Bab 7 : Tears of the Past

1745 Words
"Ngiris sayur nggak bisa. Disuruh kupas bawang nangis. Goreng ikan, gosong. Kamu itu beneran nggak bisa apa-apa ya!" Ella merengut kesal saat Bu Rani terus mengomel dan mengomentari hasil kerja Ella di dapur. Ingin rasanya Ella membungkam mulut bocornya itu dengan lap kompor. Tapi ingatan tentang suami mosternya langsung menghentikan niatnya. Bisa-bisa dia dimutilasi oleh monster kejam itu. Jadi yang bisa dilakukan Ella hanyalah mengelus d**a, pura-pura tuli dan berusaha sabar menghadapi celotehan wanita tua itu. "Ella! Itu sambil diaduk sayurnya. Kalo kamu diemin gitu nggak rata matengnya!" Bu Rani meneriaki Ella yang menatap bodoh pada wajan tempat dia memasak sayur bobor. Ella pun mengambil spatula untuk mengaduk sayur. Lalu mengaduknya ragu-ragu. Terlihat sekali gadis itu tidak pernah memasak seumur hidupnya. Sejak kecil dia terbiasa diurus oleh pembantu. Tidak pernah sekalipun dia menyentuh dapur. Di keluarganya, tidak ada seorangpun yang bisa memasak. Baik itu ibunya, Ella maupun Rosa. Sewaktu tinggal di Sydney juga dia tidak pernah memasak. Karena dia sudah mendapat jatah makan dari restoran tempat dia bekerja. Mau makan sepuasnya pun tidak ada yang melarang. Karena restoran itu milik sahabatnya, El. El lagi? Ella langsung kesal mengingat nama pria kurang ajar yang mengaku sahabatnya itu. Sampai sekarang pun El tidak kunjung menemuinya? Sesuli itukah mencari keberadaan Ella? Ella pernah memberi tau El alamat rumahnya di Jakarta. Jika El sadar Ella menghilang dari apartemennya, harusnya pria itu sudah mencarinya ke rumah orang tua Ella. El b******k! Awas kalau aku balik ke Sydney! Aku bikin bengkok itu hidung mancung, batin Ella gemas. Karena kesal, tidak sengaja dia mengaduk sayurnya dengan kencang. Sampai kuah sayur di wajan muncrat-muncrat keluar mengotori kompor dan dapur. "Astaga! Ella!" Bu rani memekik kencang. Ella berdecak. Menolehkan kepalanya malas. "Apa?" Bu Rani menggeleng pelan. Lalu menggeram tertahan. Bersindekap di depan Ella. "Kamu itu nggak niat belajar masak, ya?" ucap wanita itu sinis Ella mendengus. "Udah tau nggak niat. Orang dia sendiri yang maksa," gerutunya pelan. "Apa?" ucap Bu Rani. "Nggak." Wanita tua itu memijat pelipisnya pelan. Mengajari Ella ternyata lebih susah dibanding Rosa. Kalau Rosa tidak berani membantah dan membalikkan perkataan, gadis ini justru berbeda 180 derajat dengannya. Sejak tadi saat dia mengajari cara mengupas bawang, memotong sayur, menumis bumbu dan banyak lainnya. Ella hanya memasang muka cuek tak peduli. Kebanyakan dia menolak saat disuruh dengan alasan ini dan itu. Berkali-kali menyahuti omelan ibu mertuanya itu. Bu Rani sampai kehabisan kata-kata. Gadis ini benar-benar bandel dan susah diatur. Pembangkang. Bagaimana bisa gadis ini harus menjadi ibu untuk cucunya Nana yang sangat manis. Bisa-bisa Nana tertular sifat bandelnya. *** "Mommy!" Gerakan Ella yang sedang menata nasi dan lauk di meja makan pun terhenti. Nana masuk ke dalam rumah. Berjalan menghampirinya lalu memeluknya erat. Gadis kecil itu baru saja pulang sekolah. Ella tersenyum melihat Nana yang memeluknya erat. Seolah sudah lama tidak bertemu dengannya. Dia bahagia. "Nana ganti baju dulu sana! Habis itu kita makan siang ya!" ucap Ella. Nana mengangguk antusias. "Tapi ganti baju sama Mommy." "Sama Mbak Rum aja ya? Mommy belum selesai nyiapin makan siang." Nana berdecak kecewa. Bocah itu memanyunkan bibirnya. Masih memeluk pinggang Ella erat. "Nana mau sama Mommy," lirihnya. "Nana. Mommy lagi sibuk. Nana sama Mbak Rum aja. Ayo sana!" Nana menggeleng lemah. "Nana pengen digantiin baju sama Mommy Nana. Nana selalu sama Mbak Rum. Nana pengen kayak temen-temen yang disayang sama Mommynya," ucap Nana sedih. Matanya berkaca-kaca menatap Ella. "Mama! Ella pulang!" Ella kecil masuk ke dalam rumah mencari-cari sosok sang mama. Sambil berlari-lari riang, Ella menuju ke ruang tengah. Tempat dimana mamanya biasa duduk santai sambil membaca majalah. Wajahnya langsung semringah begitu melihat mamanya sedang merangkai bunga di ruang tengah. Dengan ceria Ella menghampiri mamanya. "Mama! Mama lihat ini! Ella tadi pelajaran gambar dapat nilai A. Bagus kan, Ma?" Ella kecil menunjukkan buku gambarnya pada mamanya. Namun wanita itu tidak menoleh sedikitpun. Dia malah asyik merangkai bunga. Sesekali bersenandung riang. Merasa tak mendapatkan respon, Ella menarik-narik kecil ujung baju Mamanya. kembali menunjukkan buku gambarnya. "Mama! Lihat ini. Ella dapat nilai A!" Mamanya masih saja tidak memperdulikannya. Ella kecil terus mencoba mengalihkan perhatian sang mama namun gagal. Ella pun putus asa. Dengan wajah kecewanya, anak itu berjalan meninggalkan tempat dimana ibunya merangkai bunga. Bermaksud untuk masuk ke kamarnya. Namun tanpa sengaja Ella menyenggol vas kristal yang ada di meja hingga jatuh dan pecah berkeping-keping. Ella terkejut saat itu. Sang mama langsung menjerit. Vas kesayangannya yang dia beli saat liburan ke Venice tahun lalu hancur. "Kamu! Selalu kamu! Kamu tidak bisa membiarkan saya hidup tenang! Kamu sudah menghancurkan hidup saya! Kamu hancurkan semuanya! Anak sialan!" Maki wanita itu pada Ella. Wanita itu menatap Ella marah. Gadis kecil itu ketakutan saat mamanya memarahi dan membentaknya. Ella yang kecil dan lemah tidak mampu berbuat apa-apa selain menangis. Bocah itu tidak pernah tau kenapa dia selalu mendapat kemarahan Mamanya. Tidak pernah sedikitpun wanita itu bersikap manis padanya. Seringkali Mamanya mengacuhkannya. Tidak pernah menganggapnya ada. Padahal anak itu hanya ingin disayang. "Nana..." lirih Ella. Ella memeluk Nana erat saat kilasan masa kecilnya terbayang di depan matanya. Mengusap-usap rambut Nana dengan lembut. "Ada Mommy disini. Nana nggak sendirian. Ada Mommy yang sayang sama Nana." Nana mengangguk dalam pelukan Ella. "Iya Mom. Nana tau Mommy sayang Nana." Ella melepas pelukannya. Lalu merapikan rambut Nana yang berantakan karena kuncirannya tadi pagi sudah lepas. "Nana mau digantiin baju sama Mommy?" Nana mengangguk cepat. "Mau Mom." Ella tersenyum tipis. Melihat Nana, seperti melihat bayangannya sendiri saat kecil. Nana juga tidak pernah merasakan kasih sayang seorang Ibu. Nana senasib dengannya. Bedanya Ella punya Ibu tapi tidak pernah merasakan kasih sayang Ibunya. Ibunya hanya menyayangi Rosa saja. Begitu pula ayahnya. Tidak pernah sekalipun berbicara atau menyapanya. Berbeda sekali dengan mereka memperlakukan Rosa. "Kita ke atas yuk!" ajak Ella lembut. Gadis itu membimbing Nana untuk masuk ke kamarnya. Meninggalkan pekerjaannya menyiapkan makan siang. Biarlah urusan Bu Rani nanti saja, pikirnya. Toh nanti jika nenek sihir itu mengoceh, Ella hanya perlu menyumpal telinganya dengan headset. *** Ella mengecup dahi Nana saat anak itu tertidur pulas. Baru saja dia membacakan buku dongeng untuknya, tapi Nana sudah lebih dulu terlelap. Sepertinya anak itu begitu lelah dengan kegiatannya di sekolah. Nana ternyata anak yang cerewet dan banyak bicara. Ella kira dia anak yang pendiam dan tidak banyak tingkah. Tapi nyatanya Nana sangat aktif. Dan juga cerdas. Dia cepat menangkap apa yang diajarkan dan dibicarakan oleh Ella. Ella menghela nafas panjang. Seharian ini tubuhnya begitu lelah. Mulai dari memasak, menemani Nana bermain, berenang, belajar, memandikan Nana dan membacakan Nana dongeng sebelum tidur.Gadis itu terkikik sendiri menyadari dirinya yang sudah seperti seorang ibu sungguhan. Tidak menyangka dia bisa dekat dengan Nana. Mengingat begitu antipatinya dulu dia pada Nana. Nana anak yang sangat manis. Ella tidak memungkiri kenyataan. Jika ada rasa hangat di dalam hatinya saat gadis kecil itu memanggilnya Mommy. Ada perasaan bahagia saat mendengarnya. Nana menganggapnya Mommynya. Mommy yang menyayanginya. Mommy yang bisa melindunginya. Ella mengelus kepala Nana dengan lembut sementara anak itu sudah jauh ke alam mimpi. Dalam hatinya dia berharap nantinya Rosa bisa menjadi ibu terbaik untuk Nana. Ah. Tentu saja. Pasti. Mengingat bagaimana dekatnya Nana dengan Rosa. Bahkan Nana sudah memanggil gadis itu dengan sebutan Mommy. Bisa dibayangkan bagaimana dekatnya mereka. *** "Nana sudah tidur?" Suara berat itu sukses mengagetkan Ella. Hampir saja gadis itu terjatuh dari sofa saking kagetnya. Baru saja dia akan merebahkan diri di sofa, berniat segera beristirahat karena badannya yang sangat pegal. Tapi suara Aliandra langsung mengagetkannya. Gadis itu menatap kesal pada Aliandra yang sepertinya baru selesai mandi. Tanpa berniat menjawab pertanyaan Aliandra, gadis itu langsung meringkuk di sofa dan menarik selimut sebatas lehernya. Bersiap untuk tidur. "Tidurlah di ranjang. Biar saya yang tidur di sofa!" ucap Aliandra. Ella pura-pura tidak mendengar dan memejamkan matanya."Ella! Tidurlah di ranjang!" Aliandra kembali berucap. Tapi sedikitpun Ella tidak menanggapinya. Ella memekik kaget karena merasa tiba-tiba tubuhnya melayang di udara. Begitu membuka mata, tatapannya beradu dengan mata bening Aliandra. Ella langsung berontak saat tau Aliandra menggendongnya. Tidak sudi dia bersentuhan dengan monster kejam itu. "Hei! Lepasin saya! Tuan lepas!" ucap Ella terus berontak dari gendongan Aliandra. "Kalau saya lepas kamu jatuh. Jadi diamlah!" ucapnya tajam. Ella pun terdiam seketika. Membiarkan Aliandra menggendongnya. Lalu merebahkan dirinya di ranjang besarnya yang empuk. Gadis itu sempat mencium aroma red wood dari leher Aliandra saat pria itu merebahkan dia di ranjang. Wanginya membuat tubuh Ella terasa hangat. Atau... pelukannya kah yang membuat Ella merasa hangat? Buru- buru Ella mengenyahkan pikiran itu dari kepalanya. Gadis itu menatap Aliandra sebal. Langsung melengos dan membenarkan bantal di bawah kepalanya. "Makasih." Ella tertegun. Bukannya harusnya yang mengucapkan itu pada Aliandra. Karena pria itu mengizinkannya tidur di ranjangnya. Sedangkan dia menggantikan Ella tidur di sofa? Tapi kenapa? "Makasih kamu sudah merawat Nana dengan baik hari ini. Saya belum pernah melihat Nana seceria ini sebelumnya. Tapi saat melihat senyumnya saat kalian berenang tadi, saya sangat bersyukur. Terima kasih sudah baik pada putri saya," ucap Aliandra pelan. Lalu berbalik menuju sofa dan merebahkan dirinya disana. Ella terkesima mendengar suaranya yang lembut. Baru pertama kalinya Aliandra berucap selembut itu padanya. Biasanya hanya ancaman, makian atau kata-kata sinis dan dingin yang pria itu lontarkan padanya. Ella menarik sudut bibirnya sedikit. Namun sedetik kemudian dia melongo. Aliandra melihatnya dan Nana sedang berenang tadi sore. Aliandra melihatnya dan Nana berenang. Aliandra melihatnya. Apa? Aliandra melihatnya? Di kolam renang? Dengan bikini seksinya tadi? Ella menutup mulutnya syok. Gadis itu menatap Aliandra yang sedang berbaring dan menutup matanya di sofa. Monster itu melihat tubuhnya? Seketika Ella langsung menyesal. Kenapa tadi dia memakai bikini sialan itu. Karena Nana mendesaknya untuk menemaninya berenang, Ella pun tanpa pikir panjang langsung mengambil bikini di lemari di kamarnya. Dia juga tidak tau bikini milik siapa. Lalu langsung memakainya begitu saja. Karena dia pikir di rumah tidak ada laki-laki. Tapi ternyata dia salah. Ingin rasanya dia menangis karena malu. Pasalnya bikini yang dia kenakan tadi sore begitu seksi. Hingga separuh Dadanya terlihat. "Ella!" Ella langsung menoleh pada Aliandra yang ternyata sedang membuka matanya. Menatapnya jahil. "Lain kali jangan pakai bikini lagi saat berenang sama Nana. Nggak cocok bikini itu kamu pakai dengan tubuh kamu yang tepos itu. Bikin mata saya sakit," ledek Aliandra. Ella menganga tak percaya saat Aliandra mengucapkan kata-kata itu. Dia melihat badannya sendiri. Lalu memandang penuh dendam pada Aliandra yang sudah kembali memejamkan matanya. Enak aja dibilang tepos, gue seksi tau, batinnya berkata. Tidak terima dia dikatakan berbadan tepos. Dengan menahan amarah, Ella pun membanting tubuhnya ke ranjang. Lalu memejamkan mata. Berharap dalam tidurnya dia bertemu Aliandra. Dan memberi pelajaran pada mulutnya yang sadis itu. Setidaknya dia bisa menghajar Aliandra dalam mimpinya
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD