01. Inginnya Sih Amnesia

1366 Words
01.      Inginnya Sih Amnesia. “Kalau bisa, saya tak akan melamar pekerjaan di sini.” -Para korban senyum palsu.     BEKERJA  di tempat yang menyenangkan dan pas adalah  hal yang paling diinginkan oleh sebagian besar orang di dunia. Apalagi mendapat teman dan bos yang baik hal itu sudah menjadi Surga sendiri. Sangat disayangkan teruntuk perempuan lulusan SMA ini. Ingin sekali ia resign dari kantor dan pekerjaan yang telah ditekuninya selama kurang lebih dua tahun. Tempat nyaman juga teman yang sangat baik kepada dirinya serta gaji yang sangat disayangkan jika harus resign. Takut jika nanti dirinya resign dan tak mendapat kantor yang lebih baik malahan mendapat yang lebih buruk. Cukup berbahaya berada di jalan yang tidak pasti.             Alasan perempuan tersebut ingin resign adalah bos itu sendiri. Orang yang mengenal sisi luar bos bernama Laksana Adiputra Nangun Guna -astaga namanya panjang sekali- pasti mengira bos tesebut penuh wibawa, tampan, kaya, baik, pintar dan banyak lagi hal-hal positif lainnya. Tapi ketahuilah, semua karyawan dan staf mengetahui seberapa menyebalkan dan menjengkelkan bos yang sering dipanggil dengan ‘Pak Sana’.             Puput Trianjani. Menjadi sekretaris -babu- Sana selama kurang lebih dua tahun. Ia sudah melihat banyak tingkah laku aneh dan tak lazim dari atasannya tersebut. Malah banyak yang mengatakan bahwa Puput sudah terjangkit penyakit Sana Gila. Waktu pertama kali bertemu dengan Puput, beliau sudah menunjukkan betapa anehnya calon bosnya tersebut. Ketika Puput awal melamar  pekerjaan di kantor Sana.             Puput kala itu diam menunggu di bangku tamu depan receptionis  menunggu namanya dipanggil ke ruang bos. Keringat dingin mulai mengucur deras. Kedua tangan mungil Puput bergetar. Tiba-tiba saja perutnya menjadi mules. Penyakit apakah ini namanya?? Gejalanya biasa muncul ketika saat-saat tegang seperti sekarang. Puput takut akan ditolak seperti sebelumnya di kantor lain karena faktor lulusan SMA. Banyak yang menolak ketika mengetahui Puput hanyalah seorang lulusan SMA. Ia berharap wawancara ini adalah yang terakhir. Saat namanya dipanggil oleh seorang perempuan yang baginya sangat ramah untuk berhadapan dengan sang bos, Puput berjalan sambil merapalkan ayat-ayat doa. Ketika sampai pada sebuah pintu geser layaknya yang sering ada di negera Jepang-Puput mengetahuinya karena sering menonton film action serta animasi dari Negara Matahari Terbit- Puput menggesernya dengan susah payah akibat tangan yang bergetar hingga memunculkan suara sedikit berdecit. Hawa AC semakin membuat bulu romanya berdiri. Dingin sekali di ruangan ini, apa tidak terlalu bahaya menyalakan AC dengan suhu yang dingin di musim tak menentu seperti sekarang?             “Permisi Pak …” Puput sedikit melirik kepada nama yang tertera di meja tersebut.             “Laksana Adiputra Nangun Guna,” guman Puput pelan.             Lelaki bersetelan hitam tersebut mendongak, wajahnya memang tampan tetapi ekspresinya membuat Puput menelan salivanya perlahan. Puput sangat takut. Tatapan calon bos Puput sangat mengerikan seperti akan menerkamnya saat itu juga.             “Saya Pu-” ucapan Puput terpotong oleh suara Sana padahal Puput ingin memperkenalkan diri.             “Saya kira siapa. Kamu diterima disini, selamat bekerja.” Puput melongo, tak mengerti dengan ucapan calon bosnya. “Maksudnya Pak? Saya belum memperkenalkan diri dan juga saya ini lulusan SMA lho Pak,” Puput memperjelaskannya secara terang-terangan dengan nada menekan di akhir kalimatnya.             “Memangnya kenapa kalau kamu lulusan SMA? Kamu tidak mau saya terima bekerja disini, yasudah saya tidak memaksa.”             “Eeeh iya Pak saya mau. Mau banget malahan. Terimakasih Pak.”             “Kamu sudah boleh bekerja dari sekarang atau besok, terserah kamu.” Puput mengerutkan kedua alisnya, cukup terkejut dengan aksi wawancara di kantor ini. Pertama kalinya Puput mendapatkan perlakuan yang sangat sederhana dari seorang calon bos. “Kenapa?” tanya Sana kini dengan tatapan mata yang beradu dengan bola mata Puput. Puput menggeleng lalu menunduk. “Saya permisi Pak, terimakasih.”             Puput kira itu adalah berita bahagia untuknya tetapi ternyata tidak. Perempuan yang menurutnya ramah kala itu sebenarnya adalah kepalsuan semata agar Puput mau bekerja di Neraka yang sama dengannya. b******k memang. Mawar namanya seperti penjual bakso borax. Mereka kini menjadi sangat akrab sejak saat itu. Mungkin karena nasih yang memperihatinkan mempertemukan mereka yang selalu curhat bersama.             “Bengong mulu! Kerja yang bener kalau tidak, saya denda sejuta!” ujar Sana yang datang entah darimana, membuat dunia hayalan Puput seketika bubar ambyar. Puput hanya menanggapi dengan senyum -yang terpaksa- kepada bosnya. Untuk senyum ini, Puput sudah menguasainya dari pelatihan selama dua tahun dengan Mawar.             “Cara main PUBG gimana ya?” tanya Sana sedikit berbisik. Padahal tidak ada siapapun di dekat mereka.             “Maaf Pak, saya nggak pernah main itu.”             “Kudet kamu.” Sana pergi ke ruangan pribadi miliknya yang tak jauh dari meja Puput setelah mengucapkan kata tersebut. Puput hanya menganga lebar oleh ucapan yang dilontarkan oleh Sana. Walau sudah biasa tetap saja Puput belum terbiasa dengan segala keanehan sang bos. “Lo juga kudet b**o!!! Arghhh pengen amnesia gue!!!” teriak Puput sedikit frustasi setelah Sana benar-benar masuk ke ruangannya. Bisa gawat jika lelaki tinggi seperti tiang listrik itu mendengarnya.   ***   Jam makan siang tinggal menghitung menit saja. Kumpulan karyawan yang dekat dengan Puput, menghampiri mejanya. Ada Bagas si staf utama, lumayan tampan dan mapan. Aneh ya, orang seperti dia mau bekerja dengan Sana. Lalu ada Tora, datang jauh-jauh dari Makassar dan terjebak di penjara dengan latar Surga. Umurnya tentu lebih tua dari Puput beberapa tahun. Selain dua lelaki itu, masih ada Mawar dan Mita.             Masih ingat dengan Mawar? Ya, si receptionis dengan senyum ramahnya itu. Jika diperdalam lagi, Mawar orangnya sangat asik jika diajak mengobrol. Walau sudah memiliki dua orang anak, tetapi Mawar masih terlihat sangat muda dan sepantaran dengan Puput yang berumur duapuluh dua tahun. Satu lagi Mita, anak magang dari bulan lalu yang memiliki kecepatan bicara melebihi cepatnya jatuh air hujan ke bumi. Mita pernah mengatakan, jika masa magangnya selesai ia tak akan ingin menjadi karyawan tetap di kantor ini. Sangat beruntung bagi seorang Mita.             “Kita mau makan di mana? Ada yang udah punya janji nggak nih?” tanya Bagas yang duduk di meja Puput.             Mita, Mawar dan Tora melirik ke arah Puput. “Apa?” tanya Puput ketika mengetahui sedang dipandangi oleh orang sekelilingnya.             “Recommend makanan dari lo biasanya enak, Put,” jawab Mawar sebagai perwakilan dengan mata berbinarnya sangat tampak wanita ini sedang kelaparan.             “Yaudah biar cepet makan di warung pojok itu gimana?? Enak trus murah pula. Cocok buat kita yang sedang di fase tanggal tua.” Mereka berempat tersenyum puas. Memang cocok Puput menjadi pemandu mereka.             Ketika semua sudah bersiap membawa dompet serta tas masing-masing, suara yang membuat mereka harus berbalik menghentikan langkah lima anak penganut Sana.             “Kalian mau kemana??” tanya Sana.             “Makan Pak,” jawab Puput. Karena kedekatan Puput dengan Sana, semuanya sudah mengandalkan Puput jika menyangkut dengan bos menyebalkan itu.             “Oh yuk saya ikut, ke kantin kan?” Bagas, Tora, Mawar, Mita serta Puput saling melempar pandang. Mereka menghela napas sejenak lalu mengangguk. “Iya Pak.”             Batalah kesempatan mereka untuk mencari udara segar. Sebenarnya memang ada kantin di kantor ini tetapi mereka hanya malas saja jika makan pun masih di wilayah kekuasaan Sana.             “Gue jadi lupa penampakan kantin kantor kita kayak gimana,” bisik Mita.             “Sama, gue juga. Kita jarang makan di kantin sih,” balas Tora.             Sana berjalan mendahului dan mencari tempat duduk yang kosong. Tak di cari pun pasti ada. Seperti biasa, suasana kantin sangat sepi. Entah makanannya yang tidak enak atau jarang ada yang pergi ke kantin dan malah membawa bekal atau lebih memilih pergi ke luar.             “Wah tumben ramai, kalian mau makan apa??” tanya seorang wanita paruh baya. Senyumnya terlontar ketika melihat ada yang datang ke tempatnya.             “Saya nggak makan Buk, mereka aja,” jawab Sana yang membuat lima anak buahnya itu berjengit.             “Nih orang kenapa dah?” tanya Mita berbisik.             “Lo kayak anak baru aja deh.”             Puput tak menghiraukan yang lainnya. Tiba-tiba saja ia malas untuk memberikan komentar. Mungkin karena saking laparnya. Puput duduk terlebih dahulu dan diikuti oleh empat orang lainnya.             “Buk gado-gado ada nggak?” tanya Puput.             “Ada kok, minumnya apa?”             “Air putih biasa saja.” Puput beralih pada empat temannya yang masih bengong.             “Kenapa? Kalian nggak makan?”             “Saya samain aja sama Puput ya Buk.”             “Saya bakso, ada gak Buk?”             Satu persatu dari mereka memesan makanan kecuali si bos tercinta. Bos tersebut hanya duduk dengan gaya khasnya, satu kaki terangkat diletakkan di atas paha.             “Saya nggak ngelarang kalian makan di luar tapi ingat dengan kantin ini. Kasihan Ibu itu. Makanan di sini nggak kalah enak sama yang di luar,” ujar Sana dengan suara rendah lalu pergi meninggalkan lima orang yang menatapnya bingung.             “Tuh bapak ngapa ya?” tanya Bagas. Keempat lainnya mengendikkan bahu. Mereka juga belum mengerti pola pikir milik bosnya. Kecuali Puput, mungkin. Tapi ia lebih memilih diam sambil memainkan ponselnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD