Sebenarnya Aku...

1680 Words
Ketika Ay dan Bi Yati tiba di rumah sakit, di sana sudah ada orang tuanya dan beberapa orang lainnya, sepertinya keluarga Marcell karena ia merasa tidak asing dengan wajah-wajah mereka. “Halo, Ay, baru ketemu lagi,” sapa seorang wanita dengan rambut dipotong pendek dan diwarnai keperakan, beberapa helai berwarna merah, dia tersenyum lebar ke arah Ay. “Halo, Tante.” Ay menjawab sopan, lalu duduk di samping ibunya. “Jangan panggil tante, dong, keliatan tua banget. Panggil Mbak aja,” ucapnya sambil tertawa kecil. Ay turut tertawa menanggapi. “Kalian pasti belum saling kenal, nggak banyak memang waktu buat Ay kenalan sama keluarga Marcell. Soalnya Marcell itu didadak biar nggak kebanyakan alasan buat nolak menikah lagi.” Marisa turut tersenyum. “Dia ini adik saya yang paling bungsu, tantenya Marcell. Namanya Cindy, dia punya salon, nanti kamu bisa minta perawatan gratis sama dia.” “Oya? Wah, keren, Mbak. Mau dong perawatan gratisnya.” Ay menanggapi dengan candaannya. “Pokoknya gratis lima kali perawatan sebagai kado buat kalian berdua. Terserah mau milih perawatan apa aja, gratis!” ujarnya berapi-api, sepertinya dia tipe wanita yang enerjik. “Tapi, kalo diliat-liat, sepertinya kalian berdua tuh belum malam pertama, aku berani jamin.” Ucapan Cindy sontak membuat semua hadirin tertawa. Ay hanya tersenyum tersipu malu. “Kamu kayak pakar aja nebak-nebak orang sembarangan.” Suami Cindy mencubit hidung istrinya itu. “Ih, Beb, sakit tauk!” Cindy memberengut ke arah suaminya. “Aku itu udah ngerawat lusinan pengantin baru, ya pastilah aku tau bedanya yang masih segel sama yang udah jebol. Dan ini baru berapa hari mereka nikah, masih seger gitu, bisa ke mana-mana pula.” Cindy semakin antusias dengan gaya bicaranya yang membuat seluruh tubuhnya turut bergerak. Marisa sambil terkekeh segera menyela, “Ay, nggak usah ditanggepin omongan Cindy. Dia memang agak gesrek orangnya. Kamu bawa apa aja? Kok banyak banget.” Marisa mengalihkan pembicaraan, menatap beberapa kantong plastik di samping Bi Yati. Ay hanya nyengir menanggapi ucapan mertuanya. Bi Yati mulai mengeluarkan makanan yang mereka beli tadi, lalu menghidangkannya di atas meja. Percakapan terus mengalir semakin seru. Keluarga Ay dan keluarga Marcell tampak sangat akrab dan hangat, membuat Ay semakin ciut untuk merencanakan perpisahan dengan Marcell. Menjelang waktu maghrib, Cindy dan suaminya undur diri lebih dulu. “Titip Marcell ya, Ay. Dia itu baik sebenarnya. Aku yakin kamu istri yang tepat buat Marcell,” ucap Cindy seraya cipika cipiki sama Ay. “In syaa Allah, Mbak. Makasih, ya.” Ay menukas dengan senyum manis. “Aku tunggu ya kalian berdua di salon. Bye!” Sambil berjalan ke arah pintu, Cindy berseru lagi. Sepeninggal Cindy, sepasang suami istri lainnya pun turut pamit pulang. Tinggal orang tua Ay yang masih bertahan di sana. Sisilia menggenggam tangan putrinya, lalu tersenyum simpul. Tentu ucapan Cindy tadi mengganggu pikirannya. “Ay, Mama tau kamu belum bisa menerima Marcell, tapi kamu harus tetap jadi istri yang baik. Keluarga Marcell dan keluarga kita sama-sama hanya punya satu keturunan, Mama berharap kamu bisa mengerti kebutuhan kita semua saat ini,” ucap Sisilia. Ay menghela napas berat. Seandainya mereka tahu niat busuk Marcell menikahinya, apakah mereka masih mau mengharapkan keturunan darinya? Bahkan mungkin saat itu juga orang tuanya akan menuntut cerai lebih dulu. “Ay ngerti, Ma." Hanya itu rasanya tanggapan yang Ay pilih paling tepat. Akhirnya Chicco dan Sisilia pamit pulang, Ay mengantarkan mereka sampai ke lobi rumah sakit. Lalu sekaligus singgah di mushola untuk menunaikan shalat maghrib. Cukup lama ia bersimpuh di atas sajadah setelah menyelesaikan shalatnya. Melangitkan doa untuk kebaikan seluruh urusannya. Dalam perjalanan kembali ke ruang ICU tempat ayah mertuanya di rawat, Ay memperhatikan orang-orang di sekitar. Ada yang sedang mendorong kursi roda keluarga yang sakit, duduk di depan ruangan menghirup udara segar, dan lain sebagainya. Ay sangat menyukai kegiatan sosial. Dulu beberapa kali ia pernah menjadi relawan ke tempat-tempat terjadi bencana atau daerah-daerah pedalaman untuk membantu orang-orang yang butuh pertolongan. Sangat menyenangkan, memberikan energi positif untuk lebih bersyukur pada nikmat yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa. Akhirnya ia kembali ke ruangan ICU. Tampak Pierro sudah tertidur. Marisa sedang duduk di sofa bercakap-cakap dengan seseorang di telepon. Lantas menoleh sambil tersenyum saat menyadari kedatangannya dan menutup teleponnya. “Ay,” panggil Marisa. “Iya, Ma.” Ay mendekat, lalu duduk di sisi Marisa. “Maafkan Marcell kalo nggak memperlakukan kamu dengan baik, ya,” ucap Marisa tulus. Entah mengapa, Ay merasa ada sesuatu yang misterius. “Iya, nggak apa-apa kok, Ma.” “Kami nggak maksa kamu untuk bisa segera punya keturunan. Kami mengerti, butuh waktu untuk kalian berdua bisa menjalin kedekatan dan terbuka secara emosional. Kami juga tau, Marcell masih mencintai mantan istrinya. Tapi, kami yakin kamu lebih baik buat Marcell, dia butuh seorang istri yang bisa mengingatkan dalam kebaikan. Mama berharap kamu bisa sabar menghadapi dia.” Permintaan tulus Marisa justru membekukan hati Ay. Lantas bagaimana sekarang? Apakah ia perlu memberitahu Marisa tentang rencana Marcell? Tapi apa tidak membuat mereka kecewa? Terlebih untuk kesehatan ayah mertuanya. “Sebenarnya, kenapa Mama dan Papa memisahkan Marcell dan istrinya dulu?” Ay memberanikan diri bertanya. Karena sejujurnya ia sangat penasaran kenapa pasangan yang saling mencintai itu harus berpisah. Marisa membuang pandang ke sofa. “Seperti yang kamu tahu, Ay, mereka tidak berencana untuk serius dalam berumah tangga. Agnez terlalu sibuk, bahkan jarang meluangkan waktunya untuk Marcell dan keluarga. Kami juga tahu seperti apa Agnez di luar sana, dia wanita bebas. Kami tidak ingin Marcell semakin larut dengan kehidupan semu seperti itu, padahal dia harus memikirkan banyak hal yang lebih penting." Ay mengangguk mengerti. Kemewahan tidak serta merta membuat seseorang hanyut dengan euforia dunia. Seperti orang tua Marcell, meskipun mereka salah satu keluarga pebisnis unggul di tanah air, tetapi tetap mempertahan nilai-nilai luhur yang berlaku di masyarakat. Tapi masalahnya adalah baik dia maupun Marcell sama-sama tidak ingin mempertahankan pernikahan itu. Sebelum semuanya semakin jauh, apakah sebaiknya dihentikan saja dari sekarang? Maka Ay membulatkan tekad untuk mengatakan semuanya dengan bahasa yang santun. “Ma, sebelumnya aku minta maaf, mungkin aku bukan wanita yang tepat untuk Marcell.” Ay memberi pengantar, jantungnya juga sudah berdegup kencang, khawatir akan mengecewakan Marisa, terutama Pierro nantinya. “Sebenarnya kami sudah….” “Ma.” Bertepatan dengan itu, Marcell membuka pintu dan masuk ke dalam dengan wajah masam. Spontan Marisa dan Ay menoleh ke arahnya, melupakan percakapan yang terhenti dengan kedatangan pria itu. “Guezzo Group menawarkan kerja sama.” Marcell begitu duduk di ujung sofa langsung mengatakan hal itu. Menyandarkan kepalanya ke sofa. “Guezzo Group? Itu bukannya perusahaan besar dari Italia yang dulu pernah mengecewakan kamu?” Marisa mengingat-ingat. Dan diangguki oleh Marcell. Entah harus kecewa atau lega, tapi Ay merasa beruntung tidak jadi mengungkapkan isi hatinya. Mungkin jika ia jadi mengatakannya tadi, suasana akan sangat berbeda saat ini. Dan Ay memilih membuka-buka media sosialnya, sementara Marcell dan ibunya membahas masalah bisnis. Ada banyak deadline yang tertunda karena ia semakin jarang punya waktu untuk mengerjakan novelnya. Ya, pekerjaan sebagai penulis memang tidak bisa dikerjakan sambil ngobrol atau suasana hati yang buruk. Mungkin malam nanti ia akan begadang saat semua orang sudah tertidur. “Ya udah, kalian pulang saja sana, biar Yati sama Hesti yang temenin Mama,” ucap Marisa mengakhiri pembicaraannya dengan Marcell. Ay melirik ke arah Marcell dengan wajah kesal, sangat menjengkelkan mengingat kelakuannya dengan wanita di dalam toko kosmetik sore tadi. Dasar tidak menghargai pernikahan! Mereka lantas berpamitan, Ay berjalan lebih dulu meninggalkan ruangan. Sesampainya di tempat parkir, Ay langsung menuju ke Honda Jazz putihnya. Marcell hanya memandanginya saat tubuh Ay masuk ke dalam mobil itu, lalu melesat pergi begitu saja tanpa mengatakan apa pun padanya. Aneh. Sepanjang perjalanan pikiran Ay begitu kalut memikirkan nasib rumah tangganya. Mungkin jika Marcell sudah tidak berhubungan lagi dengan mantan istrinya, ia masih bisa memaklumi, demi para orang tua ia akan terus bertahan. Tapi ini? Ay menggeleng pelan, tidak bisa membayangkan bagaimana Marcell masih tidur dengan wanita itu, lantas akan tidur dengannya juga. Mereka bersamaan tiba di depan rumah, memarkirkan mobil di garasi, lalu masuk ke dalam. Ay sama sekali tidak menegur suaminya, langsung masuk ke dalam kamar, masuk kamar mandi sekaligus berganti pakaian di sana, lalu duduk di sofa membuka laptopnya. Sementara Marcell setelah mandi dan berganti pakaian segera duduk di sebelahnya, meletakkan tangannya di atas tangan Ay di atas keyboard. Buru-buru Ay menarik tangannya, beringsut menjauhi pria itu. “Kamu kenapa, sih? Dari tadi muka kamu kayak musuhan begitu?” Marcell menegur. Ay menghentikan aktivitasnya, menatap wajah Marcell lekat-lekat. Lantas menghela napas kasar. “Dengar, Marcell. Aku sudah hampir mengatakan rencana perceraian kita ke mama kamu tadi. Kamu tahu kenapa?” Ay menjeda ucapannya, memperhatikan perubahan di wajah Marcell yang mengangkat sebelah alisnya. “Selama kamu masih berhubungan dengan mantan istri kamu, aku nggak bisa lagi melanjutkan sandiwara ini. Dan aku pikir sebaiknya kita akhiri saja pernikahan kita sekarang juga. Aku nggak sebegitu jahatnya pada orang tua kamu dan orang tua aku menyimpan sandiwara yang sangat mengerikan ini. Kamu tau, Marcell, ketika kamu berhubungan badan denganku dan wanita yang kamu pikirkan adalah mantan istri kamu, yang jelas-jelas sudah tidak halal lagi untuk kamu, apa namanya itu? Zina!” Ay menepuk keyboard laptopnya dengan keras pertanda kesal. “Kamu berzina dengan mantan istrimu dan aku membiarkan semuanya berjalan sesuai rencanamu? Apa aku sudah gila? Aku bukan wanita putus asa hanya karena belum bertemu jodohku sampai umurku setua ini. Bahkan jika aku harus melajang seumur hidupku, aku tidak masalah sama sekali.” Kata-kata Ay yang meluncur begitu lugas menjadi pukulan telak bagi Marcell. Ia tidak pernah menyangka Ay akan mengatakan hal itu. Ia juga tidak menyangka Ay akan mengetahui hubungannya dengan Agnez. “Jadi, kita tunggu sampai papa kamu sembuh, lalu kita umumkan perceraian kita baik-baik. Kamu selesaikanlah masalah kamu itu dengan mantan istrimu, jangan libatkan aku." Mereka terdiam cukup lama. Sebenarnya Ay menunggu tanggapan Marcell, tapi ptia itu hanya diam. Maka akhirnya, ia membereskan laptopnya. "Aku akan tidur di kamar lain, dari pada aku pulang ke rumah dan menimbulkan keributan.” Marcell tidak menahan saat Ay keluar dari kamarnya hingga hilang di balik pintu, menyisakan dirinya sendiri di kamar itu. "Hufft!!!" Ia menyugar rambutnya, mengempaskan punggungnya ke sandaran sofa. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD