Buat Agnez Cemburu

1653 Words
Tiga hari telah berlalu sejak kejadian malam pisah ranjang Marcell dan Ay. Dan masih terus berlanjut hingga saat ini, mereka belum membahas hal itu lagi. Bahkan nyaris tak pernah bertemu atau bertegur sapa. Benar-benar seperti hilang kontak satu sama lain. Marcell berdiri menatap panorama kota Jakarta melalui dinding kaca di dalam ruang kerjanya. Mengantongi tangan ke saku celana. Pikirannya dipenuhi oleh berbagai pergulatan yang--entah, ia juga tidak mengerti apa. "Kenapa? Kamu kayak banyak pikiran." Bryan--rekan bisnis sekaligus teman dekatnya--menegur. Dan mereka sama-sama sosok yang dingin dan angkuh. Mereka baru saja membahas proyek dengan Guezzo Group dan sepakat untuk bekerja sama. Marcell hanya mengedikkan bahu. Lantas berbalik dan kembali ke kursi kerjanya. "Women always get in trouble," ujar Marcell. "But, not all." Bryan tersenyum tipis, menyanggah. "Kamu tidak akan mengerti," bantah Marcell. "Kalau wanita-wanitamu seperti Dwinna, pasti hidupmu setenang danau," tukas Bryan metaforis. Marcell tersenyum masam. Bryan memang beruntung, dia menjalin hubungan dengan seorang gadis di Semarang bernama Dwinna. Meski sering terlibat LDR, hubungan mereka tetap harmonis. "But Agnez and Dwinna are different." Marcell menyesap minumannya. "Oke, aku nggak akan ikut campur urusan wanitamu. Tapi kalo aku boleh usul, buat supaya Agnez cemburu. Dengan begitu, dia dengan suka rela akan menuruti semua keinginan kamu." "Membuat Agnez cemburu?" Marcell mengerutkan keningnya. Benar. Selama ini Agnez selalu mendapatkan apa yang dia inginkan dari Marcell, bahkan pria itu yang sering cemburu karena kedekatan Agnez dengan pria-pria lain. This is the time for sweet revenge! Huh! *** Ayenara sudah memiliki banyak waktu luang untuk mengerjakan proyek biografi dari Faishal. Pagi itu, ia sudah mengatur jadwal bertemu dengan pria itu untuk mengunjungi beberapa panti asuhan yang didirikan sejak Hardoyo masih hidup. Faishal mengajak serta Syifa--adik bungsunya yang masih duduk di bangku SMA--agar lebih terjaga dari situasi khalwat (berdua-duaan). Sebab, baik dirinya maupun Ay, sama-sama orang yang paham agama. "Kak Ay langganan juga sama QueenAZ hijab?" tanya Syifa saat menatap brand jilbab yang dikenakan Ay. Ay tersenyum. Tentu saja langganan, pemiliknya kan Zizi, sahabat karibnya. "Iya, aku suka pakai brand QueenAZ, selain kualitasnya yang--nggak usah diragukan lagi, pemiliknya juga sahabat baik aku." Syifa sontak tersenyum takjub. "Wah, keren. Keluarga aku udah lama langganan di sana. Dan memang sih, kualitasnya bagus, jadi nggak mau pindah ke brand lain." Faishal hanya tersenyum mendengar percakapan renyah antara dua wanita di kursi belakang. Dia tidak menyela, hanya fokus mengemudi agar perjalanan lancar tanpa kendala. "Aku dari dulu suka baca karya-karya Kak Ay. Nggak nyangka banget, akhirnya bisa ketemu. Ternyata penulisnya cantik. Aku pikir Delicious Saga itu laki-laki," ucap Syifa sambil tertawa. Ay hanya tersenyum simpul menanggapi. Bagaimanapun, ada Faishal di depan sana yang mendengarkan percakapan mereka. "Itu, Abangku tau karya Kakak dari aku." Syifa menunjuk Faishal dengan dagunya, lantas mencibir karena Faishal menertawakannya lewat kaca spion tengah. Pembicaraan terus berlanjut dengan seru, Syifa benar-benar memonopoli percakapan. Ay dan Faishal hanya sesekali menyela. Akhirnya mereka sampai di sebuah bangunan yang sangat luas. Lokasinya agak jauh dari pusat kota. Mereka bersama-sama turun dari mobil dan langsung masuk ke dalam. Tentu security di pos jaga sudah mengetahui bos besar mereka. Sambil berjalan menyusuri koridor panjang yang sepi, Syifa terus bercerita tentang banyak hal seputar yayasan dan panti asuhan yang mereka sedang kunjungi itu. "Kenapa lorong ini sangat sepi? Biasanya panti asuhan selalu ramai," tanya Ay penuh keheranan. "Ini jalan pintas untuk keluarga dan tamu khusus, supaya tidak menarik perhatian penghuni panti." Faishal menjelaskan. Ay mengangguk mengerti. Begitu tiba di depan sebuah rumah yang cukup bagus dan rapi, Faishal segera menekan bel. "Ini rumah 'ammah (tante) Mardhiah. Beliau yang mengurus kebutuhan teknis panti ini," ujar Syifa. Ay--lagi-lagi--hanya mengangguk mengerti. Tidak lama kemudian, pintu terbuka. Muncul sosok wanita paruh baya dengan jilbab panjang dan lebar. Wajahnya sangat teduh, membuat sejuk hati siapa saja yang memandangnya. Bahkan Ay sempat terpesona dengan aura menenangkan wanita itu. "Assalamu'alaikum, 'Ammah. Maaf mengganggu," ucap Faishal seraya mencium tangan dan memeluk wanita itu. "Wa'alaikumsalam warahmatullah. Ya Allah, Faishal. Ada angin apa sampai kamu ke sini? Sudah lama sekali kamu tidak berkunjung ke sini," tukas Mardhiah seraya mengecup kening Faishal. Sangat akrab dan hangat. Lalu perhatian Mardhiah tertuju pada Ay. "Ini--siapa? Zaujatuka (istrimu)?" Tatapan Mardhiah penuh penuntutan penjelasan. Pertanyaan sekonyong-konyong itu membuat Faishal dan Ay serentak terbatuk-batuk akibat tersedak saliva sendiri. "Bukan, 'Ammah. Dia ini penulis buku yang akan mengerjakan proyek yang aku ceritakan dulu itu." Faishal segera meluruskan kesalahpahaman Mardhiyah. "Oalah. Saya kira istrinya Faishal. Habisnya, kalian itu keliatan cocok begitu." Mardhiah tersenyum menatap Faishal dan Ay bergantian, wajah Ay seketika memerah karena malu, sementara Faishal berdeham-deham entah apa maksudnya. "Bagaimana juga sudah tua belum nikah-nikah kamu itu, Fai. Awas saja kalo nikah nggak bilang-bilang sama 'Ammah. Tuh, kan, jadi lupa suruh kalian masuk, jadinya berdiri di luar gini. Yuk, masuk. Nggak usah segan sama saya, Nak. Anggap saja tante sendiri," ujar Mardhiah seraya mendampingi Ay masuk ke dalam rumah. Mereka duduk di sofa ruang tamu. Mardhiah bersama Syifa masuk ke dalam rumah untuk membuatkan minuman dan makanan ringan. Tinggal Faishal dan Ay di ruang tamu. Suasana jadi canggung karena hanya berdua. "Maafkan tante saya, ya. Beliau memang suka bercanda," ucap Faishal. "Iya, tidak apa-apa. Saya mengerti." Ay mengangguk memahami. Setelah Mardhiah dan Syifa kembali, meja segera dipenuhi aneka makanan ringan dan minuman. Mereka pun terlibat percakapan ringan, hingga akhirnya Ay memulai sesi wawancara seputar sepak terjang Hardoyo, yayasan, panti asuhan, dan segala hal yang berkaitan bahan novel. Tidak terasa hampir empat jam mereka bercakap-cakap. Karena sambil diselingi canda tawa dan cerita-cerita ringan sehingga pertemuan panjang itu terasa sangat singkat. Mereka juga akhirnya makan siang bersama. Ay turut membantu Mardhiah dan Syifa memasak makanan. "'Ammah nggak punya asisten rumah tangga?" Ay bertanya, karena sejak tadi tidak terlihat ada orang lain berlalu lalang di dalam rumah itu. "Saya biasanya makan, tidur, beres-beres bareng anak-anak santri, jadi tidak perlu asisten rumah tangga." Mardhiah tersenyum simpul. Mereka pun mulai menata makanan di meja makan, lalu duduk di kursi yang tersedia. Ay duduk di antara Mardhiah dan Syifa, Faishal di seberangnya--tepat di hadapannya. Bagaimanapun mereka berusaha untuk tidak terjadi interaksi, tetap saja, sesekali Faishal melempar pandangan ke arah Ay, lalu tersenyum. "Ay sudah berkeluarga apa masih sendiri?" Sambil makan Mardhiah bertanya. Faishal diam-diam menaruh atensi penuh untuk menyimak jawaban apa kiranya yang akan diucapkan Ay. Entahlah, kenapa dia harus bersikap begitu. "Sudah berkeluarga, 'Ammah," jawab Ay sambil tersenyum pula. Dan jawaban itu membuat sesuatu di dalam hati Faishal seolah tercerabut paksa. Cepat-cepat ia menyuap makanan ke mulutnya untuk menetralisir perasaan aneh dan tidak nyaman yang tiba-tiba menyerang. Dalam perjalanan pulang, mereka lebih banyak diam. Syifa yang cerewet tertidur sepanjang jalan sehingga tidak ada yang mencairkan suasana. Perjalanan yang memakan waktu sekitar 30 menit itu menjadi terasa sangat lama, seperti berjam-jam lamanya. Hingga akhirnya mereka tiba di kantor Faishal, tempat mereka bertemu pagi tadi. Di sana mobil Ay terparkir menunggu si empunya datang. "Terima kasih sudah mengerjakan proyek saya dengan baik," ujar Faishal setelah mereka berdiri di depan gedung kantornya. "Mau masuk dulu?" Ay menggeleng. "Terima kasih. Sebaiknya saya langsung pulang." Lalu tersenyum kecil sebagai sopan santun dan tanda perpisahan. Tapi entah kenapa, senyum kecil itu begitu berarti di hati Faishal. Ah, kenapa harus ada perasaan-perasaan asing seperti itu? Padahal baru beberapa hari mengenal Delicious Saga alias Ayenara Carla Giordano. *** Ay tiba di rumahnya pukul 13.00. Melangkah turun dari mobil dengan bergegas, tidak ingin menunda waktu shalat lagi. Tapi langkahnya terhenti saat lamat-lamat terdengar percakapan hangat di ruang tengah. Ya, di sana terlihat punggung seorang pria yang sangat dikenalinya--yang beberapa hari ini tidak pernah dilihatnya lagi--duduk dengan gagahnya. "Nah, itu Ay baru pulang." Senyum Marisa terlukis di bibirnya. Ay turut tersenyum--dipaksakan. Lalu melanjutkan langkah menuju ke kamarnya. Marcell turut menyusul ke kamar di belakang Ay. Lantas pintu tertutup. "Kamu ngapain ke sini?" Sambil menyimpan barang-barang Ay bertanya. "Jemput kamu," jawab Marcell singkat. "Huh? Untuk apa? Aku bisa pulang dan pergi sendiri. Bukannya kita sudah sepakat untuk…." "Papa keluar dari rumah sakit sore ini, kita ikut jemput." Marcell menginterupsi. "Oke, tapi bawa mobil sendiri-sendiri. Aku banyak pekerjaan besok, jadi nggak perlu ngerepotin kamu." "Aku antar." Ay berbalik, menatap wajah suaminya dengan kening berkerut-kerut, curiga. "This is'nt Marcell that I know." "Pokoknya mulai besok kita pulang dan pergi bareng." Marcell tidak ingin bernegosiasi lagi. Ia merebahkan tubuhnya di sofa, lantas menutup mata. Menyisakan Ay yang menghela napas kesal sambil berkacak pinggang. Lantas Ay segera masuk kamar mandi untuk berwudhu. Setelah itu shalat dhuhur diiringi tatapan Marcell yang heran melihatnya begitu taat beribadah. Sebenarnya Ay ingin menanyakan perihal rencana Marcell yang mengatakan mulai besok akan mengantar jemput. Tapi ia sangat mengantuk, jadilah ia tertidur di atas sajadah masih lengkap dengan mukena. Lantas terbangun saat adzan ashar berkumandang. Ia mengerjap, mengamati kondisi sekeliling. Hufff, ia bernapas lega, masih di kamarnya. Selepas ashar mereka berangkat ke rumah sakit menjemput orang tua Marcell. "Coba kamu jelaskan, kenapa mau ngantar jemput aku?" Akhirnya Ay merealisasikan rasa penasarannya dengan bertanya. "Kenapa? Kamu keberatan? Aku suami kamu, jadi wajar kalo antar jemput kamu." Marcell menjawab santai, tanpa menoleh ke arahnya. Hello, maksud Marcell itu apa sebenarnya? Kenapa tiga hari kemarin adem ayem saja dan sekarang tiba-tiba berubah begitu? "Dan kamu kembali ke kamarku," lanjut Marcell, membuat Ay semakin tercengang. "Sori, kita sudah bulat, kan, bakal cerai setelah papa kamu sembuh? Aku juga sudah urus surat-surat cerainya. Kamu tinggal tanda tangan. Selesai." Ay juga berusaha bersikap tenang. Mendengar hal itu, serta merta Marcell mengerem mobil mendadak, membuat kepala Ay hampir saja 'mencium' dasbor. "Mana surat-suratnya!" Marcell mengulurkan tangannya. Ay tersenyum. Ternyata semudah itu meminta tanda tangan Marcell. Dan segera mengeluarkan map berwarna cokelat, menempatkannya di atas telapak tangan Marcell yang terulur. Sebentar lagi, drama menyesakkan itu akan berakhir! Ay optimis. Srek! Senyum di bibir Ay seketika memudar melihat map cokelat itu bukannya dibuka dan ditandatangani, melainkan disobek hingga membentuk kepingan-kepingan kecil. Sama seperti hatinya yang hancur berkeping-keping. Bersambung… ====== Buat yang mau baca kisah Bryan-Dwinna bisa ke aplikasi kuning (NM), judulnya Elegi Hijrah Dwinna. Thanks a lot for your appreciation… Salam hangat dari ujung kasur.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD