02. Apa Yang Salah?

1082 Words
02.      Apa Yang Salah? “Bukannya saya menolak, tapi itu menjijikan Pak!” -Puput Trianjani.     “PUP  tolong fotocopy rangkap lima,” suruh Sana kepada Puput.             Puput mendongak lalu menemukan bosnya yang sedang menjulurkan beberapa lembar kertas. Ia tersenyum simpul seraya mengambil kertas tersebut dari tangan Sana.             “Baik Pak, tapi apakah bisa jika Bapak ingin memanggil saya dengan singkat memakai nama Put daripada Pup? Saya merasa tidak enak mendengarnya.” Sana menaikkan sebelah alisnya, “Memangnya kenapa? Pup itu seperti nama artis luar negeri yang ganteng itu, Charlie Pup!”             Puput tampak berpikir sejenak. Tak lama otaknya merespon sesuatu yang salah. Puput meremas ujung roknya. Ia tak suka jika salah artis idolanya disebut-sebut seperti itu. Rasanya begitu menjijikkan. Lagian Sana sebelum berbicara, ucapannya nggak disaring telebih dahulu jadilah seperti ini.             “Itu Charlie Puth Pak, pakai t dan h.” Puput mencoba membenarkan, tetapi lelaki yang selalu bersetelan hitam tersebut tak terima jika disangka salah. Hukum perempuan selalu benar tidak berguna kepadanya, di kantor ini hukum bos selalu benar yang berlaku. Sana mengerutkan keningnya, “Terserah saya. Terus kamu manggil saya Bapak padahal saya nggak pernah nikah sama Ibu kamu saya nggak apa-apa tuh.”             “Iya deh Pak, saya mau fotocopy dulu.” Puput tak mau memperpanjang dan memperburuk harinya lagi. Ia segera melarikan diri dengan mengatakan pergi ke tempat fotocopy yang berada di lantai bawah. Tetapi Sana menghentikan langkah Puput karena berucap, “Hati-hati pake mesin fotocopynya, mahal itu.”             Puput semakin memperdalam senyumannya, “Iya Pak, saya akan merawatnya seperti anak sendiri.”             Sepanjang perjalanan menuju lantai bawah Puput membentak pada dirinya sendiri. Ia mengoceh dan hanya membuang  waktunya saja. Banyak yang melihatnya dengan gelengan kepala. Mereka tahu itu adalah ulah Sana. Siapa lagi?             “Pup, emang t**i? Emang gue e’ek gitu? Bodo amatlah gue punya bos kayak dia.” Pup-poop.   ***   Telepon kantor yang berdering begitu nyaring di siang hari membuat fokus Puput  teralihkan. Tanpa mengangkatnya saja Puput sudah tahu siapa yang berada dibalik panggilan tersebut. Puput menghirup oksigen sebanyak mungkin sebelum berbicara pada bosnya itu.             “Halo? Siang pak, ada yang bisa saya bantu?”             “Sekarang kamu siap-siap, kita ke rumah sakit,” suruh Sana melalui panggilan suara.             Puput mengerutkan alisnya, tidak mengerti, “Rumah sakit? Ada apa Pak?”             “Belum tua tapi sudah pikun.”  Puput menggigit bawah bibirnya seraya mengingat-ngingat.             “Kita akan menjenguk Pak Rudi, dia kan habis operasi ginjal.”             “Oh iya, saya baru ingat Pak. Baik saya tunggu di luar honey.”             Panggilan terputus secara sepihak. Puput segera mengambil tas dan merapikan beberapa berkas yang tercecer di meja kerja. Saat Puput sedang bersiap, Bagas lewat dengan secangkir kopi di tangannya. Suka sekali lelaki tersebut berkeliling di jam luang.             “Ngopi Bhang!” Puput mendongak lalu tersenyum simpul dan kembali berberes.             Bagas membentuk jarinya seperti lensa kamera persegi panjang dan menyipitkan mata. “Kalau dilihat-lihat lo cantik deh Put. Tapi gue heran ya, kenapa Pak Sana selalu bilang lo jelek???”             Puput menghentikan kegiatan beres-beresnya. Memakai cardigan polos berwarna abu dan duduk menghadap Bagas yang bertengger pada lemari dokumen. Jari Puput menunjuk wajah Bagas dengan tatapan serius. “Sekarang gue tanya sama lo. Lo ngerasa gak kalau lo itu ganteng?” tanya Puput. Bagas menyeringai, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali. Malu-malu oleh pujian tidak langsung yang dikatakan Puput.             “Bagi gue sih ya, ganteng enggak juga. Tapi banyak yang bilang gitu hehehehe.”             “Nah Pak Sana pernah gak bilang lo ganteng?” tanya Puput seraya memajukan tubuhnya. Bagas menggeleng. Senyumnya tak berkembang lagi, ia tak mengerti arah pembicaraan ini.             Puput mengangguk-anggukan kepalanya, “Pak Sana itu ngerasa dirinya paling wahhhh cetaaaarrr membaaahaaanaaa ...” Puput melebarkan tangannya dan berucap dengan suara yang berkobar ditambah tawa cekikikannya. “ … makanya dia bilang gue jelek. Gue udah tahu diri kok, Pak Sana nggak pernah muji orang makanya setiap ejekan dan kejelekan yang dia bilang adalah kebalikannya yag artinya gue itu cantik,” sambung Puput sambil tersenyum Pepsodent yang menampilkan gigi putih ratanya.             Bagas memberikan tepuk tangan sambil mengangguk. “Pantesan lo betah jadi sekretaris Pak Sana. Otak lo udah diracuni.” Puput mendelik. Menatap Bagas seperti akan memakannya hidup-hidup.             “Ampun deh. By the way lo mau kemana? Jam pulang masih sejam lagi kan?” tanya Bagas dengan matanya yang menerawang ke arah berkas-berkas yang tersusun rapi tak seperti biasanya pada jam segini.             “Kepo lo.”             “Yaudah.”             “Gue sama Pak Sana mau ngejenguk Pak Rudi di rumah sakit.”             “Dih dikasih tahu juga.”             “Ck! Buang waktu banget ngomong sama lo, minggir!”             “Dih ngambek. Selamat pacaran!” seru Bagas seraya melambaikan tangannya.             Puput yang sudah bejalan melewati Bagas kembali berbalik menuju tempat berdirinya Bagas. Lelaki itu harus mendapatkan ganjaran dari ucapannya tadi.             “Ngomong apa lo?!”             “Eeeh enggak-enggak kok becanda aja gue dong.” Puput mengepalkan tangannya membuat Bagas beberapa kali menelan ludah.             “Eh liat, Pak Sana manggil lo!” Puput terkesiap, ia otomatis langsung membalikkan badannya.             “Maaf Pak cuu-uuhh B A G A S?!”             Bagas berbohong padanya dan sekarang lelaki itu sudah berlari menjauh agar tak dipukul habis-habisan oleh Puput yang katanya waktu SMA terkenal dengan tonjokan mautnya.             “Hadehh gue pasti dimarahin Pak Sana gara-gara lama nih! Ngapain pula gue ngurusin si Bagas? Heran gue sama diri sendiri,” gerutu Puput sepanjang perjalanannya menuju parkiran. Benar saja, Sana sudah bertengger dengan pose mematikannya di depan Honey. Honey adalah sebutan untuk mobil hitam kesayangan Pak Sana.             “Maaf Pak, tadi ada sedikit masalah,” Puput menunduk, tak berani bertatap langsung pada bosnya.             “Saya potong gaji kamu.” Puput menggigit ujung bibirnya.             “Tapi bohong. Saya juga baru sampai sih.” Puput mendongak dan bernapas lega. Gajinya bisa terbuang sia-sia karena hal sepele seperti ini.             “Itu sepatu kamu bersih nggak?” tanya Sana memandang sepatu hak tinggi milik Puput.             “Bersih kok Pak, saya baru pake hari ini.”             “Dijamin nggak?”             “Iya Pak!”             “Yaudah, masuk.” Saat Sana memasuki mobil, Puput memutar bola matanya. Bosnya ini sangat sensitive mengenai kebersihan Honey.             “Pak Rudi itu donorin ginjal buat anaknya kan Pak?” tanya Puput setelah melewati parkiran.             “Iya, hebat kan dia?” jawab dan tanya Sana tanpa menoleh. Ia menitik fokuskan pandangannya ke jalanan.             “Iya, Pak.”             Hening menyelimuti mereka dengan backsound suara radio yang memutarkan lagu-lagu lawas.             “Pak kira-kira kenapa ya ginjal itu ada dua?” tanya Puput setelah keheningan yang cukup lama.             “Kamu kayak bocah cilik yang suka nanya-nanya mulu.” Puput mengulum bibirnya. Memang benar. Keponya kelewat batas. Apapun  bisa ia tanyakan kepada siapa pun yang berada di dekatnya. Merasa tak akan mendapat jawaban dan juga tak ingin terjawab, Puput memandang ke arah kiri yang menampilkan trotoar dengan tumbuh-tumbuhan rindang.             “Kalau satu, ganjil namanya,” jawab Sana setelah sekian lama hening. Puput menolehkan kepala kepada Sana, ia memandang wajah Sana yang masih kaku menatap jalan. Senyum Puput berkembang lalu menjadi tawa terbahak-bahak. “HUAA bener juga dong. Ganjil kalau satu.” Sana masih fokus menghadap jalanan. Ia menggelengkan kepalanya sesekali.             “Ckckck, humor kamu sangat receh.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD