Kamu Mempermalukanku!

1616 Words
Suasana di dalam ballroom sangat ramai, banyak undangan dari berbagai kalangan hadir di sana. Ada beberapa pejabat yang Ay sering lihat mondar-mandir di media. Para pria dan wanita dengan pakaian mewah dari brand-brand ternama dunia berdiri di sepanjang sisi gedung megah, saling bertukar cerita sangat akrab. Hanya Ay sendiri yang merasa asing. Benar-benar dunia kaum jetset. "Halooo, kalian sudah datang," sapa Marisa begitu melihat Marcell dan Ay berjalan di karpet merah. Di sebelahnya beberapa orang wanita mengiringi langkahnya. Ay tersenyum ramah sambil sedikit menundukkan kepalanya sopan, sementara Marcell hanya diam tanpa ekspresi dan suara. "Ini istri barunya Marcell, Jeng?" tanya seorang wanita yang memegang clutch dengan pengait berbentuk huruf H. "Iya, Jeng, kenalkan mantu saya yang cantik shalihah ini. Namanya Ayenara." Marisa memperkenalkan dengan senyum lebar, tampak sangat bangga punya menantu seperti Ay. "Panggil saja Ay, Tante," tukas Ay sopan. "Wah, selamat, ya. Maaf tidak sempat datang waktu acara kalian lalu, bertepatan dengan acara kantor di Jepang. Kadonya nanti nyusul," ucap wanita itu dengan senyum ramah. Lalu disusul ucapan-ucapan selamat dari wanita-wanita lainnya. Ay hanya mesem-mesem sambil menunduk-nunduk. Sangat kikuk bergabung dengan para wanita sekelas mereka, dia merasa seperti berasal dari planet yang berbeda. Marcell lantas bercakap-cakap dengan rekan-rekan bisnisnya. Ay masih berdiri dengan Marisa yang sesekali bertegur sapa dengan teman-teman sosialita-nya. "Kamu harus terbiasa dengan acara seperti ini, Ay," ucap Marisa seolah mengerti kegelisahan yang Ay rasakan. "Iya, Ma. Aku memang nggak terbiasa ikut acara-acara begini," tukasnya sambil tersenyum. Marisa mengusap lengannya lalu mengajaknya mengambil makanan dan minuman. Alunan musik yang mengalun lembut di gedung membuat Ay semakin tidak nyaman. Dia hanya ingin segera pulang, tapi Marcell entah pergi ke mana, Ay tidak bisa menemukan pria itu lagi. "Ma, aku mau makan di samping taman sana saja, ya? Capek berdiri terus," pamit Ay menunjuk ke arah taman yang cukup sepi. Marisa tersenyum mengerti. "Iya, nanti Mama ke sana kalau sudah mau balik." Ay berjalan membawa piringnya ke bagian belakang ballroom yang berupa taman. Di sana suasana lebih tenang dan sejuk karena atapnya terbuka. Ay mengambil tempat duduk di samping kolam kecil dengan air terjun buatan yang bergemericik. Hanya beberapa orang yang duduk di sana, dan masing-masing sibuk bersama pasangannya. Ia pun mulai menikmati herb rice potatoes-nya. "Sendirian?" Suara bariton seorang pria menyapa pendengaran Ay, membuatnya menoleh. "Gama?” Ay mengerutkan kening, berusaha mengenali sosok pria yang tersenyum dan berjalan semakin mendekat. “Ya, sudah lama sekali tidak ketemu, wajar kalo kamu lupa. Terakhir… enam bulan lalu, bukan?” Pria yang Ay sebut Gama itu menarik sebuah kursi dan duduk di hadapan Ay. “Iya, enam bulan lalu,” kenang Ay. “Kamu kemana aja selama ini? n****+ kamu banyak yang hiatus.” “Sibuk. Ngurus kucing lebih enak dari pada ngurus novel.” Gama terkekeh pelan. “Makanya cepetan married,” tukas Ay turut terkekeh, lalu menyambung, “supaya kucing kamu ada yang ngurusin.” Gama semakin tertawa lebar, lalu menggeleng pelan. Tampak wajahnya berubah canggung. “Aku selalu ikutin perkembangan n****+ kamu, luar biasa. Delicious Saga semakin di depan,” celetuk Gama sambil melebarkan kedua lengannya. “Alhamdulillah, berkat bantuan kamu juga dulu, sampai aku bisa di titik ini. Pokoknya terima kasih banget.” Ay mengacungkan jempolnya sebagai isyarat rasa terima kasih dan senang sekaligus. “Kamu nggak makan, aku sambil makan, ya?” Ay mengangkat piringnya ke hadapan Gama. Pria itu mengangguk dan mempersilakan. “BTW, kamu kenal sama om Dewo dan tante Siska?” Gama mengedarkan pandangan ke sekeliling, lalu mengarahkan pandangan ke dua orang yang penampilannya paling menonjol dan sedang sibuk bercakap-cakap dengan para tamu di tengah pesta. “Enggak. Aku cuma ikut aja.” “Ikut? Siapa?” Gama mengernyit heran, ia mengenal Ay--gadis itu tidak akan suka pergi ke tempat-tempat seperti ini dan tidak punya teman dekat perempuan. “Orang tua kamu?” Ay menggeleng. “Bukan. Mmmm.” Ay berpikir sejenak, ragu. “Suami,” imbuhnya lirih. “Suami? Kamu udah nikah? Nggak ngasih kabar ke komunitas? Atau aku yang kelewatan banyak hal?” Ada seraut sesal dari wajah Gama. Wajah yang semula ceria kini berubah… entahlah apa namanya, sendu? “Iya, sengaja nggak sebar undangan terbuka. Khusus acara keluarga saja. Sori.” Gama mengangguk, lalu terdiam. Suasana jadi kembali hening. Ay juga tidak punya bahan lagi untuk dibicarakan. Pertemuan dengan Gama cukup mengejutkan. Pasalnya pemuda tampan bergigi gingsul itu seperti ditelan bumi setelah pertemuan terakhir mereka enam bulan yang lalu di sebuah acara kepenulisan. Gama adalah wakil ketua di Ikatan Penulis Muda Indonesia (IPMI), sebuah komunitas kepenulisan yang cukup besar di tanah air. Ay bergabung di sana sudah sejak lama dan mereka cukup akrab karena memiliki visi yang sama dalam menulis. Dan Ay buru-buru menyadari situasi menjadi tidak kondusif. Tidak nyaman juga, karena sekarang ia sudah menikah, lantas duduk-duduk berdua dengan pria asing. Ia pun pamit kepada Gama. “Aku… ke sana dulu, ya.” Gama mengangguk sambil tersenyum. “Iya, nice to meet you. Nggak nyangka bisa ketemu kamu di sini.” Ay hanya tersenyum simpul, lalu beranjak dari tempatnya. Meninggalkan area taman yang nyaman dan kembali ke hiruk pikuk kebisingan pesta. Ia melewati koridor yang berbatasan dengan area toilet, suasana di sana juga cukup sunyi. Ia berjalan cepat, sebab aura di tempat itu rasanya sedikit… bikin merinding? Namun tiba-tiba sebuah cekalan keras mendarat di lengannya. Belum sepenuhnya menyadari apa yang terjadi, tubuhnya diseret masuk ke dalam koridor lain menuju area toilet. Brak! Pintu toilet ditutup keras dan dikunci. Tubuh Ay didesak hingga menempel di dinding toilet yang dingin. Ketakutan otomatis menyelimuti hati Ay hingga tidak punya kekuatan untuk berteriak. Ay segera mengamati samar-samar wajah orang yang menyeretnya itu dalam keremangan. “Marcell?” desisnya tak percaya. Ya, ampun, apakah pria ini psikopat? Kenapa suka sekali main kasar? Dan kenapa harus menyeret ke tempat sepi seperti ini?! “Kamu mau mempermalukan aku, hah? Tidak seharusnya kamu menghindari pesta dan berdua-duaan dengan pria lain!” Suara Marcell penuh angkara murka, wajahnya mengeras. Sekarang Ay mengerti kesalahannya. Ya, ia harus mengakuinya itu salah. “Kamu tahu aku setengah mati mencarimu!” hardiknya lagi. “M-maaf, Marcell. Aku….” “Aku tidak butuh penjelasan apa pun. Apa yang aku lihat sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan.” Marcell menarik bagian belakang jilbabnya hingga kepala Ay terangkat. “Kamu harusnya tahu posisiku, aku bukan orang biasa di sini. Kamu pikir apa tanggapan orang-orang ketika melihatmu tadi, huh?” “Aku mengerti. Dan aku tidak akan mengulanginya lagi. Maaf.” Di satu kesempatan Ay mengatakan permohonan maafnya, berharap Marcell tidak akan bertindak lebih jauh. Karena jujur saja, ia sangat takut dengan aura pria itu yang sangat menakutkan. "Penampilan kamu sama sekali tidak mencerminkan sikapmu!" gertaknya lagi. Ay membelalak mendengar tuduhan menusuk pria itu. "Atau memang… kalian punya hubungan dekat? Intim, hah?" Iya, iya, Marcell, aku salah. Sudah cukup dan kita pulang! Tapi suara hatinya itu hanya menggema di dalam kepalanya, tidak mampu keluar dari mulutnya karena kini Marcell semakin mendesaknya hingga tulang punggungnya terasa nyeri. "You have to be responsible for what you do." Setengah mendesis Marcell mengatakan kalimat itu. Entah dilihat dari sudut pandang apa kebersamaan Ay dan Gama tadi hingga membuat Marcell semarah itu. Padahal tidak ada yang istimewa dari kedekatan mereka. Ay segera menyadari sesuatu yang besar akan segera terjadi. Ia menggeleng cepat-cepat. Tapi sebelum ia membuka mulutnya untuk menyela, Marcell sudah menutupnya dengan ganas. Tidak memberi kesempatan pada Ay untuk sekadar mengambil napas yang mulai kehabisan oksigen. Bibirnya terasa panas akibat serangan Marcell yang teramat kuat. Marcell semakin mendesak dan Ay tidak dapat lagi menghindari. Pasrah. Mungkin inilah saatnya ia harus menyerah. Ia tidak punya persiapan atau kekuatan untuk melindungi diri dari serangan mematikan Marcell. Ini diluar prediksi, bahkan terjadi di dalam toilet umum. Apakah malam pertamanya akan terjadi di dalam toilet? It's very impossible, worst nightmare! Beruntung di saat krusial itu, ponsel Marcell berdering nyaring. “Damn!” umpat Marcell, lantas merogoh saku celananya, mengeluarkan ponselnya yang berkedip-kedip. “Halo, Ma,” jawabnya, masih dengan posisi mengurung Ay di tembok. “Kalian di mana? Papa tiba-tiba kambuh jantungnya, sekarang kami di tempat parkir, papa nggak bisa nyetir….” “Aku kesitu sekarang. Tunggu!” Marcell langsung memotong ucapan ibunya. Wajahnya seketika panik luar biasa. Tanpa berkata-kata, Marcell segera melepaskan kungkungannya dan keluar dari toilet. Ay hanya mengikuti tanpa bertanya, melihat wajah Marcell yang sangat serius sudah cukup membuatnya mengerti bahwa sesuatu tengah terjadi di luar sana. Langkah mereka cepat dan panjang-panjang. Setelah tiba di area parkir, mereka segera menuju mobil orang tua Marcell. Pintu mobil Bentley Bentayga hitam itu terbuka, menampilkan Pierro tengah bersandar sambil mengurut d**a, sementara Marisa memijat-mijat bahunya sambil terisak. “Gimana keadaan papa, Ma?” tanya Marcell begitu tiba di samping mobil mewah itu. “Buruan ke rumah sakit, Marcell. Papa harus dapat perawatan intensif secepatnya. Mobil kamu biar Ay yang bawa,” tukas Marisa di sela isak tangisnya. Tanpa membantah sedikit pun, Marcell menyerahkan kunci mobilnya pada istirnya. Lantas masuk ke dalam mobil bersama kedua orang tuanya. Melihat pemandangan itu hati Ay cukup tersentuh. Pria yang dingin dan suka bermain kasar itu sangat penurut pada orang tuanya, wajar jika dia sangat disayangi. “Kamu nyusul ya, Ay,” ucap Marisa berusaha tersenyum--meski sangat jelas tergambar kecemasan di wajahnya. “Iya, Ma.” Setelah Ay masuk ke dalam mobil, Marcell dan orang tuanya meluncur lebih dulu. Ay mengikuti di belakang dengan perasaan waswas, khawatir terjadi sesuatu dengan ayah mertuanya. Bersambung... ========= Buat yang belum tap love, jangan lupa tap love ya... Follow juga akun aku... Juga tinggalkan komentar... Dukung karya ini agar aku makin semangat update. Ikuti medsos aku Fb&Ig @winafaathimah Thanks to all of you, my best readers... my biggest motivation... See you at the next chapter... Aku usahakan update tiap hari...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD