A Cup of Tea

1596 Words
Marcell merebahkan tubuhnya di atas kasur yang empuk dan lembut di sebuah apartemen elite. Di sisi tubuhnya terbaring seorang wanita cantik dan molek yang hanya mengenakan kaos kebesaran tanpa bawahan. Dialah Agnez, mantan istrinya. Agnez merebahkan kepalanya di d**a bidang Marcell, sementara tangan pria itu membelai lembut rambut hitam sebahu yang menguarkan aroma soft lemon. “Nez.” Suara lembut Marcell membuat mantan istrinya itu mendongak, lalu mendaratkan sebuah kecupan di pipi Marcell. "Mau, ya, hamil dan melahirkan buat aku," ucap Marcell. "Kita balikan lagi, hidup sama-sama untuk selamanya." Mendengar permintaan Marcell, Agnez memindahkan kepalanya ke atas bantal, menatap lekat ke bola mata mantan suaminya yang penuh harap. Jemarinya menelusuri pahatan wajah tampan Marcell dengan lembut sensual. "Sayang, harus berapa kali lagi kita bahas masalah ini? Aku pasti bakal ngasih keturunan buat kamu, tapi bukan sekarang. Aku tidak ingin kesibukanku di luar membuat anak-anak kita kelak terlantar dan kurang kasih sayang. Aku butuh waktu untuk mempersiapkan semuanya." Mereka terdiam. Pembahasan masalah keturunan memang selalu menjadi topik yang terus dibahas berulangkali. Berbagai ide mereka cetuskan untuk mencari jalan keluar dari masalah itu, mulai dari program bayi tabung hingga cuti dari pekerjaan, namun ujung-ujungnya pasti menemui jalan buntu dengan alasan Agnez yang sama--tidak ingin menelantarkan anak-anak dan belum siap menanggung segala resiko dan konsekuensinya. Karena masalah tidak akan selesai hanya dengan hamil dan melahirkan, tapi setelahnya ada bayi yang terus bertumbuh kembang menjadi anak-anak. "Bukannya kita masih tetap berhubungan, Sayang? Apa masih kurang?" Agnez tersenyum penuh arti. "Lagipula, untuk masalah anak, kita sudah punya solusinya, kan? Dan aku bahkan rela korbanin perasaan aku berpisah dari kamu dan ngeliat kamu bersanding dengan perempuan lain." Marcell menggeleng. Mereka memang tetap intens berhubungan sebagaimana sebelum bercerai, tapi tetap saja terasa berbeda bagi Marcell, sekarang hubungan mereka tak lebih dari sekadar hubungan gelap. “Ini lebih sulit. Ayenara tidak mudah diajak bekerjasama, dia tidak mau menerima penawaran kita.” “Baiklah, baiklah. Tapi apa kita harus menyia-nyiakan kedatanganmu kali ini, hem?” Agnez tersenyum jahil. Marcell tentu tidak bisa menahan diri lagi, segera menangkup rahang Agnez dan mencium dengan gemas. Agnez selalu mampu membuatnya selalu ingin terbang jauh tinggi ke angkasa bersamanya. "Aku akan berusaha keras agar kita segera bersatu kembali," bisik Marcell sesaat sebelum bersatu dalam dunia keindahan mereka. *** Ayenara masih sibuk mengetik di laptopnya. Pandangan dan jemarinya tidak terdistraksi dari layar kotak itu yang terus menampilkan deretan huruf dan angka dengan kecepatan penuh, seperti tak akan pernah habis. Dia sedang mengejar deadline yang sudah molor hingga berhari-hari. Dan akhirnya ia menyerah setelah punggungnya terasa perih akibat terlalu lama duduk tegak tanpa bergerak-gerak lebih dari enam jam. Ia mengangkat tangannya ke atas, merenggangkan otot-ototnya yang kaku. Lalu beranjak ke kamar mandi untuk berwudhu. Waktu sudah menunjukkan pukul 13.30. Lagi-lagi ia telah menunda waktu shalat, kebiasaan buruk Ay jika sudah tenggelam dengan pekerjaannya. Usai shalat dhuhur, Ay makan siang di ruang makan bersama ibunya sambil membuka-buka media sosialnya. Sejak tadi benda pipih itu berdenting-denting pertanda banyak notifikasi dan pesan masuk. “Kamu buat juga kantormu di rumah Marcell, Ay, supaya nggak bolak-balik,” ujar sang ibu. “Mama nggak mau ketemu Ay lagi, gitu?” Sekilas Ay menatap ibunya dengan raut kesal, sementara Sisilia justru tertawa mendengar ucapannya. “Bukan begitu. Supaya lebih fleksibel,” tukas Sisilia. “Iya, Ma. Om Pierro juga bilang gitu, tapi nanti aja deh, belum kepikiran kesana, terlalu banyak deadline dalam waktu dekat soalnya.” Ay tetap fokus dengan layar ponselnya, ada lima e-mail masuk menawarkan kerja sama. Tiga di antaranya menawarkan penerbitan fisik novel The Foreign Passenger yang telah dibaca lebih dari 1 juta kali. Dia tidak tertarik, pihak platform Lovenovel yang akan menerbitkan. Dua sisanya menawarkan job menulis biografi. Yang satu tawaran menulis biografi seorang tokoh masyarakat dari sebuah partai, ia juga tidak tertarik. Dunia politik selalu ia hindari, terlalu banyak intrik di dalamnya. Yang satu lagi tawaran menulis biografi seorang bernama Hardoyo. Siapa Hardoyo? "Saya membaca karya Anda yang berjudul "The Foreign Passenger", sangat bagus dan menginspirasi. Anda sangat cocok untuk merealisasikan niat saya menulis biografi kakek saya yang bernama Hardoyo. Beliau seorang pengusaha yang banyak membantu masyarakat di masa penjajahan dulu." Sepenggal isi e-mail yang membuat Ay tertarik menerima tawaran itu. Tertera nama Faishal Gunawan Hardoyo di kaki e-mail. Ia pun membalas e-mail itu. "Saya terima tawaran Anda. Silakan kirimkan referensi dan data-data pendukungnya, serta surat penawaran kerjasamanya. Saya akan mengerjakan setelah menyelesaikan novel saya, sekitar satu pekan lagi." Ay menutup ponselnya. Begitulah pekerjaannya selama ini. Ia sudah menekuni profesi sebagai penulis dan pengarang sejak masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Dulu hanya sekadar mengirimkan tulisan ke redaksi berbagai majalah dan koran, baik dalam bentuk cerpen, karya ilmiah, atau puisi. Dan beruntung, tulisannya sering kali berhasil terbit. Pukul 17.30 Marcell datang menjemput. Kebetulan Chicco sudah pulang ke rumah sehingga mereka bercakap-cakap dulu di teras. "Kalian bermalamlah di sini," pinta Sisilia. "Sepertinya boleh juga," tukas Marcell tanpa meminta pendapat istrinya. Ay menatap Marcell dengan wajah kesal, tapi tidak berkomentar. Justru bersyukur karena bisa lebih bersikap leluasa jika bermalam di rumahnya. *** Usai makan malam, Marcell dan Ay masuk ke dalam kamar. Ay masuk ke dalam kamar mandi lebih dulu untuk membersihkannya diri dan berganti pakaian. Masih tetap seperti kemarin, lengkap dengan jilbab dan outer panjang. Marcell berdecak sebal melihat pemandangan itu, lalu berganti masuk kamar mandi. "Kamu mau minum sesuatu?" Ay menawarkan setelah Marcell duduk tenang di atas ranjang. Marcell mengerutkan keningnya, sebuah perubahan positif terasa dari sikap Ay. Marcell segera membatin, apa dia sudah bisa menyerah? "Ya," jawabnya singkat, tentu tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan bagus itu. "Mau jahe, teh mint, atau…." "Kamu atur saja," potongnya datar. Ay keluar kamar. Lima menit kemudian kembali lagi dengan secangkir minuman yang masih mengepulkan asap. Ia meletakkannya di atas nakas, tepat di sisi Marcell duduk bersandar di sisi ranjang dengan ponsel di genggamannya. "Silakan, semoga suka," ucap Ay, lalu berbalik hendak ke sofa. Tapi langkahnya terhenti, Marcell meraih pinggangnya. Jantung Ay segera berpacu sangat cepat, matanya cepat melirik ke atas meja--teh mint yang belum berkurang sedikit pun. "Aku sudah bilang, cepat atau lambat kamu pasti akan menyerah denganku. See? Baru satu malam." Marcell tersenyum miring. "Lain kali, jangan pakai pakaian tertutup kalo di kamar denganku," ujarnya lagi sambil menyingkirkan jilbab dari kepala Ay. "Marcell, aku sudah buat minuman, nanti keburu dingin," ucap Ay mengalihkan perhatian. Dan Marcell masih tetap dengan senyumannya. "Of course. I will enjoy it with you," tukas Marcell. Akhirnya, Ay duduk di atas ranjang di sisi tubuh Marcell, bersandar ke headboard. Aroma vanilla yang menguar dari tubuh Marcell membuat Ay tidak nyaman, seperti aroma mengintimidasi. Marcell meraih cangkir teh, menyesap sedikit, lalu meletakkannya kembali. Ayo, habiskan, Marcell, aku rela duduk di sini demi teh itu. Ay berteriak dalam hati. "Kenapa, hem?" Marcell menyibak rambut Ay yang jatuh menutupi keningnya, lalu mendekat hingga jarak wajah mereka sangat tipis. Ketika bibir tipis Marcell mendarat di atas bibirnya, buru-buru Ay membuka suara, "Your tea will be cold soon." "No, it still takes a long time to cool down," balas Marcell, semakin mendesak bibirnya. Habis sudah, Ay tidak punya alasan lagi untuk mengulur waktu. "A-aku… kita…." Ay terdesak di tempatnya, tidak bisa ke mana-mana. "Sebaiknya kita buat perjanjian." Akhirnya kalimat itu yang terlontar, entah ide seperti apa yang akan ia cetuskan. "Perjanjian? Perjanjian apa?" Marcell sedikit memberi jarak. "Tentang pernikahan kita. Aku mau hitam dan putih di atas kertas." Ay menjawab dengan ragu. Marcell tersenyum penuh kemenangan. Lantas meraih cangkir teh dan menyesapnya hingga habis. Tampak sebuah kelegaan terpancar dari wajah Ay ketika tangan kekar Marcell meletakkan cangkir itu di tempat semula dengan pelan. "Oke. Kamu mau perjanjian seperti apa?" Marcell meraih bolpoin dan buku tulis yang tergeletak di atas nakas. Mereka terdiam cukup lama, hingga Marcell mulai menguap. "Cepatlah, aku jadi mengantuk!" tegas Marcell. "Aku mau pernikahan kita sampai kamu punya anak, lalu kita pisah." "Kalau begitu hak asuh anak berikan padaku, aku tidak mau menyerahkan anakku pada monster sepertimu," tukas Ay ketus. "Apa?! Monster katamu? Huh!" Marcell mendengus marah. "Hak asuh sudah pasti jatuh di tanganku, karena itu tujuan pernikahan kita." "Kalau begitu, no child, no s*x! Kita pisah bulan depan!" tegas Ay dengan wajah merah padam. Ia benar-benar kesal pada Marcell yang sangat egois. Marcell mulai menuliskan sesuatu di atas kertas. Lalu membubuhkan tanda tangan. "Tidak ada perdebatan lagi. Aku sudah tanda tangani. Pernikahan tetap berlangsung sampai kamu melahirkan, hak asuh anak itu jatuh padaku, kamu mendapatkan harta apa pun yang kamu mau." "Aku tidak butuh hartamu. Aku juga tidak setuju dengan semua itu. Pokoknya bulan depan kita pisah. Titik!" Ay meninggikan suaranya, lalu beranjak hendak turun dari ranjang. Tapi lagi-lagi, Marcell menahan lengannya. "Setuju atau tidak, kamu harus setuju. Tanda tangani perjanjian ini." Marcell tidak memberikan kesempatan lagi untuk Ay menyahuti kata-katanya. Ia segera mendorong tubuh Ay hingga jatuh di atas kasur, lalu mengungkungnya. Hanya saja Marcell merasa aneh, rasa kantuknya tidak dapat ditahan lagi. Ia tidak pernah merasa kantuk sedemikian rupa. Apa aku kelelahan? Kenapa sangat mengantuk? Marcell mengingat-ingat kegiatannya seharian tadi, tidak ada yang melelahkan. Belum sempat mencium bibir istrinya, Marcell sudah jatuh tertidur di atas d**a Ay. Dengan cepat gadis itu menyingkirkan tubuh Marcell hingga berguling di kasur, tapi sama sekali tidak mengusik tidur pria itu. Ay turun dari ranjang, tersenyum lega karena misinya berhasil, memasukkan obat tidur ke dalam minuman Marcell. Yeah, that's a brilliant idea from her friendship, Zizi. Bersambung... ======== Maafkeun kemarin nggak up, yesss... Moga suka dan menghibur... Jangan lupa tap love buat yang belum yah dan follow akun aku. Ikuti juga media sosial aku supaya dapat info update dan info2 lainnya dari aku... Fb : Winafaathimah Ig : @winafaathimah
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD