp!!" ujar semua karyawan secara bersamaan. "Ayo kita bekerja" Ujar Maureen. "Nona, tolong tanda tangani disini" ujar Teri. "Bagaimana Ter, kamu sudah mengembalikan barang yang tidak terpakai ke tempatnya? La-La menelfonku" "Jescyn sedang membedahinya Nona" "Baiklah, segera kembalikan" Teri mengangguk dan pergi. Suara telfon dari telfon perusahaan. "Halo?" ".........." "Mengerti pak, saya sudah menyiapkan segala sesuatunya" Ujar Maureen. ".........." "Baik Pak" Maureen menutup Telfon dan Langsung membuka beberapa dokumen yang sudah di siapkan. Suara Ponselnya terdengar, Maureen menjawab telfonnya tanpa melihat nama yang ada di layar onselnya. "Hallo?" "Kamu sibuk?" "Ada apa Wil?" "Aku ingin mengajakmu makan siang" "Maafkan aku Wil, tapi aku benar-benar sibuk, kami di kejar deadline dan hari ini aku harus lembur" Ujar Maureen. "Baiklah, lain kali saja makannya, Semangat ya Maureen" "Hmm, makasih Wil" Maureen menutup Telfon
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD