Sungguh, jika saja saat ini Ella dihadapkan pada dua pilihan ingin berada di rawa-rawa atau di kamar Aliandra, Ella akan langsung memilih ada di rawa tanpa berpikir ulang. Ella mendesah putus asa. Bagaimana mungkin dia harus sekamar dengan moster itu selama nyonya Rani tinggal di rumahnya. Sampai kapan itu pun Ella tidak tau.
Lantas apa ada jaminan nanti saat dia keluar kamar, tubuhnya masih utuh. Tanpa bekas luka, tanpa lecet. Mengingat bagaimana kejamnya monster yang berkedok suaminya itu.
Ella ingin sekali menolak keputusan Aliandra untuk sekamar dengannya. Tapi pasti semua akan sia-sia bukan? Moster kejam itu tidak bisa ditolak ataupun dibantah. Dia meremas ujung kaos oblong yang dipakainya dengan gemas. Ingin rasanya dia meremas wajah judes dan dingin monster itu dengan kedua tangannya. Mencabik-cabiknya hingga menjadi serpihan.
Sungguh rasa benci Ella semakin menjadi-jadi padanya. Tukang fitnah, kasar, pelaku penganiayaan, dan Tuan pemaksa. Ella jadi gregetan sendiri hanya karena mengingat mukanya itu. Dan sekarang monster yang paling dia benci sejagat raya itu sedang ada di kamar mandi.
Entah apa yang dia lakukan. Mungkin membasuh dosa-dosanya. Atau mencuci hati dan pikiran busuknya yang selalu berpikiran buruk padanya. Kini Ella hanya diam di sofa kamarnya. Menunggu sang penguasa dunia kemonsteran keluar dari kamar mandi dan memutuskan hidup dan matinya. Memang sebenarnya yang dibilang Aliandra ada benarnya.
Bagaimana mungkin dia dan Ella tidur terpisah. Mereka kan suami istri. Kalau Ella menolak, Apa kata Bu Rani nanti? Bisa-bisa Ella disalahkan lagi oleh nenek sihir itu.
"Hanya setahun. Setelah itu kamu bebas. Kami tidak akan mengganggu kamu lagi. Kamu bisa menghapus nama Hermawan dari nama kamu," janji ibunya pada Ella saat mereka berbicara berdua sebelum akad nikah berlangsung.
"Sungguh?"
"Iya. Saya sendiri yang berjanji. Kamu bisa pegang janji saya!"
"Kenapa harus satu tahun?"
"Karena kontrak kerja Rosa di Amerika hanya setahun. Setelah itu dia akan pulang untuk menggantikan posisimu dan kamu bebas."
Janji. Hanya janji wanita itu yang dipegang oleh Ella. Mamanya. Oh tidak, bahkan Ella muak menyebutnya Mama. Ella muak melihat orang-orang yang selalu memanfaatkannya. Tidak ada orang yang tulus padanya.
Karena itu, saat berbicara berdua dengan Mamanya, Ella mengajukan syarat itu. Dia ingin lepas dari keluarga Hermawan. Gadis itu berpikiran mungkin nanti jika dia lepas dari keluarganya, hidupnya bisa tenang.
Karena tidak ada kenyamanan sama sekali yang dia dapat dari keluarganya. Yang ada hanya sakit hati dan diabaikan.
Hanya El, sahabatnya yang dia percaya. Ella mengumpat dalam hati saat mengingat El. Kemana pria itu berada? Tidak sadarkah dia kalau Ella butuh bantuannya sekarang?
Pasti dia sibuk berkencan dengan pacarnya yang lusinan itu. Dan tidak sadar jika Ella hilang dari apartemennya. Seandainya saja handphone Ella tidak tertinggal di apartemennya saat orang-orang suruhan ayahnya menyeretnya pulang ke Indonesia. Pasti Ella sudah menghubunginya. Meminta pria itu menjemputnya lalu membawanya pulang ke Sydney bagaimanapun caranya. "Sialan!" maki Ella kencang.
"Siapa yang sialan?" Tubuh Ella menegang saat mendengar suara maskulin di dekatnya. Ella menoleh dan langsung tertegun. Si monster keluar dari kamar mandi dengan memakai piyama handuknya. Wangi musk dan red wood langsung menyeruak ke penjuru kamar.
Aliandra mengusap-usap rambutnya yang basah dengan handuk kecil di tangannya. Ella menggigit bibir bawahnya gugup. Bagaimana mungkin moster kejam itu terlihat begitu menakjubkan. Begitu segar, basah, wangi dan... menarik. Wajahnya yang matang membuatnya terlihat sempurna.
Ella jadi mengira-ngira berapa usia monster tampan ini? Dia adalah kekasih Rosa. Jadi kemungkinan usianya tidak jauh berbeda dengan kakaknya. Jarak usianya dan Rosa sangat jauh. Rosa berusia dua belas tahun saat dirinya lahir. Jadi kira-kira usia monster itu tiga puluh dua tahun. Tapi bagaimana jika dia lebih tua dari Rosa? Mungkin tiga tiga, tiga empat, tiga lima?
What? Ella menikah dengan kakek-kakek. Membayangkannya membuat Ella jijik. Tapi wajah Aliandra tidak terlihat setua itu. Dia tampan, berkharisma dan juga matang.
"Siapa yang sialan?" Aliandra mengulangi pertanyaannya karena Ella malah menatap bodoh ke arahnya. Sesekali memasang ekspresi mual.
Apa yang sebenarnya dipikirkan gadis ini, batinnya.
"Oh. Eh-eng itu-" jawab Ella tergagap. Bingung memikirkan alasan apa yang harus dia pakai.
Aliandra mendengus sinis. "Ternyata mulut kamu selain pandai berkata sinis, ketus juga pandai mengumpat rupanya. Tapi saya nggak heran sih. Yang bisa diucapkan gadis liar macam kamu ini pasti hanya makian dan u*****n," sindirnya.
Ella menggerakan giginya marah. Dia tidak terima dikatai liar. Selama ini hidupnya di Sydney baik-baik saja. Di masih punya
moral. Tidak akan dia meniru kehidupan bebas orang-orang disana.
Dia punya agama meskipun penampilannya amburadul. Bahkan gadis itu tidak pernah sedikitpun melihat rupa bar, club, diskotik dan tempat hiburan malam lainnya. Dua tahun dia habiskan untuk kuliah, belajar dan bekerja. Bahkan
waktunya habis untuk mencari uang. Membiayai hidupnya sendiri di negeri asing.
Ella menolak mentah-mentah biaya yang dikirim oleh Papanya. Dia bekerja siang malam agar tidak sampai meminta uang
Papanya. Belajar tekun agar tidak kehilangan beasiswanya yang bisa hilang sewaktu-waktu jika nilainya turun sedikit saja.
"Tuan..." Ella membuka mulutnya hendak memprotes ucapan menyakitkan Aliandra.
Namun pria itu buru-buru memotongnya. "Panggil Abang saja! Aneh kalau didengar Mama kamu panggil saya Tuan. Serasa saya majikan kamu!" Ella melotot kaget. Mengeram kesal dalam hatinya. Tidak sadarkah pria itu jika sikapnya melebihi majikan? Majikan yang kejam.
Dengan santainya Aliandra mengambil bantal dan guling di ranjangnya yang super besar. Lalu melemparkannya ke sofa yang diduduki Ella. Juga mengambil selimut dari dalam lemari dan melemparnya juga ke arah Ella. Ella berdecak. Memangnya dia apa sampai dilempari seperti itu. Belum sempat dia mengumpat, Aliandra terlebih dahulu bicara.
"Kamu tidur di sofa! Saya nggak bisa kalau nggak tidur di ranjang. Bisa-bisa badan saya sakit dan nggak bisa kerja. Kalau kamu kan pengangguran. Dan diam di rumah aja seharian. Mending kamu yang sakit dari pada saya," ucapnya santai sambil merapikan bantal dan selimutnya lalu berbaring dengan damai.
Ella hanya bisa mengumpat dalam hatinya. Ingin menangis rasanya dia sekarang. Berhadapan dengan pria monster itu membuatnya tidak bisa berkutik. Padahal biasanya dia jago mengumpat, memaki dan perang mulut dengan lawannya. Tapi dengan Aliandra dia bahkan tidak sanggup bicara satu kata sekalipun.
Astaga...! Ingatkan Ella untuk menggigit lehernya sampai putus
nanti.
***
Ella merasakan gerakan kecil di sebelahnya berbaring. Gadis itu menggeliat pelan karena tidurnya terganggu. Dia merasakan sentuhan lembut di wajahnya. Lalu suara cekikikan halus terdengar samar di telinganya.
Ella mengernyit menatap sekelilingnya. Bukan kamarnya, tapi kamar Aliandra. Semalam memang dia tidur disana. Ella tidur di sofa.
Tapi aneh. Bukankah ini ranjang. Mata Ella membulat sempurna. Dia ada di atas ranjang Aliandra. Bagaimana bisa? Ella menoleh pada si kecil Nana yang sedang menertawakannya. Apanya yang lucu, batin Ella. Dan kenapa bocah ini sudah ada disini pagi-pagi?
"Pagi, Mommy!" sapa Nana dengan ceria. Dari raut wajahnya dia terlihat begitu bahagia.
Ella tersenyum melihat wajah ceria Nana. "Pagi-" Ella melotot kaget.
"What? Nana panggil apa?" tanyanya histeris.
"Mommy! Mommy Ella!" jawab Nana dengan senyumnya.
Ella langsung bangkit untuk duduk. Menatap Nana kaget. "Nana? Kenapa panggil Aunty Ella, Mommy?"
Nana menghentikan tawanya. "Tadi malam Granny bilang sama Nana. Kata Granny nggak sopan kalo Nana panggil Aunty. Kan sekarang Mommy Ella udah jadi Mommynya Nana. Bener kan,
Mom?"
Ella syok. Apalagi ini? Kenapa semuanya semakin gila untuknya? Seseorang tolong bangunkan aku sekarang, batinnya menjerit.
"Mom? Mommy?" panggil Nana karena Ella hanya diam dengan pandangan kosong. Ella memijit pelipisnya perlahan. Sepertinya malaikat maut ingin menyiksanya sekarang sebelum mencabut nyawanya.
"Nana!" Suara berat khas pria menyadarkan Ella dari lamunannya yang meratapi nasibnya. Aliandra, si monster itu terlihat sudah rapi dengan pakaian kerjanya. Berdiri di depan cermin sambil memasang dasinya.
"Nana kenapa masih disitu? Cepetan mandi. Nanti Granny bisa ngomel kalo kamu nggak mandi-mandi!" perintah Aliandra pada Nana.
Bocah itu seketika cemberut. Nana memasang wajah masamnya saat Aliandra mendekat padanya. "Ayo Nana mandi sama Mbak Rum!"
Nana berontak dari Aliandra. Membelot memeluk pinggang Ella. "Nana mau mandi sama Mommy!" rengeknya.
Aliandra mendesah kasar. Dia tidak bisa memaksa Nana. Tidak tega padanya. Jadi dia pun menuruti kemauan Nana.
"Ya udah. Tapi Nana mandinya cepet ya. Nggak pake main air! Pasti Granny kamu udah nunguin itu di bawah!"
Nana mengangguk senang. "Oke, Dad!" jawabnya cepat. "Mom! Ayo mandi!" Ajak bocah kecil itu pada Ella.
Dan Ella hanya bisa melongo kebingungan. Tidak paham pada interaksi anak dan ayah itu. Terlalu mengejutkan untuknya. Aliandra dan Nana seolah sudah terbiasa dengan keadaan ini. Padahal ini kan pertama kalinya mereka berinteraksi seperti sebuah keluarga utuh. Ayah, ibu dan anak.
"Mom! Ayo mandi! Dad, Mommy ngelamun!"
Aliandra mengerutkan dahinya bingung melihat Ella yang hanya bengong melihatnya dan Nana.
"Hei! Kamu ngapain bengong! Kamu juga cepetan mandi! Itu baju-baju kamu udah dipindahin Mbok Inah tadi subuh," ujar Aliandra.
Ella mengacak rambutnya frustasi. Semoga saja jiwanya tidak terganggu setelah ini, mohonnya dalam hati.
***
"Bangun jam berapa kamu?"
Suara itu terdengar saat Ella datang bersama Nana ke meja makan. Ella menahan diri sekuat tenaga untuk tidak membalas kata-kata sinis ibu mertuanya. "Maaf," hanya itu yang sanggup dia ucapkan.
"Udahlah, Ma. Tadi Ella mandiin sama ngurusin Nana dulu. Nana nggak mau mandi sama Rumi," ucap Aliandra menengahi.
Rani mendengus. Lalu mengambil centong nasi dan mengisi piringnya dengan nasi dan mengambil lauk di meja. Ella mengambil tempat duduk di sebelah Nana. Gerakan Aliandra yang akan mengambil centong terhenti saat Rani membuka suara.
"Kamu kok ngambil nasi sendiri? Minta sama istri kamu dong. Kan udah tugasnya dia melayani kamu!" sindirnya.
Bagus. Makin kesini makin genap saja penderitaannya. Mulut pedas ibu mertuanya benar-benar membuat kupingnya panas. Anaknya dingin. Ibunya panas. Ella yang ada di antara dua orang itu harus bagaimana?
Aliandra berdehem. Memberi kode pada Ella untuk mengambilkannya nasi. Ella memasang wajah masamnya dan Aliandra melototinya. Dalam hati Ella mendoakan semoga matanya jatuh ke bawah. Sekalian biar buta. Jadi nggak bisa sok-sok an lagi.
Ella membayangkan Aliandra yang kehilangan penglihatannya. Lalu mengemis-ngemis minta makan padanya. Ella cekikikan sendiri di tengah kegiatannya mengambilkan Aliandra nasi dan lauk. Sedang Aliandra dan ibu mertuanya memandang bingung gadis itu. Suara lembut Nana menyadarkan Ella.
"Mommy... Nana juga mau diambilin Mommy!" pinta Nana.
Ella langsung menutup mulutnya rapat ketika melihat tatapan horror suami dan ibu mertuanya. "Iya. Ini Mommy ambilin. Nana mau makan apa?"
Setelah selesai melayani Nana, Ella pun mengambil makanannya sendiri. Dan makan dengan tenang. Ruang makan pun sunyi. Hanya terdengar dentingan sendok dan garpu beradu dengan piring. Sampai suara Rani memecah keheningan. "Ella!" panggilnya.
Ella mendongak. Mendapati wajah tak bersahabat ibu mertuanya. Gadis itu membatin, kapan sih nenek sihir ini pasang muka cantik? Perasaan asem terus itu muka. "Iya Bu?" jawabnya.
"Jangan panggil saya Ibu! Saya bukan Ibu kamu!"
Tuh, kan. Like mother like son. Sama persis seperti ucapan Aliandra semalam.
"Terus saya harus panggil apa?" tanya Ella.
Wanita itu geleng-geleng kepala kemudian meletakkan sendoknya. Bu Rani meneguk gelas berisi air putih di sampingnya.
"Saya kan mertua kamu. panggil saya Mama! Karena saya sekarang sudah jadi Mama kamu juga!"
Astaga. Nggak bisa ya ngomongnya biasa aja. Nggak selalu sinis gitu, gerutu Ella dalam hati. Dia sebenarnya juga galak dan suka sinis jika berbicara. Tapi itu jika ada yang menganggunya. Jika tidak, Ella akan bersikap biasa saja.
"I-iya, Mama."
Ada perasaan hangat menyeruak di dalam hatinya saat mengucapkan kata mama. Ada seseorang yang ingin dia panggil Mama disaat Mamanya menolak dia panggil Mama. Sungguh Tuhan Maha Adil, kan?
Dia menggantikan sosok yang Ella idam-idamkan sejak dulu. Wanita yang rela dia panggil Mama. Meskipun sifatnya yang judes dan bermulut tajam. Tidak apa-apa, batin Ella. Karena dia juga biasa seperti itu. Dan mungkin juga benar kata Aliandra. Jika Mamanya terlalu menyayangi anak dan cucunya. Sehingga menginginkan yang terbaik untuk mereka.
"Setelah Nana dan suami kamu berangkat, kamu harus belajar masak sama saya!" perintahnya.
Ella terbatuk. Perkataan ibu mertuanya membuatnya kaget setengah mati. Memasak? Melihat ekspresi Ella, Bu Rani langsung bisa menebak. "Kenapa? Kamu pasti nggak bisa masak, kan? Saya tau wajah -wajah seperti kamu itu nggak akan pernah masuk dapur!" cemoohnya.
Ella menahan dongkol. Apa sekarang dia benar-benar akan jadi ibu sungguhan?
***
Hari ini, Bu Rania mengajak Ella ke toko roti langganannya yang terletak di sebuah mall. Dengan langkah malas, Ella mengekor di belakang mertuanya. Mengikuti langkah wanita tua itu yang berjalan kesana-kemari memilih kue.
"Stroberi cheese cakenya dibungkus aja, Mbak. Yang lain makan disini!" ujar Bu Rani pada si pelayan toko. Wanita itu pun mengambil tempat duduk di sudut ruangan. Meletakkan tasnya di atas meja. Bu Rani mengecek ponselnya sebentar kemudian beralih pada Ella.
"Kamu harus inget, loh. Kue kesukaannya Nana itu stroberi cheesecake. Stroberi tart juga dia suka. Anak itu suka semua yang rasa stroberi."
Ella hanya berdehem singkat menyahuti ucapan si ibu mertua. "Kalo Aliandra nggak terlalu suka kue. Tapi kalo ada kue, rasa apa aja pasti dihabisin," lanjutnya.
Ella tidak menjawab. Matanya sibuk melihat si pelayan yang sedang menyiapkan pesanan mereka. Dalam hatinya dia menggerutu, sampai kapan mereka akan terus berada disana? Perutnya sudah kelaparan. Tadi pagi dia sarapan nasi goreng cuma sedikit. Karena di nenek sihir itu buru-buru mengajaknya jalan.
Bilangnya sih cuma ke toko kue beliin kue buat Nana. Tapi nyatanya mereka berkeliling Mall terlebih dahulu. Mertua galaknya itu mengajaknya melihat-lihat kacamata dan tas. Hanya melihat-lihat. Karena pada kenyataannya mereka keluar dari sana tidak membawa apa-apa. Ella hanya bisa geleng-geleng melihat tingkah ibu mertuanya yang berlagak sok mau beli, memilih ini dan itu.
Sehingga membuat Mbak-Mbak pramuniaga disana kerepotan. Kalang kabut melayaninya. Tapi pada akhirnya tidak jadi beli. Untung saja mertuanya itu tidak kena lempar sepatu high heels yang dipakai si mbak, batin Ella. Padahal sayang, kalau saja Mbak-Mbak itu mau melempar sepatunya kepada Bu Rania, Ella akan dengan senang hati membantunya.
"Kamu dengerin saya ngomong nggak, sih!" tegur Bu Rania pada Ella.
Ella tersentak. Gadis itu memasang cengirannya membuat Bu Rania mendengus kesal. "Kamu ini dikasih tau resep bikin kue malah ngelamun! Ngelamunin apa sih kamu!" omelnya.
"Maaf..." ujar Ella lirih.
Bu Rania menggeleng pelan. Bertepatan dengan pelayan yang menghampiri meja mereka. Menyajikan pesanan Bu Rani tadi. Beliau langsung menyahut kue Red Velvet yang ada di meja. Dan juga puding mangga. Lalu menggeser piring berisi cheesecake dan juga puding stroberi ke arah Ella.
"Itu buat kamu!" Ella mengangguk kecil. Berterimakasih pada si nenek sihir. Kemudian menikmati kuenya.
"Kamu suka ke apa?" tanya Bu Rania pada Ella.
"Saya suka-" belum selesai Ella berucap, Bu Rania buru-buru menyelanya.
"Kamu pasti suka semua kue, kan? Keliatan dari muka kamu. Muka orang rakus. Semua diembat. Kayak si Aliandra juga."
Ella melongo. Apa dia dikatai rakus barusan? Hei, darimana Bu Rania tau? Memang ada benarnya juga ucapan ceplas-ceplos si nenek sihir itu. Ella memang tidak pernah menolak makanan.
Dia makan apa aja yang ada. Meski dia juga punya makanan kesukaan.
Ella mencembik kesal. Kapan bibir pedas mertuanya itu bisa memujinya sedikit saja. Berkata manis padanya sekali saja. Wanita tua itu selalu saja mengatainya. Sama seperti Aliandra yang selalu menghina dirinya.