In the Day

1410 Words
Marcell terbangun dari tidurnya ketika merasakan sengatan mentari menelusup masuk ke dalam kamar. Silau. Matanya memicing, memindai ruangan yang ditempatinya tidur semalam. Bukan kamarnya. Oh, ya. Ia baru ingat, ia sedang berada di kamar Ayenara, istrinya. Tapi kemana dia? Di atas meja sudah ada secangkir minuman yang masih mengepulkan asap, sepertinya belum lama seseorang meletakkan di sana. Ia bangkit. Terdapat secarik kertas terselip di bawah cangkir. "Maaf aku duluan ke tempat kerjaku di sebelah. Tidurmu sangat nyenyak, sepertinya kamu sangat lelah, jadi aku tidak membangunkanmu." __Ay. Marcell mengingat-ingat kejadian semalam. Tidak terjadi sesuatu. Yang ia ingat hanya sampai mengungkung Ayenara, lalu ia tidak ingat apa-apa lagi. "Apa aku selelah itu sampai tidak sadar ketiduran?" gumamnya seorang diri. Mengusir segala keresahan hatinya, Marcell segera masuk kamar mandi untuk membersihkan diri. Dia ada meeting penting pukul 09.00 pagi. Sekarang sudah pukul 07.30 dan ia belum mempelajari bahan presentasi dari sekretarisnya. Sangat tidak profesional! Setelah mandi, pandangannya menubruk pakaian yang tergantung di stand hanger yang berdiri di sudut kamar dekat sofa. Di sana jas, kemeja, dan celana kerjanya sudah licin tergantung rapi. Sebaris senyum melintas di bibirnya. Apakah itu Ay yang siapkan? Dulu sewaktu masih berumahtangga dengan Agnez, wanita itu tidak pernah mengurusi pakaian kerjanya. Sebab pagi-pagi sekali Agnez sudah meninggalkan rumah, bahkan sering meninggalkannya sebelum terbangun dari tidur. "s**t!" umpatnya, cepat-cepat mengenyahkan pikiran yang tiba-tiba mengusik paginya itu. "Aku langsung ke kantor, Ma, udah telat," pamit Marcell saat Sisilia menyambutnya di ruang tengah. Sisilia tersenyum menatap menantunya yang bangun kesiangan. Maklum manten baru, pikirnya. "Oh, iya. Tadi Ay pagi-pagi sudah keluar, katanya ada urusan. Sekarang kayaknya sudah balik ke ruang kerjanya," tunjuk Sisilia ke arah samping rumah. Marcell hanya mengangguk mengerti, lalu keluar rumah menuju area parkir. Di sana sopir keluarga Ay sudah memanaskan mobilnya. "Mau diantar, Den? Tadi Non Ay pesen supaya dipanasin memang mobil Aden," ucap sopir itu. Marcell menggeleng. "Nggak usah, Pak. Saya berangkat sendiri saja." Marcell melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Ngebut adalah salah satu hobinya dulu sewaktu masih duduk di bangku SMA hingga kuliah. Entah sudah berapa kali ia keluar masuk rumah sakit akibat kecelakaan lalu lintas. Dan sekarang, ia kembali mengenang masa-masa itu. Berpacu dengan waktu agar tidak terlambat sampai di kantor. Ini pengalaman pertamanya terlambat masuk kerja dan tidak ada persiapan sama sekali. Benar-benar sial hari ini! *** Ay membaca kembali surat balasan dari Faishal Gunawan Hardoyo. Pria itu menawarkan kerja sama dengan benefit menggiurkan. Bonus signing contract, royalti 30-50 persen sesuai hasil pemasaran, dan kenaikan branding penulis yang menjanjikan. Tidak ada ruginya menerima tawarannya. "Jadi kapan kita bisa ketemu untuk membahas kontrak?" Percakapan kini beralih ke chat pribadi. "Saya free setiap pukul 10.00 pagi dan 16.00 sore," balas Ay. "Oke, kalau begitu, pukul 16.00 sore ini kita ketemu. Di mana?" Cepat Faishal membalas. Heh, secepat itu? Ay menimbang-nimbang. "Oolong Garden&Caffe?" Ay menawarkan. Tempat itu adalah cafe favoritnya dengan Zizi jika sedang bosan. "Baik." Jawaban singkat pertanda setuju. Ay segera menuliskan agenda barunya itu di buku kerja. Lalu mengirimkan pemberitahuan pada dua orang karyawannya yang duduk di bagian depan kantor itu. Ay mempekerjakan dua orang staf untuk mengurusi bagian marketing dan tamu yang berkunjung. Jadi dia bisa fokus untuk menelurkan ide tanpa harus memikirkan hal-hal yang lain. Ting! Pesan masuk di ponselnya. "Sebentar malam ke acara teman Papa, jam delapan aku jemput." Ya, Allah! Ay menepuk dahinya, kesibukannya seharian di depan layar monitor sampai lupa kalau sekarang sudah punya suami. "Kamu aja yang datang, aku nggak usah." Ay membalas. "Ajakan orang tua nggak baik ditolak. Siap-siap memang, aku datang langsung berangkat." Pesan berisi instruksi membuat Ay berdecak sebal. "Dasar monster!" rutuknya seorang diri. "Astaghfirullah!!!" Ay cepat-cepat meralat ucapannya sembari mengusap kasar wajahnya berkali-kali. Huh! Sejak menikah dengan Marcell mood-nya menjadi buruk. *** Ay memarkirkan Honda Jazz putihnya di area parkir Oolong Garden&Caffe. Suasana sore itu cukup ramai. Desain cafe yang mengusung tema vintage, dengan taman-taman memenuhi sekeliling bangunan utama hingga taman gantung di rooftop membuat suasana sangat nyaman untuk bersantai atau berbagai meeting penting. "Pengunjung atas nama Faishal Gunawan Hardoyo sudah datang?" tanya Ay di meja resepsionis. Wanita cantik dengan rambut disanggul itu segera mengutak-atik komputer di hadapannya. Lantas tersenyum ramah pada Ay. "Sudah datang, Kak. Di rooftop meja nomor 12, letaknya paling sudut kiri, meja yang tersendiri," papar resepsionis. Ay bergegas menuju lift. Ia melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya, sudah pukul 16.03. Kliennya orang yang on time, lain waktu ia akan berusaha lebih disiplin lagi. Setelah tiba di rooftop, pandangannya langsung dimanjakan dengan view bunga-bunga rambat yang sangat lebat mengitari hampir seluruh area cafe sehingga terkesan natural. Berbagai bunga jenis keladi beraneka warna berjejer di setiap sisi. Atapnya yang transparan memungkinkan pengunjung bisa melihat langit tanpa khawatir terpapar panasnya sang mentari. Ay segera fokus pada tujuan utamanya, mencari meja nomor 12. Dan tidak sulit menemukan meja yang dimaksud, karena meja itu posisinya memang menyendiri. Sangat cocok untuk pasangan yang ingin berdua. Eh? :) Dengan langkah cepat Ay segera menjangkau meja itu, lalu duduk di satu-satunya kursi yang tersedia. "Dengan Pak Faishal Gunawan Hardoyo?" sapa Ay begitu tiba di hadapan meja nomor 12. Pria yang sedang duduk di sana mendongak. Wajahnya yang teduh tampak terkejut, lalu sesaat kemudian menyunggingkan senyum ramah sambil mengangguk. Tidak ada aura dingin dan mengintimidasi seperti--Marcell. :( "Maaf, saya terlambat," ucap Ay sungguh-sungguh, lalu menarik satu-satunya kursi yang tersedia di hadapan pria itu. Faishal mengangguk maklum. "Tidak masalah, saya memang datang lebih awal agar lebih santai mempersiapkan semuanya. Tidak usah sungkan, saya terbiasa seperti ini," jawab Faishal dengan sopan. Suaranya yang serak tetap berwibawa. "Saya tidak berpikir bahwa Delicious Saga adalah seorang wanita," jujur Faishal sambil tersenyum simpul. Ay turut tertawa kecil. Itu bukan pengalaman pertamanya disangka bukan wanita oleh klien. "Jadi bagaimana bentuk kerjasamanya?" Ay kembali pada fokus utama pertemuan mereka. Faishal mengeluarkan sebuah dokumen cukup tebal dari dalam tasnya. "Ini catatan tentang profil perusahaan yang didirikan kakek Hardoyo, juga biografi beliau ada di dalam." "Apakah perusahaan yang beliau dirikan itu juga yang Anda kelola sekarang?" tanya Ay sambil membuka-buka dokumen tebal itu. "Iya. Saya melanjutkan bisnis kakek dan seluruh aktivitas yang beliau lakukan." Ay mulai mencatat berbagai informasi penting yang mendukung kerangka dasar tulisannya nanti. Seperti yayasan yang didirikan Hardoyo, kegiatan-kegiatan amal dan sosialnya sejak masa penjajahan hingga yang dikelola Faishal sekarang, dan berbagai informasi lainnya. Secara garis besar, kehidupan Hardoyo sangat mengagumkan. Mengabdikan seluruh jiwa dan hartanya untuk kepentingan umum. Dan yang lebih mencengangkan lagi adalah mereka keluarga yang religius. "Baik, saya rasa cukup untuk pertemuan perdana kita. Saya sudah punya gambaran akan dibuat seperti apa biografi itu nantinya." Ay mengakhiri pertemuan dan menutup buku catatannya. "Terima kasih. Jika butuh sesuatu jangan sungkan untuk memberitahu saya," tukas Faishal. "Kenapa Anda yang turun tangan sendiri mengurusi masalah ini, Pak? Padahal Anda pasti sibuk mengurus perusahaan." "Karya itu akan sangat penting buat saya. Saya ingin mengerjakannya sendiri dengan kedua tangan saya. Kalau saja saya bisa menulis, tentu saya akan menulisnya sendiri." Faishal mengalihkan pandangan ke luar jendela. Menerawang sesuatu yang tak kasat mata. "Saya sudah lama terpikirkan untuk membuat novel biografi ini, tapi belum menemukan penulis yang cocok. Setelah membaca karya Anda yang terakhir itu barulah saya percaya Anda orang yang tepat," imbuh Faishal. Ay mengangguk mengerti. Sikap Faishal yang ramah dan hangat membuatnya bersemangat mengerjakan proyek itu. Akhirnya mereka mengakhiri pertemuan yang berlangsung hampir dua jam itu. Ay lebih dulu meninggalkan kafe agar tidak sampai kemalaman di jalan karena ia harus mengikuti undangan orang tua Marcell. *** Seperti yang telah disepakati, Marcell menjemput Ay pukul delapan malam. Mereka langsung berangkat ke hotel tempat pelaksanaan acara. "Acara apa?" tanya Ay dengan malas. Sebenarnya sangat malas berbicara dengan Marcell, tapi ia juga perlu tahu acara seperti apa yang akan dihadirinya itu agat tidak salam mengambil sikap nanti. "Ulang tahun pernikahan," jawab Marcell datar, fokusnya tetap ke jalanan di depannya. Ay tidak berbicara lagi, memilih menatap pemandangan kota di waktu malam yang sangat ramai. Kurang lebih 30 menit perjalanan dalam diam yang membosankan, akhirnya mereka tiba di basement hotel Cemara. Mereka turun masing-masing. Jangan harap Marcell mau membukakan pintu untuk Ay. Juga ketika masuk ke dalam, Marcell berjalan dengan langkah panjang-panjang meninggalkan Ay jauh di belakang. "Huh, cepat amat sih jalannya, aku kan nggak bisa jalan kayak gitu," gerutu Ay mempercepat langkahnya dengan susah payah. "Kenapa lambat sekali? Cepat sedikit!" seru Marcell ketika ballroom hotel sudah terlihat. Ay tidak menjawab, hanya mengatur napas yang tersengal begitu tiba di samping suami kejamnya itu. "Ingat, di dalam nanti, kita harus kompak." Marcell mengingatkan. Mereka pun berjalan beriringan masuk ke dalam ballroom. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD