Tengah malam, Ella terbangun dengan rasa haus yang sangat. Sembari merapikan rambutnya membentuk cepol, gadis itu keluar dari kamarnya dan masuk ke dapur. Ella mengambil air putih dingin dari dalam kulkas dan menuangkannya ke dalam gelas yang dia bawa. Meneguknya untuk menghilangkan haus. Ella menutup kulkas lalu menyenderkan kepalanya yang agak pening ke pintu kulkas. Tinggi kulkas itu memang melebihi tingginya. Kali ini dia bersyukur memiliki tubuh mungil. Jadi bisa bersandar di mana saja seenaknya.
Gadis itu menutup matanya. Mencoba mengistirahatkan pikirannya. Semalaman dia merenung memikirkan hidupnya yang kini semakin buruk. Terjebak di rumah mewah bersama seorang monster kejam. Cobaan terberat untuknya. Mungkin jika dulu dia menganggap tinggal bersama keluarganya adalah masalah paling berat dalam
hidupnya, dia salah.
Karena ternyata kini menjadi seorang istri dari Aliandra Adrian sangatlah buruk. Ella bingung, takut, sedih dan sendirian.
Tidak bisa berpikir apa-apa seperti orang yang sedang tersesat di tempat yang sangat asing. Tidak bisa kemana-mana karena terikat pada pria itu. Ella mendesah lelah. Ya dia benar-benar lelah. Sudah cukup dia menderita ini. Tidak lelahkah tuhan mengujinya selama ini? Baru saja dua tahun dia merasakan kebebasan.
Ella berpikir sampai kapan dia akan hidup seperti ini. Mungkin sampai Rosa kembali. Setelah itu dia bisa bebas. kembali ke Sydney seperti keinginannya.
Ella menghela nafas panjang. Benar-benar berharap hari itu segera tiba. Keinginannya hanya satu, terbebas dari monster bernama Aliandra.
Ella membuka matanya perlahan. Gadis itu memekik kaget saat tiba-tiba sesosok tubuh laki-laki ada di hadapannya. Aliandra menatapnya bingung. kenapa gadis ini, pikirnya. Ella mengurut Dadanya pelan. Memandang Aliandra sebal. Monster ini benar-benar bisa membuatnya mati perlahan.
Aliandra mendengus melihat tatapan sebal Ella. Lalu membuka kulkas di belakang Ella dengan acuh, tanpa permisi.
Membuat tubuh mungil Ella terdorong pintu kulkas dan menubruk meja makan yang memang letaknya tidak jauh dari
kulkas.
Ella mendesah kesakitan. Menatap Aliandra tajam. "Bilang-bilang dong kalo mau buka kulkas!" bentaknya kasar.
Aliandra menatapnya sinis. "Salah sendiri ngapain berdiri disitu? Emang saya yang nyuruh?" balasnya enteng.
Ella pun geram. Gadis itu memandang Aliandra penuh dendam. "Ya tapi kan bisa ngomong dulu. Suruh saya minggir, kek. Atau bilang permisi, gitu!" Balas Ella tak mau kalah.
Aliandra tak menggubrisnya. Meneguk sekaleng soft drink yang dia ambil dari kulkas. Menghabiskannya setengah.
Tanpa menghiraukan tatapan penuh dendam Ella padanya, Aliandra berlalu kembali ke kamarnya. Ella mengepalkan tangannya menahan amarah. Dalam hatinya dia memaki Aliandra habis-habisan.
***
Suara ketukan pintu kamarnya membuat Ella mengeram. Baru saja beberapa jam dia tidur setelah bangun tengah malam tadi. Dia tidak bisa tidur. Tapi baru juga dia bisa memejamkan matanya dengan damai, dia sudah diganggu lagi.
Mengacak rambutnya frustasi, Ella turun dari kasurnya. Bergegas beranjak menuju pintu untuk melihat pelaku yang mengganggu tidurnya. Seorang wanita tua berdiri di depan pintu kamarnya. Tersenyum lembut pada Ella. Senyuman menenangkan layaknya seorang ibu yang tersenyum pada putrinya.
Ella pun urung marah. Perasaan kesalnya mendadak hilang seketika. "Non Ella baru bangun? Maaf ganggu, non. Ada tamu di luar," ujar Mbok Inah.
Ella mengerutkan dahinya. Tamu? Perasan dia tidak punya teman di jakarta. Apa mungkin tamunya Aliandra. Tapi kenapa dia yang dicari. Tak mau berlama-lama berpikir, Ella pun berjalan keluar kamar.
Menuju kamar mandi yang ada di dekat dapur. Lalu membasuh wajah dan mengganti baju. Kaos oblong dan hot pants dia kenakan.
Saat gadis itu melangkah menuju ruang tamu, suara tawa Nana terdengar di telinganya. Ella melihat sosok seorang wanita yang duduk memunggunginya di sofa ruang tamu. Memangku Nana sambil mengobrol dengan anak itu.
Ella berdehem pelan agar dua orang yang sedang seru mengobrol itu menyadari kehadirannya. Si kecil Nana yang terlebih dahulu menoleh. "Aunty!" Bocah kecil itu bangun dari pangkuan wanita itu dan berlari berhambur memeluknya.
"Aunty udah bangun? Nana tadi ke kamar Aunty tapi Aunty masih tidur."
Ella mengelus lembut pipi Nana. "Nana nyari Aunty?"
Nana mengangguk cepat. "Nana mau minta Aunty temenin berenang. Daddy nggak jadi temenin Nana berenang. Daddy bilang ada urusan di kantor. Jadi Nana nyari Aunty," jelasnya.
Ella tersenyum pada Nana. Mencubit pipinya yang selalu membuat Ella gemas.
"Oh iya, Aunty. Ada granny. Itu Granny."
Ella termanggu menatap wanita yang disebut granny oleh Nana. Dia adalah ibu Aliandra. Yang berarti adalah mertuanya.
Wanita itu berdiri. Menatap Ella lama. Ella pun berjalan mendekat hendak menyapanya atau sekedar bersalaman.
Memposisikan dirinya sebagai menantu yang baik di depan mertuanya.
Meskipun pernikahannya dengan Aliandra sangat jauh dari kata baik. Dia hanyalah patung yang dinikahi Aliandra untuk menutup rasa malu karena sang pengantin yang sebenarnya kabur dari pelaminan. Tapi pandangan sinis dan meremehkan dari ibu Aliandra menghentikan langkahnya. Wanita itu menatap Ella dari atas ke bawah. Meneliti setiap jengkal penampilan gadis itu. Wanita itu mendengus. "Baru bangun, kamu?" sindirnya. "Nyonya Adrian, semalam saya-"
"Kehadiran seorang istri saya kira mampu membuat anak dan cucu saya jadi lebih baik," ujar Ibu Aliandra tajam.
"Kalau Nana masih dirawat Rumi, ngapain saya jadikan kamu mantu. Rumi juga bisa jadi mantu saya kalau begitu. Jangan
mentang-mentang kamu udah jadi nyonya rumah, kamu bisa malas-malasan. Suami sama anak nggak diurusin," cibirnya.
Ella tidak mampu membalas kata-katanya. Jadi gadis itu hanya menunduk. Mendengarkan berbagai celaan dari ibu mertuanya.
Nana menggenggam tangan Ella erat. Anak itu takut melihat neneknya memarahi Ella. Ibu Aliandra yang menyadari ungkapan kemarahannya membuat Nana ketakutan, segera memanggil Rumi. Menyuruh wanita itu membawa Nana.
Lalu kembali duduk di sofa, menghadap pada Ella, ibu Aliandra lagi-lagi mengeluarkan berbagai kata-kata pedasnya pada menantunya itu. Sedangkan Ella hanya berdiri diam sambil menunduk. Bukannya dia tidak berani membalas kata-kata menyakitkan ibu mertuanya. Dia diam karena menghormati Ibu Aliandra.
Berbeda lagi jika yang mengomel adalah ibunya sendiri. Ella tidak akan sungkan-sungkan membalas perkataannya tak kalah pedas.
"Mama?"
Ibu Aliandra yang dari tadi tanpa henti mengomel pun menoleh. Mendapati putranya masuk ke dalam rumah. Menenteng tas kerjanya.
"Loh, li. Kamu nggak kerja?" sapa ibu Aliandra pada putranya.
"Tadinya iya, Ma. Terus keinget Nana minta temenin berenang. Jadi Aliandra pulang."
Ibu Aliandra mendengus. Menatap Ella dengan pandangan mengejek. "Yang di kantor aja inget bela-belain pulang demi anak. Tapi yang di rumah malah asyik tidur-tiduran. Anak nggak diurus. Suami juga. Ibu macam apa kayak gitu!"
"Mama! Apaan sih!"
"Udah deh, Li. Wajar kalo kamu belain istri kamu. Tapi nggak baik kalo kesalahan dia ditutupi terus. istri kamu itu seenaknya sendiri loh, Li. Bisa ngelunjak kalo dibiarin."
Ella mengepalkan tangannya kuat-kuat. Dia sudah mencoba untuk bersabar tapi wanita itu terus saja mengoceh dan
menyudutkannya.
"Lihat itu pakaiannya. Dia pikir ini tempat tinggalnya dulu yang bebas dan nggak punya aturan. Pantesan orang Tuanya nggak mau ngakuin dia sebagai anak. Mereka pasti malu banget. Dia itu nggak pantes jadi ibunya Nana."
"Jangan asal bicara, nyonya! Kalau anda nggak tau apa-apa tentang saya! Asal anda tau, saya juga nggak mau punya orang tua seperti mereka. Dan lagi, saya nggak pernah jadi ibunya Nana. Jadi nggak
salah kalau saya bersikap nggak peduli sama Nana!" ucap Ella berani. Setelahnya gadis itu masuk ke dalam. kembali ke kamarnya. Mengunci kamarnya rapat. Gadis itu mengepalkan tangannya kuat-kuat.
Menahan rasa ingin menangis karena dia dihina habis-habisan oleh mertuanya.
Ella meraih bantal di kasurnya. Membantingnya ke lantai berkali-
kali. Mengungkapkan segala amarahnya. Hanya itu yang bisa dia lakukan untuk meluapkan perasaannya. Karena dia tidak mau menangis.
Menangis akan membuatnya lemah. Setelah lelah meluapkan amarahnya, Ella merosot jatuh terduduk di lantai. Memeluk kedua lututnya. Menyembunyikan wajahnya disana.Batinnya ingin berteriak. Memaki balik ibu mertuanya yang jelas-jelas sudah merendahkannya. Ibu dan anak sama saja, batinnya. Sekarang Ella tau bagaimana bisa ada orang seperti Aliandra.
***
"Mama nggak seharusnya ngomong kayak gitu sama istri Aliandra, Ma.
Ella sama Nana itu tanggung jawab Aliandra. Mama nggak usah ikut
campur!"
Rania berdecak. Menatap kesal putra satu-satunya itu.
"Mama nggak akan ikut campur kalau kelakuan istri kamu bener.
Masa iya dia nggak peduli sama Nana. Maksudnya pernikahan kalian kan supaya Nana ada yang merawat. Ini malah Nana
dibiarin. Kelewatan istri kamu itu, Li!" Wanita itu terus mengomel.
Sementara Aliandra merebahkan tubuhnya di sofa. Memijat pelipisnya yang terasa pening. Kalau tau begini jadinya, lebih baik tadi dia tidak usah pulang ke rumah. Aliandra memejamkan matanya sejenak. Membiarkan ibunya berbicara panjang lebar mengenai pernikahannya. Tak henti-hentinya wanita itu mencari-cari kekurangan Ella.
Mengingat gadis itu timbul suatu perasaan bersalah dalam hatinya. Ella benar. Dia tidak pernah menjadi ibu bagi Nana,
putrinya. Aliandra tidak pernah memperlakukan Ella seperti selayaknya srorang istri. Seorang ibu untuk Nana. Bahkan Aliandra mengakui jika dia melakukan banyak kesalahan pada Ella. Memaksanya menikah dengannya. Meskipun tidak secara langsung. Memang orang tua Ella yang menawarkan. Tapi jika Aliandra tidak menyetujuinya, Ella tidak akan ada disini sekarang.
"Mulai hari ini Mama akan tinggal disini. Mama mau mengawasi istri kamu itu. Kali aja dia berani kasar sama Nana. Melihat penampilannya yang urakan itu!" ucap Rania ketus.
Membayangkan bagaimana penampilan Ella yang jauh dari kata sopan dan feminim membuatnya mencap gadis itu sebagai gadis yang tidak baik. Bagaimana bisa Ella memakai kaos menerawang dan celana separuh paha dan berkeliaran di rumah yang meskipun tidak ada laki-laki kecuali Aliandra, suaminya. Wanita itu tidak bisa membayangkan jika nantinya Nana tertular kebiasaan Ella. Rania bukannya tidak tau tentang pergaulan bebas di luar negeri.
Tadinya saat Aliandra meminta ijinnya untuk menikahi Ella di jam-jam terakhir menuju pesta pernikahannya, Rania sudah melarang. Tapi Aliandra bersikeras.
Dia sebenarnya juga malu jika seandainya pernikahan Aliandra batal.
Pernikahan pewaris tunggal bisnis perhotelannya gagal. Nama baik
mereka akan tercoreng. Dan akan berdampak buruk pada bisnis mereka.
Akhirnya dengan banyak pertimbangan, Rania pun memberikan restunya.
Aliandra bangkit dari sofa. Mengambil tasnya yang ada di sampingnya. Lalu berniat masuk ke kamarnya.
"Li, kamu setuju kan mama tinggal disini?" tanya ibunya.
Aliandra menghela nafas panjang. "Terserah mama," jawabnya.
***
Aliandra mengetuk pintu kamar Ella dengan pelan. Tadi Mbok Inah memberitahunya kalau Ella tidak mau ikut makan malam di meja makan bersama Aliandra, Nana dan ibu mertuanya. Gadis itu beralasan tidak enak badan. Sehingga Mbok Inah yang mengantarkan makanannya ke kamarnya. Aliandra tau itu hanyalah taktik Ella agar bisa menghindar dari ibunya. Aliandra yakin gadis itu pasti masih sakit hati pada ibunya. Pastilah Ella
sakit hati. Aliandra juga merasa ibunya sedikit keterlaluan pada Ella.
Aliandra terus mengetuk pintu kamar Ella. Meskipun tidak ada sahutan apapun pada si empu pemilik kamar. Tapi Aliandra yakin Ella mendengarnya. Pria itu tau nanti pasti Ella akan membuka pintu kamarnya saat sudah merasa kesal karena suara ketukan di pintu kamarnya tidak juga berhenti.
Benar saja, selang beberapa menit kemudian, pintu kamar Ella terbuka. Gadis itu keluar dengan wajah masamnya. Melengos saat matanya bertemu dengan mata Aliandra.
"Kamu sudah makan?" tanya Aliandra datar.
"Ngapain nanya-nanya?" balas Ella ketus.
"Mbok Inah bilang kamu nggak enak badan. Sakit?" "Sakit hati!" ucap Ella kesal.
Aliandra menghela nafas pelan. "Maaf kalau kata-kata mama saya menyinggung kamu. Saya benar-benar minta maaf."
Ella tercengang. Dia mendongak menatap Aliandra tidak percaya. Monster itu bilang maaf. Oh my god! Sepertinya Ella perlu menandai hari ini.
"Saya tau ucapan Mama saya memang keterlaluan. Tapi saya harap
kamu nggak masukin ke dalam hati. Karakter mama memang seperti itu. Cerewet tapi sebenarnya dia penyayang," ujar Aliandra.
Ella diam saja tidak menjawab. Cerewet ya cerewet aja, nggak usah pake embel-embel karena sayang, batinnya. Basi.
"Ella... kamu mau maafin mama saya, kan?" tanya Aliandra karena gadis itu tidak menanggapi ucapannya sedikitpun.
Ella menghela nafas kasar. Melempar tatapan kesal pada Aliandra.
"Oke. Sekali ini saya maafkan. Tapi lain kali tolong bilang sama Nyonya Adrian untuk menjaga ucapannya!" ucap Ella tajam.
Aliandra mengangguk. Ella pun berbalik. Akan menutup pintu kamarnya. Tapi Aliandra menahannya.
"Ella!"
Gadis itu berdecak kesal karena Aliandra menghalanginya menutup pintu dengan kakinya.
"Apa lagi sih!" bentaknya tak tahan. Seharian dia sudah tidak bisa menahan diri untuk meluapkan amarahnya.
Aliandra menunduk. Pria itu diam sejenak. Terlihat sedang bimbang. Ella yang melihatnya pun mengernyit bingung.
"Mulai hari ini, Mama saya akan tinggal disini," ucapnya.
Mata Ella membulat kaget. "What??" pekiknya. Nenek sihir itu akan tinggal disini? Kemungkinan mereka akan bertemu tiap hari dong?
Monster Aliandra saja sudah membuatnya makan hati. Apalagi ditambah dengan kehadiran nenek sihir? Bisa tamat hidupnya.
"Dan..." Aliandra memutus kata-katanya.
Ella memandangnya was-was. Firasatnya sungguh tidak baik sekarang. Pasti akan ada bencana yang lebih besar lagi dari ini. "Mulai malam ini, kamu pindah ke kamar saya. Biar Mbok Inah yang kemasi barang-barang kamu!"
Tubuh Ella langsung lemas. Kill me pleaseee, batinnya.