Pierro mendapat penanganan intensif di ruang ICU rumah sakit langganan keluarga mereka. Marisa, Ay, dan Marcell menunggu di depan ruangan dalam keheningan, semua larut dengan pikiran masing-masing. Marisa masih terisak, berkali-kali Marcell mengusap punggung ibunya, lalu menariknya agar bersandar di bahu kekarnya.
“Sudah, Ma. Papa pasti baik-baik saja. Kita berdoa supaya papa cepat sembuh,” hibur Marcell.
Tidak lama kemudian para tenaga medis keluar dari ruang ICU. Dengan sigap Marisa berdiri paling awal menyambut kemunculan para dokter dan perawat itu.
“Alhamdulillah, Pak Pierro tidak parah kali ini. Dengan perawatan beberapa hari pasti sudah sehat kembali. Kami permisi dulu,” ucap seorang dokter dengan senyum ramah. Kabar itu membuat Marisa mengembuskan napas lega, begitu juga Marcell dan Ay.
Mereka bertiga lantas masuk ke dalam ruang perawatan, tampak Pierro berbaring dengan banyak alat-alat medis tertempel di dadanya, juga selang oksigen terpasang di hidungnya.
Marisa duduk di sisi ranjang, Marcell dan Ay berdiri di sisi lainnya. Pierro tersenyum menatap Ay dan Marcell yang berdiri berdampingan. Cocok sekali, pikir Pierro.
“Kalau kalian capek, pulang saja, Nak. Maaf, Papa sudah bikin kalian repot,” ujar Pierro kepada Marcell dan Ay.
“Nggak apa-apa, Pa, aku temani jaga di sini. Kasian Mama kalau cuman sendiri,” tukas Ay sambil tersenyum. Kesempatan bagus untuk melarikan diri dari Marcell, tidak mungkin ia lewatkan.
Marcell dan Ay akhirnya duduk di sofa, tinggal Marisa yang menemani suaminya di sisi ranjang. Mereka berdua hanya saling diam di sofa dengan ponsel di tangan masing-masing. Hingga beberapa saat kemudian Ay terkantuk-kantuk. Beberapa kali hampir terjatuh dari posisi duduknya. Karena sudah tidak dapat menahan kantuknya lagi, Ay menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa, lantas tertidur pulas.
“Marcell, bantu Ay tidur dengan nyaman, kenapa dibiarkan begitu,” tegur Marisa melihat Ay tertidur sambil duduk dengan kepala terkulai, tampak sangat tidak nyaman, sementara Marcell tidak peduli sama sekali, hanya sibuk dengan ponselnya sendiri.
“Sudah tidur juga, Ma. Kalo nggak nyaman pasti bangun, buktinya enggak bangun, tuh.” Marcell menukas tanpa mengalihkan perhatian dari ponselnya.
Marisa hanya menghela napas kesal, lalu beranjak dari kursinya, berjalan mendekati menantunya yang sudah terlelap. Merapikan bantal di sudut sofa, lalu merampas ponsel Marcell dari genggamannya.
Dengan wajah cemberut dan menggerutu tidak jelas, Marcell akhirnya bangkit, merebahkan tubuh Ay ke atas bantal, lantas kembali mengambil ponselnya dari ibunya.
Klik!
Marisa mematikan lampu, lalu kembali duduk di samping ranjang menemani suaminya.
Marcell yang masih asyik bermain ponsel, akhirnya mengantuk juga. Tapi mau rebah di mana? Sofa hanya cukup untuk Ay seorang, itupun kakinya terlipat karena dia masih duduk di ujung sofa.
Akhirnya dia tidur saja sambil duduk, menyandarkan kepala ke sandaran sofa.
Ay menggeliat, merentangkan kaki, lalu meletakkannya di pangkuan Marcell, tentu saja ia tidak sadar melakukan hal itu karena sudah jauh ke alam mimpi. Demikian juga dengan Marcell.
Merasakan sesuatu yang hangat berada di pangkuannya, secara refleks Marcell mengubah posisi tidurnya, bersandar di pinggang Ay dan memeluk kaki ramping yang masih berbalut gamis panjang itu merapat ke tubuhnya. Sangat nyaman untuk ukuran tidur di sofa.
Pergerakan-pergerakan dalam tidur yang sedikit terusik akibat tempat yang semakin sempit, membuat Ay semakin bergeser, dan Marcell semakin memiliki tempat yang lebih banyak di sofa.
Bugh!
"Awww," rintih Ay pelan sambil memegangi pelipisnya yang berdenyut akibat jatuh dari sofa. Ia pun bangkit, hendak kembali naik ke sofa, tapi terkejut bukan kepalang mendapati Marcell memperhatikannya dari atas sofa, wajah mereka begitu sangat dekat.
Marcell terbangun karena tidak ada lagi sesuatu yang dipeluknya tadi. Dan ia mendapati Ay terbaring di lantai. Maka, ia pun memindahkan kepalanya di atas bantal, tapi tahu-tahu wajah Ay muncul di depannya. Hembusan napas mereka yang saling berembus sangat dekat menyapu wajah masing-masing dalam keremangan.
Dan dalam sekali gerakan, Marcell meletakkan telapak tangannya di belakang tengkuk Ay, menariknya hingga tak ada lagi jarak di antara mereka. Tak ada lagi alasan untuk tidak menyatukan bibir mereka. Awalnya Ay menolak, berusaha meronta, tapi Marcell terus menahannya hingga akhirnya terdiam. Membiarkan pria itu menyapu bibirnya dengan lembut namun penuh penuntutan.
Marisa dan Pierro yang turut terjaga, melihat hal mencengangkan yang dilakukan anak dan menantunya, hanya bisa saling pandang sambil tersenyum penuh arti. Lalu pura-pura tidur agar dua anak muda itu tidak terusik.
"Marcell, kita ada di rumah sakit," bisik Ay begitu menyadari situasi.
"Sssttt. No problem. Whenever and wherever we are, if I need you," balas Marcell.
Ay hendak menggeleng, tapi Marcell semakin kuat mendesak hingga tidak bisa lagi berkata-kata. Tangan Marcell juga sudah berkelana ke mana-mana membuat Ay mendadak tidak bisa melakukan apa-apa selain memasrahkan diri. Inikah yang disebut kalah? Maybe. Pastinya Ay sudah terlarut bersama permainan Marcell yang menghanyutkan. Yes, Marcell is not a newbie, but he's a player.
Marcell merebahkan tubuh Ay di sofa, lalu melanjutkan ciuman panasnya. Apalagi Ay juga sudah bisa merespon dengan sangat baik, membuat Marcell semakin bersemangat.
Ay meremas-remas bagian d**a tuksedo yang dikenakan Marcell hingga kusut. Menahan diri agar tidak mendesah ketika Marcell menyibak jilbabnya dan menciumi lehernya, meninggalkan kissmark di sana. Hingga…
Tok-tok-tok!
Ketukan di pintu menginterupsi aktivitas mereka berdua. Seperti maling hampir ketahuan mencuri, mereka buru-buru menjauh satu sama lain.
Marisa dan Pierro senyum-senyum geli di balik keremangan membayangkan betapa jengkelnya dua orang di atas sofa sana.
Lantas Marisa beranjak dari kursinya untuk membuka pintu.
Sementara Ay buru-buru merapikan jilbab dan gamisnya yang berantakan. Huh, memalukan sekali sampai berbuat begitu di kamar rawat inap mertuanya. Marcell juga sudah duduk manis di pojokan sofa. Seolah tidak terjadi sesuatu di antara mereka berdua.
Marisa menyalakan lampu, suasana kini terang benderang.
"Maaf mengganggu istirahatnya, ya. Sekarang jadwal chek up malam," ucap dua orang perawat yang masuk mengikuti Marisa ke ranjang pasien.
***
Pagi harinya Marcell berangkat ke kantor, sementara Ay tetap tinggal di rumah sakit menemani mertuanya. Dua orang asisten rumah tangga datang membawakan perlengkapan yang dibutuhkan selama menjalani perawatan di rumah sakit.
"Bi, nanti malam temani di sini saja, ya. Biar Ay dan Marcell istirahat di rumah," pinta Marisa.
"Iya, Nya. Atau sekarang saya tinggal sini saja? Yati sama Non Ay bisa pulang duluan," tukas Bi Hesti.
"Oya, boleh juga." Marisa setuju.
Akhirnya Ay pulang lebih dulu bersama Bi Yati.
Sesampainya di rumah, Ay segera membersihkan diri dan berganti pakaian. Sesaat menatap pantulan dirinya di depan cermin. Ada sebuah lingkaran kecil berwarna merah di lehernya.
"Ck!" Ay berdecak sebal. Kenapa harus meninggalkan bekas begitu coba?
Lantas melemparkan dirinya di atas kasur. Menutup kepalanya dengan bantal rapat-rapat, sebab bayang-bayang kejadian semalam terus berkelebat di dalam kepalanya. Ya, Allah, kenapa bisa ia ikut terhanyut bersama pria itu, sangat-sangat-sangat tidak masuk akal!
"Tidak, itu tidak boleh dibiarkan. Aku harus lebih waspada!" Ay mengingatkan diri sendiri.
Niat hati hendak mengerjakan kelanjutan novelnya, tapi kenyataannya sangat malas, maunya hanya rebahan saja seharian.
"Ya Allah, semoga mama dan papa nggak liat semala. Iiihhhhhh, kenapa bisa kacau begitu?!" Ay mengacak rambutnya dengan sebal.
"Gimana kalo mereka liat, mau ditaruh di mana mukaku?" Kini ia semakin membenamkan wajahnya di bantal.
Setelah puas bermonolog sambil guling-guling kesana kemari seperti cacing kepanasan, Ay mengambil ponselnya. Mengirimkan pesan pada orang tuanya bahwa Pierro sedang dirawat di rumah sakit. Tidak lama kemudian pesannya sudah dibaca oleh ibunya.
"Sore ini, Mama sama Papa ke sana. Kamu di mana, Ay?" Cepat mamanya membalas.
"Sudah pulang ke rumah, Ma. Ada asisten rumah tangga yang gantian jaga di sana. Mungkin pas mama ke sana aku nyusul."
Setelah berbalas chat dengan ibunya, Ay membuka-buka chat masuk yang lain. Ada pesan dari Faishal.
"Apakah saya bisa terima satu atau dua halaman rancangan kasar novelnya malam ini?"
Ay membelalak terkejut membaca pesan itu. Kenapa mendadak sekali? Lalu membalas, "Harus malam ini?"
"Iya, saya butuh untuk review awal."
"Baik, saya kirimkan lewat e-mail selepas maghrib," balas Ay menyanggupi.
Ay akhirnya memaksakan diri untuk bangkit, beranjak ke sofa untuk mulai mengerjakan proyeknya.
***
Sore harinya Ay berbelanja beberapa keperluan pribadinya di sebuah mall, sekaligus oleh-oleh untuk dibawa ke rumah sakit. Ia berangkat bersama Bi Yati.
Beruntung permintaan Faishal bisa diselesaikan sebelum ashar tadi. Jadi bisa berangkat lebih awal ke rumah sakit sambil berbelanja berhubung kedua orang tuanya sudah ada di sana.
"Bi, tunggu sini bentar, ya. Aku mau ke toko kosmetik dulu," pinta Ay pada Bi Yati, sebab tidak mungkin membawa stroller barang-barang belanjaan masuk ke toko kosmetik.
"Iya, Non."
Ay berjalan cepat menuju toko kosmetik langganannya. Masuk ke dalam dan langsung berkeliling melihat-lihat berbagai display kosmetik di dalam etalase. Lalu memilih-milih berbagai varian lipmate yang berjejer sangat mempesona.
"Untuk wanita berhijab biasanya banyak yang suka warna soft, Mbak. Bisa coba yang ini." Seorang pramuniaga menunjuk sebuah lipmate berwarna nude dan natural.
Ay mengambil keduanya, lantas beranjak ke cermin untuk mencoba. Dengan sedikit melebarkan bibir, ia menempatkan lipmate di depan bibirnya, namun pandangannya tertubruk pada sebentuk bayangan di dalam cermin. Demi memastikan apa yang dilihatnya, ia semakin mendekat ke depan cermin itu.
Di sana, tidak jauh dari posisinya berdiri, Marcell sedang berjalan dengan seorang wanita. Mereka tampak sangat mesra, wanita itu menggelayut manja di lengan Marcell. Sesekali saling melempar senyum dan tawa penuh keceriaan.
"... boleh yang ini, Sayang?"
"Boleh, apa pun yang kamu mau…."
Lamat-lamat terdengar percakapan di antara mereka. Hati Ay tiba-tiba memanas melihat pemandangan dan mendengar percakapan mereka. Apakah itu wanita yang Marcell masih harapkan kehadirannya? Mungkinkah mantan istrinya? Kenapa bisa mereka semesra itu padahal Marcell sudah menikah?
Berbagai pertanyaan dan protes bersatu padu memberontak dari dalam otaknya.
Maka, sebelum hatinya semakin sesak, Ay bergegas merapikan lipmate yang hendak dibelinya tadi, menyimpannya kembali ke tempat semula.
"Maaf, Mbak, nggak jadi," ucapnya tergesa.
Ay tidak mempedulikan lagi situasi di sekitar, berjalan dengan langkah-langkah panjang agar cepat sampai di tempat Bi Yati menunggu.
Bersambung…