Bab.5 ketika rumah terasa sunyi.

1018 Words
Jika harus mengikuti kata hati, ingin rasanya kaki ini melangkah pergi jauh meninggalkan rumah nenek dan menyusul ayah saja. Tetapi, pada kenyatanya aku tidak punya nyali untuk itu. Aku memang bukanlah, orang yang berani menunjukan apa yang aku rasa dan aku pikirkan dengan sikap dan tindakan yang nyata. Aku tahu nenek dan ibu sudah melihat ku berdiri di pagar rumah, sehingga tak mungkin rasanya jika aku harus berlalu pergi begitu saja tanpa menemui mereka terlebih dahulu. Bagaimana pun terlukanya aku setelah melihat ibu memperlakukan ayah dengan buruk, tetap saja dia adalah ibuku. Aku tetap memiliki kewajiban untuk menghormatinya. Aku hapus air mata yang tersisa di pipi. Aku langkahkan kaki menuju rumah nenek, berusaha setegar dan setenang mungkin. Aku ucapkan salam dan ku cium tangan nenek, ibu dan mang bagja. Ibu mengajakku bicara empat mata. Bagi ibu aku ini bukanlah anak kecil lagi. Ia tahu betul, bahwa aku mengerti akan situasi dan keadaan yang sedang terjadi saat ini. Maka dari itu, ibu mengajakku bicara dari hati ke hati, antara aku dan ibu. "Maafkan ibu, kalau keadaannya menjadi seperti sekarang ini." Ucap ibu. Aku hanya terdiam berusaha mendengarkan apa yang ingin ibu sampaikan. "Ibu harap, teteh ngerti dan menerima keadaannya. Kalau untuk sekarang ini ibu tidak bisa lagi pulang kerumah. Ibu sudah memutuskan untuk berpisah dengan ayah. Keputusan ibu untuk berpisah dengan ayah sudah benar-benar tidak bisa diubah lagi." Ucap ibu. "Apa yang membuat ibu sangat ingin berpisah? apakah kesalahan ayah benar-benar tak bisa dimaafkan?" Tanyaku putus asa. "Ibu tidak tau jawaban apa yang tepat untuk menjawab pertanyaan teteh. Tapi yang pasti, untuk saat ini ibu benar-benar tidak memiliki rasa apapun lagi terhadap ayahmu, yang ibu rasakan hanya ingin segera mengakhiri rumah tangga ini". Jawab ibu. "Bohong kalo teteh bilang teteh baik-baik saja saat ini, jujur saja teteh sangat kecewa baik pada ibu maupun ayah. Tidak ada satupun anak yang tidak sedih dan kecewa saat melihat orang tuanya berpisah " Ucapku. "Apakah kalian tidak merasa keluarga kita ini penting?terutama ibu, apa yang ibu pikirkan tentang keluarga kita?" Ucapku melanjutkan. "Saat ini ibu tidak akan melakukan pembelaan apapun untuk diri ibu sendiri, atau pun memaksa kamu untuk mengerti. Ibu hanya ingin memastikan teteh tahu bahwa ini keputusan ibu yang sudah tidak bisa diubah. Semoga lambat laun teteh akan menerima dan memahami." Ucap ibu. Aku terdiam! untuk saat ini aku benar-benar tidak dapat menerima penjelasan apapun. Yang aku tau aku merasa sangat kecewa. Aku memutuskan untuk tidak lama berada dirumah nenek dan pamit pergi. Sepanjang perjalanan pulang, pikiran ku jauh melayang. Memikirkan kembali, apakah selama ini aku terlalu berharap banyak dengan keluarga ini? Sehingga saat keadaan nya terjadi diluar apa yang aku bayangkan rasanya sangatlah sakit. Rasanya aku pun tak ingin langsung pulang. Aku butuh suasana dan udara segar, karena saat ada dirumah aku selalu mengharapkan ibu kembali pulang. Sehingga aku memutuskan untuk pergi ke danau kota dahulu sebelum kembali pulang untuk menjernihkan pikiran. *** Aku kembali kerumah, setelah merasa hati ini lebih baik. Sesampainya dirumah ku lihat ayah sedang duduk di teras ditemani secangkir kopi, melihat kedatangan ku ayah pun mengajak ku bicara juga memintaku mengajak Rani. Dengan santai tapi serius. Ayah menjelaskan kepadaku dan Rani, tentang keadaan yang terjadi saat ini antara ayah dan ibu. " Ayah sangat bersyukur saat ini Rani dan Teh Tari sudah tumbuh dewasa, juga menjadi anak-anak yang baik. Sehingga tanpa harus ayah beri tahu pun, kalian pasti sudah semahami situasi yang terjadi saat ini. Seperti yang sudah kalian tahu, untuk sekarang ayah dan ibu sepertinya tidak bisa sama-sama lagi. Maafkan ayah, bila ayah tidak bisa membuat keluarga ini baik-baik saja. Ayah harap Teh Tari dan Rani dapat memahami situasi ini dan mulai terbiasa tanpa ibu dirumah." Ucap ayah. " Jujur saja Tari sangat kecewa, sedih rasanya harus melihat kalian berpisah disaat kalian memasuki usia senja. Aku pikir ayah dan ibu bisa saling menemani disaat tua, saat anak-anak sudah berumah tangga nanti. Tapi bila itu sudah menjadi keputusan bersama semoga lambat laun Tari bisa terbiasa." Ucapku. Rani tidak bicara, saat itu hanya terlihat genangan air di pelupuk matanya yang ia coba tahan agar tidak terjatuh. Akhirnya pernikahan itu berakhir, ayah dan ibuku sepakat berpisah setelah melewati 21 tahun hidup bersama. Karena ibu meminta aku dan Rani untuk tidak ikut dengannya jadi kami tetap bersama ayah, melakukan rutinitas harian kami seperti biasa. Setiap melihat ayah kulihat ada gurat kesedihan pada garis wajahnya, hanya saja ayah berusaha untuk terlihat baik-baik saja didepan kami. Diumur ayah yang memasuki usia senja saat ini, mungkin tak pernah ada dalam benak ayah bahwa rumah tangganya dengan ibu harus berakhir. *** Sejak hari dimana ayah terakhir bertemu dengan ibu, sampi saat ini aku belum pernah lagi bertemu dengan ibu. Ada beberapa kali ibu menghubungi ku lewat telepon, itu pun untuk mastikan bagaimana kelanjutan gugatan perceraian ayah dan ibu ke pengadilan. Ibu menginginkan ayah sesegera mungkin memproses perceraian mereka kepengadilan. Ayah pun tidak terlalu banyak membantah, ia hanya mengiyakan apa yang menjadi keinginan ibu berharap segala permasalahan ini lekas selesai. Tinggal ke depannya mungkin ayah harus menjalani beberapa sidang, agar semua cepat terselesaikan. Maka perceraian ayah dan ibu pun sah dimata agama dan negara. Dinding itu memang diam, Tapi dia saksi bisu semua peristiwa. Kehidupan ini memang terus berjalan, Tapi terasa sunyi dan dingin. Tanpa ada kehangat yang kurasa. Semua berlalu, setiap peristiwa terjadi. Tapi semua tak berarti, setelah kau meninggalkan kami pergi. Kami dirumah ini memang telah dewasa. Aku, Rani dan juga ayah, kita semua manusia dewasa. Sehingga kami dapat menjalankan rutinitas secara mandiri. sebenarnya, ketiadaan ibu dirumah saat ini tidak terlalu menjadi masalah untuk rutinitas harian kami. Tapi ketiadaan ibu dirumah membuat rumah ini terasa tak bernyawa. Rumah kami menjadi terasa dingin selepas kepergian ibu. Kehangatan dalam keluarga ini, sedikit demi sedikit memudar. Saat ini aku kehilangan tujuan hidup ku. Selain tujuan ku untuk bisa terus menyekolahkan adikku, semua mimpi-mimpi ku yang lain terlihat samar dalam pandangan. Dalam malam rumah ini terasa amat sepi dan dingin, sehingga saat berada di rumah perasaan dan pikiran ku makin larut akan kesedihan. Rasa nya makin tak betah dirumah. Ada dalam hati ingin ngekost saja. Mungkin saja bila aku kost lebih cepat diri ini menerima kenyataan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD