Bab. 12. Diagnosa yang tepat.

1009 Words
Beberapa hari telah berlalu sejak awal mula aku sakit. Sampai hari ini memang demam sudah tidak lagi kurasa, tapi aku sangat menyadari ada yang salah dalam tubuh ini, batuk yang tak kunjung reda bahkan sesekali mengeluarkan darah. Badan yang sangat kepayahan, merasa sangat lelah. Serta keringat dingin yang terus membasahi badan. Setelah rujukan dari dokter Ferial, esok harinya aku ke klinik pertama data kesehatanku untuk meminta pengantar. Lalu, aku temui dokter spesial rujukan dari dokter Ferial. Dari dokter penyakit dalam aku diminta untuk melalukan beberapa tes, dari tes darah IGRA, Foto Rontgen, CT Scan sampai tes Mantoux. Dari semua serangkai tes yang aku jalani bisa di simpulkan bahwa dokter mendiagnosa aku terkena Tuberkulosis. Saat mendengar semua penjelasan dan diagnosa awal dari dokter penyakit dalam, awalnya aku merasa tidak percaya dan enggan untuk mengakuinya. Aku menolak untuk mengiyakan semua dugaan dokter. Aku berharap semua rangkaian tes yang aku jalankan akan menunjukan bahwa aku negatif tuberkulosis. " Dua hari dari sekarang mbak Tari bisa kesini ambil hasil tes nya di lab rumah sakit ya. Tapi untuk pembacaan hasilnya, minggu depan saja ketemu lagi dengan saya ya." Ucap dokter. "Iya dokter." Ucapku. "Untuk satu minggu kedepan, sampai bertemu saya lagi. Saya buatkan resep ya, bisa ditebus nanti di apotek." Ucap dokter. "Resep obatnya untuk apa saja ya dok?" Tanyaku. "Sementara sampai hasil tesnya keluar. Saya akan memberikan obat untuk meringankan batuknya dulu ya, juga takutnya masih ada demam." Ucap dokter "Oh, iya baik dok." Ucapku. *** Satu minggu sudah aku tidak pergi berkerja, karena kondisi badan yang sampai saat ini belum juga menunjukan tanda-tanda membaik. Aku sendiri belum dapat memastikan kapan bisa kembali bekerja. Selain karena masih merasa sangat lemas, juga karena kedepannya aku masih akan disibukan dengan bolak-balik ke rumah sakit. Sambil membawa teh manis hangat ditangannya juga bubur ayam yang tadi ibu beli, ibu duduk di samping ranjangku. "Teh, bagaimana kalau teteh ikut ibu tinggal dirumah nenek saja sementara?" Ajak ibu padaku. "Kenapa memangnya bu?" Tanyaku. "Dengan kondisi teteh yang sekarang ini, kayanya ibu tidak bisa kasih ijin teteh untuk kost sendiri. Tapi untuk menemani teteh disini lebih lama lagi, ibu juga tidak bisa." Ucap ibu. Aku tidak langsung menjawab ajakan ibu, sempat sekejap aku berpikir. "Kita liat beberapa hari kedepan dulu ya bu, juga tunggu hasil lab rumah sakit. Kalau hasil lab-nya bagus dan kondisi badan teteh lebih baik, insya allah teteh bisa sendiri jadi ibu tidak perlu khawatir." Jawabku pada ibu. "Sebenarnya ibu tidak yakin bisa luas membiarkan teteh sendiri di tempat kost, tapi kalau seperti itu keinginan teteh, ibu ikuti saja dulu." Ucap ibu. "Sebenarnya teteh juga sedikit takut kalau hasil lab-nya kurang bagus, takut kalau diagnosa dari dokter tepat." Ucapku. "Berpikir positif saja dulu, semoga tidak ada penyakit serius. Tapi kalaupun diagnosa dokter tepat, teteh harus semangat. Pasti bisa sembuh, asal mengikuti arahan dari dokter dan yakin pasti sembuh." Ucap ibu. "Terima kasih ya bu, sudah ada disamping teteh saat teteh lagi dalam keadaan seperti sekarang. Selama ini,semenjak kita tidak tinggal bersama lagi, teteh kira ibu sudah tidak perduli." Ucapku. "Teh, walaupun keadaan kita saat ini sudah tidak seperti dulu lagi. Bagaimana pun teteh dan neng adalah anak ibu, ibu yang melahirkan dan merawat kali dari bayi. Mana mungkin bisa ibu tidak lagi perduli pada kalian." Ucap ibu. "Apakah tidak bisa bu, kita kembali seperti dulu? kita sama-sama lagi." Ucapku. "Ibu sudah tidak mau lagi membahas masalah ini, ibu sudah pernah menjelaskan pada teteh saat itu. Saat ini ibu hanya berharap teteh dan neng selalu bahagia kedepannya, bagaimana pun keadaan kita." Ucap ibu. Aku tidak lagi memperpanjang obrolan itu, karena rasanya akan percuma saja. Ayah dan ibu sudah pisah berbulan-bulan yang lalu, bila saat ini dibahas lagi rasanya hanya akan membuka luka yang sudah susah payah aku sembuhkan. Setelah memghabiskan bubur ayam dan teh hangat yang ibu bawa, ku minum obat dan segera pamit untuk istirahat pada ibu. *** "Dari hasil lab, foto Rontgen dan yang lainnya. Diagnosa saya sepertinya tepat ya mba Tari. Saat ini mbak Tari terkena TB Paru." Ucap dokter. Mendengar kata-kata yang terucap dari mulut dokter, membuatku lemas. Ternyata hasilnya tidak sesuai dengan yang aku harapkan. "Sedih loh dok dengernya, berarti untuk kedepannya saya harus rutin bolak-balik rumah sakita ya dok" ucapku. "Sebenarnya tidak harus sih mbak, tapi alangkah lebih baiknya mbak Tari rutin kontrol setiap bulannya." Ucap dokter. "Nanti mbak Tari aku rujuk ke poli paru ya." Ucap dokter melanjutkan. "Oh, jadi nanti untuk kontrol tiap bulannya saya ke poli paru ya dok." Tanyaku. "Ya, benar sekali." Ucap dokter. "Tenang saja ya, TB Paru bisa disembuhin kok. Yang penting pasien ikuti arahan dari dokter ya, juga rutin obat dan kontrolnya." Ucap dokter "Ya, dokter." Ucapku " Kedepannya nanti, mbak Tari rutin ya obatnya selama tiga sampai enam bulan, tidak boleh terputus. bila terputus ditengah jalan, itunganya mbak Tari harus mengulang mulai dari awal lagi." Ucap dokter. "Tapi untuk lebih jelasnya, nanti konsultasikan dengan dokter paru ya." Ucap dokter melanjutkan. "Ya, dokter. Terima kasih ya dokter." Ucapku. "Tetap semangat ya mbak Tari, semoga lekas sehat lagi." Ucap dokter sangat ramah. Aku meninggalkan rumah sakit dengan perasaan sangat sedih, bagaimana bisa aku terkena TB Paru? apakah selama ini aku salah menjalani hidup? Aku tau dunia medis sudah maju, saat ini TB paru sudah bisa disembuhkan. Hanya tetap saja, sedih rasanya harus mengalami hal semacam ini. Bagaimana nanti kedepannya? Apakah aku masih bisa bekerja? bila kondisiku tidak juga kunjung membaik dalam waktu dekat, mungkin aku harus memgundurkan diri, agar fokus pada proses penyembuhan. Ditambah lagi tentang bayanganku Mengkonsumsi obat-obatan secara rutin untuk jangka waktu yg lama, tentunya bukanlah hal yang mudah. semua membutuhkan tekad dan semangat yang kuat untuk sembuh lagi. Dan satu hal lagi yang ada dalam benakku. Karena hasil lab menunjukan hal yang sesuai dengan diagnosa dokter, secara otomatis mau tidak mau aku harus mengiyakan ajakan ibu, untuk sementara tinggal dengannya dirumah nenek. Apa sebaiknya aku pulang saja kerumah ayah? Tiba-tiba saja aku jadi teringat ayah. Sejak terakhir memberi kabar aku akan pulang, tapi sampai hari ini aku belum juga dapat pulang karena kondisi tubuhku yang belum membaik. Ayah pasti mencemaskan aku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD