Trimester Pertama

1174 Words
Walaupun ini bukan kehamilan anak pertama untuk Mas Don, tetapi dia tetap memperlakukanku dengan spesial, sehingga membuat aku merasa istimewa. "Mas, tapi tadi aku cuma ke dokter umum. Kata dokternya sebaiknya aku periksakan kembali ke dokter spesialis kandungan." Aku bicara dalam dekapannya. "Iya nanti saat ke dokter kandungan Mas usahain buat nemenin ya." Mas Doni melonggarkan pelukannya sedikit mendorongku dan menjatuhkan tatapannya pada wajahku."Mas sungguh senang mendengar kabar ini. Apalagi jika anak kita nanti laki-laki, Mas akan bertambah bahagia." "Tapi jika anak kita nanti bukan laki-laki kamu masih tetap sama bahagianya-kan, mas?" Aku spontan bertanya karena perkataannya. "Iya, bahagia kok, cuma mas berharap saja dapat jagoan." Mas Doni menempelkan kedua telapak tangannya dipipiku dan mengusapnya lembut. "O, ya, Mas hari ini jemput mamih dan Clara ya? Biar malam ini nginap di sini." Aku mengangguk tanda setuju. *** Besoknya aku Mas Doni memeriksakan kehamilanku ke dokter kandungan, dirumah sakit yang sama dengan rumah sakit yang kemarin aku datangi. Hasil dari pemeriksaan, janin dalam kandunganku sudah masuk usia tujuh minggu, sejauh ini keadaannya baik dan sehat. Mas Doni sangat mewanti-wanti aku untuk selalu menjaga kehamilan ini dengan baik. Aku mengalami mabok parah di trimester awal kehamilan ini. Aku mengalami kepayahan yang luar biasa, badan semakin tak karuan rasanya. Semakin hari aku merasa badanku tak dapat menopang beban tubuhku, belum lagi sakit kepala yang tak ada hentinya sepanjang hari dan yang paling parah aku sama sekali tidak memiliki nafsu makan, ketika aku paksakan untuk memasukan makanan ke dalam perutku, alhasil secara kontan makanan itu akan aku muntahkan kembali. Awalnya Mas Doni sangat memahami, menurut pengalamannya hal yang lumrah semua itu terjadi pada wanita yang sedang hamil muda. Saat aku akhirnya tidak dapat meng-handle seluruh pekerja rumah, dia yang menangani kekacauan itu semua. Semua cucian kotor akan dia masukan ke binatu sedangkam untuk urusan rumah lainnya dia membayar orang untuk membantuku. Kadang aku masih bisa bangun dan sedikit melakukan aktifitas, tapi tidak jarang aku akan tidur seharian di atas ranjang. Hari ini sudah sejak dari pagi aku tak henti-hentinya merasa mual, sehingga aku harus bolak balik ke kamar kecil. Siang hari, Teh Asih yang membantuku di rumah sudah pulang karena semua pekerjaan rumah telah selesai. Karena sudah bolak-balik memuntahkan semua isi dalam perutku, sedangkan sedikit pun tidak ada makanan yang masuk kedalam perut, akhirnya aku sudah tidak miliki tenaga lagi. Aku berbaring diatas sofa tidak kuat jika harus berdiri lagi, kalau pun kembali muntah aku pasrah jika harus muntah di tempat. Aku benar-benar tidak mengerti, kenapa mabok hamil benar-benar seperti ini rasanya? bila aku lihat beberapa senior saat bekerja dulu, mereka masih bisa beraktifitas seperti biasa walaupun dalam keadaan hamil muda. Tetapi kenapa aku parah sekali? Aku berusaha bertahan sejak siang sampai sore hari, menunggu kepulangan Mas Doni. "Ya allah, dek! Kamu kenapa? Kok ini pucet banget." Mas Doni yang baru saja sampai rumah terlihat panik ketika melihat aku yang terkulai lemas di atas sofa. "Aku nggak kuat mas, seharian ini mual. Tapi nggak nafsu makan sama sekali, jadi muntah juga nggak ada yang dimuntahinnya." Aku meringis merasakan tubuh yang tak karuan. "Ya, sudah, kita ke rumah sakit sekarang." Mas Doni menggendongku menuju mobil. Mas Doni saat itu bahkan tak sempat mengganti pakaiannya atau pun duduk untuk menghilangkan lelah. Dia terlihat sangat khawatir dan peduli terhadapku. Mobil kami melaju dengan kecepatan yang cukup tinggi. Walaupun khawatir, Mas Doni masih terlihat cukup tenang sehingga dia tetap fokus dengan kemudinya. Aku terpejam sepanjang perjalanan, tak tahu bagaimana keadaan jalan sore itu. Mas Doni lebih memilih membawaku langsung masuk ke UGD. Para tenaga kesehatan yang jaga sore itu dengan sigap menangani kami yang baru saja tiba. Saat Mas Doni sedang mengurus admistrasi, aku dibawa oleh para tenaga kesehatan masuk ke dalam ruangan unit gawat darurat dengan dibaringkan diatas brankar. Petugas lainnya datang untuk mendata diri dan mengecek tubuh, mulai dari suhu badan hingga tekanan darah. Mas Doni belum juga terlihat masuk ke ruang brankar, aku yang baru saja selesai diperiksa oleh petugas sesekali menengok ke arah pintu. Tak menunggu lama Mas Doni terlihat berjalan kearahku di ikuti dengan seorang perempuan memakain seragam petugas UGD dengan jas berwarna putih yang ia kenakan diluarnya, yang terlihat seperti dokter jaga. "Harus rawat ya bu, pak." Setelah memeriksa dan mendengar semua keadaan yang aku tuturkan, dokter menyarankan aku untuk rawat inap. "Ya, dok, kalau baiknya begitu." Mas Doni langsung menyetujui perkataan dokter. "Langsung infus aja ya, sus." Sambil menepuk pundak perawat perempuan disampingnya, dokter memberikan arahan untuk memasang infus, menutup pemeriksaanya padaku sore itu. Aku telah dipindah keruangan rawat yang hanya berisi satu ranjang di kamarnya. "Dek, Mas, kan besok pagi ada meeting penting dan nggak bisa ditinggal, kalau Mas hubungin ibu untuk temani kamu selagi Mas nggak ada bagaimana?" "Ya, coba saja Mas! Mudah-mudahan saja ibu bisa bantu." Sahutku dengan suara yang masih lemas. Mas Doni berjalan keluar ruangan, membiarkan aku yang terlelap. Setelah diinfus dan diberi beberapa suntikan, rasa mual dan pusing hilang hanya masih merasa lemas, lama kelamaan karena lelah aku mengantuk dan terlelap. Aku terbangun ketika mendengar suara pintu terbuka, rupanya ada perawat yang masuk untuk memerika. Mas Doni yang semula sedang tertidur di sofa juga ikut terbangun. "Permisi, bu Tari, di cek dulu ya, Tensi dulu." Dengan ramah perawat mulai melakukan tugasnya. Mas Doni jalan mendekat, berdiri tepat di samping ranjangku. "O,ya, Pak, bu, karena bu Tari terdata sebagai pasien salah satu dokter dan dokter kandungan disini jadi dokter yang menangani bu Tari nanti dokter yang biasa menangani ya. Tetapi karena dokternya sudah pulang sore tadi, jadi besok baru bisa menemui bu Tari, sekalian besok USG buat cek kandungannya ya ke dokter kandungan bu Tari biasanya." Perawat dengan jelas menerangkan. "Iya bu, terima kasih" ucapku pada perawat yang sudah terlihat senior itu. "Bagaimana keadaannya saat ini? Ada yang masih dikeluhkan?" Kembali perawat itu kembali bertanya. Perawat pun pamit, "Dek, makan dulu ya! Walau nggak nafsu paksain aja ya!" Mas Doni yang terduduk dibibir ranjangku membujukku untuk makan. "Iya mas." Setelah masuk ruang rawat tadi, aku memang langsung tidur. Saat makanan dikirim oleh petugas pun aku tak mengetahuinya. Mas Doni membantuku bangun untuk duduk. Mengambilkan nampan yang ada dimeja dan diletakkan diatas pahaku. Aku pikir dia akan menyuapi tetapi dia malah menyodorkan sendok untuk aku gunakan makan sendiri. Aku makan secara perlahan, walaupun tak ada nafsu aku paksakan agar ada makanan yang masuk. "Oh, ya, mas, bagaimana ibu? Sudah mas hubungi? Bisa besok untuk datang menemami aku?" Aku bertanya disela-sela makanku. "Sudah. Tetapi ibu bilang dia tidak bisa karena ibu sedang diluar kota. Akhirnya Mas menghubungi Rani, dia bilang besok ayah yang akan menemami kamu. Ibu keluar kota? Ada keperluan apa kira-kira tumben sekali ibu keluar kota? Setelah aku menikah, lalu ibu menikah kami jarang sekali berkomunikasi baik bertemu langsung maupun lewat sambungan telepon. Mungkin, beginilah berumah tangga, setiap anak yang sudah memiliki keluarga akan fokus dengan keluarganya sendiri, sepertinya itu yang telah Andi pikirkan dulu. Uups, Kenapa aku tiba-tiba berpikir tentang Andi? Secara reflek aku memukul-mukul kepala, menyesali apa yang telah aku pikirkan. "Kenapa dek, sakit kepalanya?" Mas Doni melihatku dengan bingung. "Hehehe..nggak kenapa-kenapa kok Mas." Aku terkekeh karena malu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD