@d.kaivan.n meminta untuk mengikuti Anda
Begitu bunyi pemberitahuan yang muncul di pop up, buat Ishana nyaris melempar ponsel saking kagetnya. Jangan bilang Kaivan yang ini adalah Kaivan yang itu? Maksud Ishana adalah pemilik mobil rusak, atau lebih tepatnya, pemilik dari mobil yang telah dia rusak. Untuk apa pria itu mengikutinya di i********:? Seperti kurang kerjaan saja, padahal urusan mereka hanya sebatas tukang ganti rugi dan orang yang dirugikan.
Dengan iseng Ishana mengintip isi akun Kaivan, sekaligus ingin memastikan apakah dugaannya benar atau justru salah. Nama Kaivan tidak hanya satu di dunia ini, bisa jadi yang mengikuti Ishana sekarang adalah Kaivan yang lain. Benar, kan? Tidak ada yang mustahil, tetap harus berpikir positif dulu selagi belum menemukan bukti. Nanti jatuhnya jadi fitnah kalau dugaan tersebut tidak berdasar.
Ternyata tidak di-privat dan hanya ada dua postingan di sana. Salah satunya adalah potret gedung berlantai tiga dengan logo Lentera Aksara, satunya lagi foto wanita mengenakan kebaya, berhijab, tertutup masker, dengan perkiraan usia 55 - 56 tahun. Tidak ada caption, kemudian saat mencari tahu di kolom komentar, Ishana mendapati beberapa respon berupa pujian dan doa. Seperti; sehat selalu, Tante ... cantik banget, Masya Allah ... Pak Kaiv, salam buat mamanya ... ibu awet muda banget ya, Pak Kaiv.
Terjawab sudah siapa wanita itu sekaligus terverifikasi sudah kalau akun ini benar-benar milik Danapati Kaivan Naradipta. Ishana jadi enggan menanggapi, untuk itu setelah rasa penasarannya terobati, langsung dia tinggalkan Instagramm dan beralih ke w******p. Grup kelas sedang heboh karena pengumuman judul sudah keluar. Harap-harap cemas Ishana mengunduh file berbentuk Excel tersebut, sambil berdoa di dalam hati semoga dari tiga judul yang diajukan, salah satunya ada yang diterima.
Di saat sedang fokus-fokusnya, konsentrasi Ishana langsung buyar kala mendengar notif pesan baru masuk. Melirik sekilas, ternyata itu berasal dari i********:, parahnya lagi yang mengirim adalah Kaivan. Pria ini tidak tahu waktu, kah? Nyaris pukul sembilan malam malah mengganggu orang. Ishana sampai memutar bola mata jengah memikirkan kelakuan tidak berfaedah Kaivan.
Kembali dia abaikan, kali ini Ishana memilih mode silent jaga-jaga kalau ada pesan susulan. Selanjutnya dia mengamati satu per satu dari ribuan daftar judul dalam file, membaca secara perlahan, teliti dan hati-hati. Jantung Ishana berdegup kencang pertanda gugup, agak sedikit takut kalau-kalau dia termasuk salah satu dari yang harus mengajukan ulang.
Ah, ketemu! Syukurlah judul Ishana ada di urutan 500 sekian. Itu berarti dia bisa lanjut ke tahap berikutnya. Membuat proposal skripsi lalu diseminarkan. Jangka waktunya tidak panjang, mudah-mudahan bisa selesai sebelum batas yang ditentukan. Ishana jadi bersemangat, suasana hatinya membaik berkat kabar baik.
Baru saja keluar dari grup kelas, Ishana menerima chat dari Kaivan. Pria ini masih gigih rupanya. Apa gerangan yang membuat dia sebegitu inginnya dibalas Ishana? Ada kabar penting, kah?
Danapati Kaivan Naradipta: [Malam, Shana, saya baru mengikutimu di Instagram.]
Setelah membaca, Ishana menahan tawa. Tawa sarkas. Informasi yang bermanfaat sekali. Dengan adanya pemberitahuan ini, apa Kaivan meminta Ishana untuk mengkonfirmasi dan mengikuti balik? Dia pria dewasa atau justru sebaya dengannya, sih? Sumpah, Ishana sering dibuat keheranan! Atau jangan-jangan, Kaivan sedang puber kedua? Ha, agak menakutkan kalau benar.
Ishana: [Malam, Mas. Saya baru lihat pemberitahuannya. Ada kepentingan apa di i********:? Pembahasan ganti ruginya di sana juga?]
Danapati Kaivan Naradipta: [Tidak sama sekali. Saya hanya ingin berteman. Kamu keberatan?]
IYA, KAIVAN! IYA!
Maunya Ishana membalas seperti itu, tetapi apalah daya dia anak yang cukup sopan dan manis terhadap orang tua.
Ishana: [Saya nggak terlalu pandai bergaul, apalagi sama orang yang usianya di atas saya. Takut obrolannya nggak nyambung. Maaf, Mas.]
Bahkan ditambah emoticon kedua tangan yang ditangkup, berharap Kaivan mengerti maksud Ishana. Penolakan secara halus kalau dia peka membaca isyarat seseorang.
Danapati Kaivan Naradipta: [Jangan khawatir, Shana, saya selalu bisa mengimbangi siapa pun itu yang menjadi lawan bicara saya.]
Merinding! Caranya menjawab menunjukkan betapa pandainya seorang Kaivan. Menganggap enteng pria ini adalah sebuah kesalahan. Ishana akui dirinya kewalahan dan mulai hilang kesabaran.
Ishana: [Sudah dulu ya, Mas. Saya ngantuk. Nanti pasti akan saya konfirmasi dan ikuti balik.]
Usai menekan tombol send, Ishana mengubah posisi tidur jadi setengah berbaring. Dengan perasaan dongkol dia memenuhi keinginan Kaivan, berharap setelah ini Kaivan tidak mengganggunya lagi. Meski agak mustahil, tapi layak dicoba. Kalau sampai tidak mengerti juga, Ishana benar-benar angkat tangan dan kehabisan akal. Artinya Kaivan lebih keras daripada batu.
Danapati Kaivan Naradipta: [Terima kasih. Selamat tidur, Shana.]
Harusnya dari tadi seperti ini! Ya Tuhan, Ishana telah menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk menanggapi seorang Kaivan, padahal pembahasan mereka di luar konteks permasalahan. Menyangkut pria ini memang selalu aneh serta mencurigakan. Ishana dibuat menggerutu dan berpikir keras tentang maksud dari setiap tindakannya.
Langsung Ishana taruh ponsel di nakas, kembali berbaring setelah merasa cukup tenang. Kesenangan tentang judul diterima hilang sekejap berkat gangguan Kaivan, yang tersisa sekarang hanya bagaimana cara menemukan solusi agar urusan di antara keduanya cepat selesai. Dengan begitu Ishana tidak lagi harus meladeni ketidakjelasan orang ini.
Hidupnya sudah berat, jangan ditambah dengan beban baru lagi lewat kehadirannya sosok Kaivan.
***
Hari ini Ishana punya agenda mengerjakan proposal skripsi di rumah Eleena bersama Agnia, tetapi baru saja keluar dari kamar dan menguncinya, Heera mencegat dengan tampang tidak berdosa. Seolah-olah apa yang dia lakukan adalah sebuah kebiasaan, tidak merugikan orang lain yang kebetulan akan terlibat dalam apa yang ingin dia sampaikan.
“Mau ke mana, Mbak?” tanyanya berbasa-basi, khas Heera yang kalau lagi ada maunya.
“Bukan urusanmu. Minggir!”
“Orang nanya baik-baik tapi jawabannya malah ketus. Kalo ibu dengar, pasti beliau menegur cara bicaramu ini.”
“Ketus atau enggaknya kata-kataku beliau selalu menegurku. Jangan kekanak-kanakan, Heera. Aku nggak punya banyak waktu untuk meladenimu. Urusanku banyak.”
“Sok sibuk! Kalo gitu sekalian kerjain tugasku.”
Ishana menatap adik tirinya datar, sekalipun memiliki keinginan untuk memukul, tetapi dia berusaha menjaga tangan agar tetap berada pada tempatnya. “Nggak ada sangkut-pautnya denganku, terlebih aku bukan pesuruhmu. Kerjakan sendiri! Otak ada untuk berpikir, bukan hanya sekadar pajangan atau pelengkap organ tubuhmu.”
“Aku lagi malas. Lagi pula ibu bakal maksa kamu kalo aku bilang soal ini ke dia.”
“Sekalipun maksa, aku nggak akan mau. Minggir!” Nada Ishana teramat dingin, dia berlalu di samping Heera, tapi dasar bebal gadis itu malah menahan lengannya. “Kamu mau kita terlibat pukul-pukulan? Heera, aku udah berusaha keras menahan emosi. Kalo sampai lepas kendali, itu artinya kamu yang salah.”
“Jangan sekali-sekali coba sentuh aku atau kalo nggak ibu bakal—”
“Aku lebih dari siap menghadapi ibumu!” desisnya tajam, lantas menyentak Heera sampai mundur beberapa langkah. Usai meraih kebebasan, Ishana berlalu tanpa menoleh, sekalipun di belakang sana adik tirinya mengeluarkan banyak umpatan. Heera selalu berani dalam berkata-kata, tapi gentar ketika diancam balik oleh Ishana. Senjata andalannya melapor ke Mega, selalu begitu sejak dulu.
Makanya kadang dia muak kalau gadis itu mulai menyuruh-nyuruh. Sudah jelas-jelas jurusan mereka berbeda, tetapi Heera tidak ada kapoknya meminta Ishana mengerjakan tugas. Mungkin karena semasa SMA dulu dia mau-mau saja saat Mega memaksa, makanya sekarang sudah jadi kebiasaan yang sulit hilang.
Ishana mengeluarkan motor dari garasi, langsung memacunya sebelum Heera kembali muncul untuk merengek lagi. Perjalanan menuju rumah Eleena memakan waktu 18-20 menit, akan lebih cepat sampai kalau Ishana menambah kecepatan. Namun, untuk sekarang dia ingin menikmati suasana saat berkendara, makanya pelan-pelan saja. Mumpung cuaca tidak begitu terik, tidak menyengat kulit.
Melihat banyak pedagang kaki lima di sepanjang trotoar, Ishana tertarik mampir sebentar untuk membeli. Harganya tidak begitu mahal, masih bisa ditanggung dompetnya, bahkan jika turut membelikan Eleena dan Agnia. Tidak mungkin dia datang hanya dengan tangan kosong, untuk itu Ishana membawakan empek-empek, telur gulung, maklor, serta sempolan buat kedua sahabatnya.
Setelah semua dibeli, Ishana kembali melajukan motor dan sampai di tempat tujuan dengan selamat. Dia disambut super ramah oleh satpam Eleena, Pak Adi. Beliau menawarkan diri untuk membawakan barang-barang Ishana yang beratnya tidak seberapa, tetapi Ishana tolak karena tentu saja masih bisa dia handle sendiri.
“Nia udah datang, Pak?”
“Udah. Tadi diantar sama sopirnya.”
“Oh, iya. Makasih banyak. Saya masuk dulu. Mari.”
“Sama-sama, Neng. Mari.”
Ishana menyusuri rumah Eleena yang besar dan megah. Seperti biasa, keadaan sepi karena orang tuanya tidak ada. Sibuk bekerja, pulang malam bahkan nyaris tidak sempat makan bareng. Eleena adalah anak yang pengertian. Alih-alih marah karena tidak diperhatikan, dia justru meminta ayah dan ibunya bekerja lebih keras lagi supaya bisa menghasilkan uang yang banyak. Katanya demi kelancaran jajan tiap bulan. Aneh memang.
Menaiki lantai dua, menyusuri lorong dan melewati berbagai ruangan, akhirnya tiba juga di depan kamar tuan putri Eleena. Sebelum masuk Ishana mengetuk pintu dua kali, lalu menekan hendel dan mendorongnya. Pemandangan pertama yang menyambut adalah Agnia sedang fokus menatap layar laptop, sementara Eleena main ponsel sambil rebahan di tempat tidur.
“Katanya mau bikin proposal?” Alis Ishana berkerut dalam. Dia menuju sofa, meletakkan tas di atas meja baru melepas jaket. “Memangnya udah selesai, Len?”
“Belum. Gue lagi muak makanya istirahat.”
“Leena, kata-katanya,” sahut Agnia, meskipun matanya tidak sedikit pun berpindah dari layar laptop.
“Iya, Bu Ustazah. Iya. Maaf.”
Ishana geleng-geleng kepala, kemudian menaruh keresek belanjaannya di dekat Agnia. “Istirahat bentar, gue bawa beberapa makanan. Nanti lanjut lagi kalo udah kenyang.”
“Apaan? Mbak Tia bikin brownies sama limun. Bentar lagi diantar ke sini.”
“Ini yang asin-asin, kok. Lo pada pasti suka.”
Tidak butuh waktu lama untuk Eleena bangkit dari posisinya. Sekarang sedang sibuk membongkar keresek satu per satu, matanya langsung berbinar ceria mendapati jajanan yang digandrungi sejuta umat. Saat akan mencomot satu tusuk telur gulung, Agnia yang berhenti sejenak dari kesibukannya langsung menginterupsi, “Cuci tangan dulu, Leenaku Sayang.”
Tersenyum geli, Ishana memilih mengeluarkan laptop daripada terus-terusan memperhatikan kedua sahabatnya. Posisi Ishana tepat di sebelah Agnia, jarak mereka hanya satu rentang tangan. Eleena punya banyak meja lipat, makanya kadang kalau ada tugas Ishana dan Agnia sering menjadikan rumah Eleena sebagai tempat ternyaman untuk mengerjakannya.
Siap dengan segala keperluan, akhirnya membuat proposal pun dimulai. Ishana ingin mengejar ketertinggalan, makanya memilih tidak menikmati jajanan dulu. Apalagi dia masih dalam keadaan kenyang, jadi tidak butuh-butuh amat mengunyah sesuatu selain minuman. Berpikir keras membuatnya sering merasa haus.
Tidak terasa tiga puluh menit berlalu. Satu-satunya yang menarik perhatian Ishana dari apa yang dia kerjakan adalah notif ponsel. Lupa dipindah ke mode silent, makanya sekarang konsentrasinya buyar. Ah, siapa yang mengirim pesan? Kalau itu Heera atau ibu tirinya, demi apa pun Ishana akan memblokir mereka untuk sejenak.
Danapati Kaivan Naradipta: [Selamat siang, Shana. Ada yang ingin saya tanyakan. Apa kamu sibuk sekarang?]
Baca ... jangan? Balas ... jangan? Kalau berhubungan dengan ganti rugi bagaimana? Lagi pula mereka belum membuat janji temu lagi karena Kaivan sibuk dalam dua minggu ini. Apa sekarang pria itu berubah pikiran? Sadar kalau menggunakan ponsel jauh lebih praktis ketimbang bertemu yang ujung-ujungnya membicarakan hal lain.
Ya sudah, baca dan balas saja. Ishana berpikir positif ini akan jadi kabar baik.
Ishana: [Siang, Mas. Saya lagi nugas, tapi masih bisa berbalas pesan. Mau nanya apa, ya?]
Danapati Kaivan Naradipta: [Biasanya kalau gadis seusiamu sedang dalam suasana hati tidak baik, dengan cara apa mengembalikannya? Dari bad mood ke good mood.]
Bang—ke! Ishana kira pertanyaan penting, dia bahkan rela mengorbankan waktu beberapa detik demi menunggu balasan, tetapi dasar Kaivan sialan! Ishana kembali dipatahkan oleh kalimat tidak jelas dan tidak berfaedahnya. Memang mengesalkan nih orang, kerjaannya sejauh ini hanya memancing emosi Ishana saja.
Tanpa membalas, Ishana melempar ponsel ke arah tempat tidur Eleena. Syukurnya tepat dan mental di tempat yang aman. Kalau tidak, alamat bakal rusak sedangkan dia dalam kondisi tidak bisa gonta-ganti alat komunikasi sesuka hati.
“Kenapa, Na?” tanya Agnia penuh keheranan. “Kelihatannya kamu lagi kesal.”
“Nggak, kok. Nggak pa-pa.” Cuma lagi pengin makan orang aja, terutama yang bernama Danapati Kaivan Naradipta, sambung Ishana dalam hati.
***
Di lain tempat, alis Kaivan menekuk mendapati pesannya telah dibaca tapi setelah ditunggu tidak ada balasan masuk. Apa Ishana sedang merangkai kalimat? Tapi tidak ada keterangan sedang mengetik. Atau jangan-jangan dia kembali diabaikan seperti yang sudah-sudah?
Lucu sekali gadis ini. Membuat Kaivan makin penasaran, ingin mengganggunya lebih jauh dan lebih dalam.
Mengusap wajah untuk menyembunyikan senyum yang nyaris terlihat seperti orang konyol, Kaivan menulis pesan lagi sebelum melanjutkan pekerjaannya. Kemungkinan yang ini hasilnya tidak jauh berbeda dari yang pertama, bahkan mungkin lebih parah karena tidak dibaca, tetapi tak apa. Kaivan masih punya segudang bahan dan cara untuk tetap berhubungan dengan Ishana.
Kaivan: [Selamat mengerjakan tugas. Saya menunggu pendapatmu di lain waktu. Jangan tergesa-gesa memberitahukannya, saya bisa menunggu selama apa pun, Shana.]
Usai mengirim, Kaivan meletakkan ponsel di atas meja. Terpaku sejenak memandangi benda tipis tersebut dengan pikiran berkelana. Memang alasan Kaivan tertarik sejak jumpa pertama adalah karena kemiripan Ishana dengan mantan istrinya versi remaja. Namun, makin ke sini Kaivan makin menemukan kalau mereka adalah dua orang yang berbeda, itu sebabnya Kaivan tambah penasaran sekaligus ingin tahu lebih banyak tentang Ishana.
Setelah lima tahun menduda, tidak ada salahnya ‘kan kembali jatuh cinta? Dia sudah mengikhlaskan kepergian Diandra, sekarang justru merasa lebih tenang dan sedikit kekanakan ketika kembali dihadapkan pada sebuah ketertarikan. Kaivan yakin istrinya tidak keberatan, bahkan mungkin memberi dukungan. Seandainya bisa berkomunikasi dengan orang yang sudah meninggal, Diandra pasti memberi banyak tips untuk Kaivan. Tentang bagaimana menaklukkan seorang gadis, apalagi dengan kepribadian seperti Ishana.
Ha, bisa dibayangkan. Istrinya yang lembut dan keibuan, pasti akan menggoda Kaivan sekarang.
***