Ishana bangun lebih pagi daripada yang lain. Membersihkan tempat tidur, ruang tamu, teras depan, juga halaman. Menyapu dan mengepel lantai, tidak lupa menyiram tanaman-tanaman kesayangan Mega. Urusan masak-memasak menjadi tanggung jawab ibu tirinya, sebab apa pun yang Ishana buat selalu salah di lidah Mega. Faktor benci, semuanya jadi tidak disukai. Begitulah rutinitasnya setiap hari.
Selesai bebersih dia langsung mandi, baru setelah itu bergabung sarapan. Harus bermodalkan muka tembok berkumpul bertiga di meja yang sama, karena merupakan sebuah hobi bagi Mega menyindir Ishana. Heran saja, padahal berpendidikan tapi mulutnya seolah tidak pernah sekolah. Katanya orang tua, tapi tindakannya tidak lebih dari anak balita. Ha, balita saja tidak sebegitunya!
“Nggak sopan sekali. Porsi makan lebih banyak dari yang memasak, padahal kerjaannya cuma menghabiskan beras.”
Heera tersenyum senang di sela mengunyah, melihat Ishana dimarahi adalah pemandangan paling menghibur setelah kalah telak batal memperbudak kakak tirinya. “Perasaan dari dulu aku nggak pernah dengar ucapan terima kasih dari mulut seseorang, padahal kita udah banyak bantu dia. Iya ‘kan, Bu?” tanyanya dengan binar mata sok polos.
“Namanya juga orang nggak tau diri. Kamu jangan pernah seperti itu, Sayang. Memalukan.” Mega menatap Heera penuh kasih, lalu berubah tajam saat berpindah pada Ishana. “Uang yang kamu minta kemarin benar-benar buat kebutuhan kuliah, kan? Awas kalo sampai bohong! Akan kulaporkan ke pihak kampus biar sekalian dikeluarkan dari sana.”
“Saya punya bukti pembayarannya. Ibu mau lihat?” tawar Ishana dengan nada tenang. Sudah biasa mendengar beragam macam tuduhan, yang mana semuanya tidak berdasar. Sudah kebal dikata-katai, makanan Ishana sehari-hari, makanya alih-alih mengambil hati, dia anggap itu seperti dengungan lalat yang kebetulan mengganggu tapi tidak pernah dia tanggapi.
“Jangan sesekali bicara dengan raut menantang di depanku. Sadar diri dan posisi, Ishana. Kamu sendirian di rumah ini.”
“Saya nggak begitu. Ibu harus memastikan penglihatan Ibu sekali lagi. Mungkin ada kesalahan.”
“Jadi, kamu menganggap mataku bermasalah? Gadis lancang ini—”
Ishana menggeser kursi, tersenyum tipis lalu berdiri. “Makasih banyak buat sarapannya. Enak sekali nasi goreng pagi ini.” Dia memuji dengan kesungguhan, karena Mega memang pandai memasak. “Setelah selesai, tinggalkan semuanya di sini. Akan saya bereskan sekalian mencuci piring. Maaf kalau membuat Ibu tersinggung, saya nggak bermaksud begitu. Permisi.”
Wajah Mega sampai memerah melihat kelakuannya, tetapi Ishana tidak peduli. Dia sudah menjaga kesopanan, maka selesai sudah kewajiban. Selanjutnya Ishana meninggalkan ruang makan, berniat jalan-jalan sebentar di sekitaran komplek sambil berharap tidak mengalami gangguan pencernaan.
Udara terasa sejuk, pasalnya tadi malam hujan deras. Aspal masih terlihat basah, daun-daun berembun, aktivitas tetangga mulai padat, dan kendaraan berlalu-lalang. Ishana menikmatinya setelah berhasil mengembalikan suasana hati. Bentuk penyelesaian saat suntuk melanda adalah dengan cara berjalan-jalan melihat apa pun yang dia temui.
Sampai dirasa lelah baru Ishana pulang. Atau sampai Mega berangkat kerja, baru dia mau kembali. Rumah terasa damai jika tidak ada keributan. Makanya kalau Heera dan ibu tirinya bepergian, Ishana merasa merdeka lahir-batin. Merasa menguasai rumah, setelah dijajah. Merasa benar-benar jadi pemilik, yang mana sebelum-sebelumnya diperlakukan bak menumpang.
Jangan tanya seberapa muak Ishana tinggal bersama mereka. Andai dia sudah punya penghasilan, tidak akan mau Ishana seatap bersama. Percayalah, salah satu dari beberapa cita-cita mulianya adalah mengusir Mega dan Heera. Semoga saja terkabul suatu saat nanti. Ishana harap sampai waktu itu tiba, dia sudah punya kekuatan untuk membalas mereka. Membuat mereka bertekuk lutut meminta maaf atas semua perlakuan jahat yang Ishana terima.
Menyadari sudah terlalu lama berjalan, Ishana memutuskan putar balik sekarang. Mega dapat dipastikan telah pergi bekerja, Heera pun sepertinya ada kuliah pagi karena penampilannya tadi terlihat rapi dan wangi. Adik tirinya memang penyuka parfum, saking banyak atau seringnya menyemprot, Ishana sampai sakit kepala kalau berada di sekitar Heera.
Benar saja, sesampainya di rumah Ishana tidak menemukan siapa-siapa. Pintunya dikunci, beruntung Ishana selalu menyimpan kunci duplikat di bawah pot, jadi dia bisa masuk. Kelegaan langsung menyergap begitu masuk, Ishana merasa lebih bebas dan berhak atas apa pun. Rumah ini memang miliknya, hanya saja belum bisa diklaim karena kekuatan Mega lebih besar dibanding Ishana.
Merasa hari ini tidak punya janji dengan siapa pun, Ishana memutuskan mengambil laptop di dalam kamar untuk mencicil proposal skripsi. Dia menjadikan ruang tamu sebagai tempat berkonsentrasi, kalau jenuh bisa nanti diseling dengan menonton review film di YouTube. Salah satu hobinya sekarang, menjelang tidur selalu menonton video di channel Saqahayang atau IQ7. Cara mereka menyampaikan terkesan unik, membuat Ishana tertawa saking terhiburnya.
Tidak lupa membawa serta ponsel dan charger, lalu membuat minuman menggunakan sirop melon di dalam kulkas, setelah selesai membersihkan meja dan mencuci piring. Sebenarnya terlalu dini untuk meneguk yang dingin-dingin, tetapi sudah jadi kebiasaan kalau Ishana sedang bekerja dengan otak dan tenaga, hal wajib yang ada di sampingnya adalah minuman dingin.
Dia lesehan di lantai sekarang. Sambil menunggu laptop menyala, Ishana memainkan ponsel. Membuka grup berisi dia, Agnia dan Eleena, karena ada beberapa chat di sana.
Eleena: [Anjir! Gue lupa simpan yang gue kerjain tadi malam. Cuma beberapa paragraf, tapi itu hasil mutar otak sampai sakit kepala. Gilaa memang!]
Agnia: [Astagfirullah. Leena, tolong mulutnya ...]
Tawa kecil Ishana lolos dari bibir. Setiap kali Eleena mengumpat, ada Agnia yang menegur, sementara Ishana kebagian menyimak. Maklum mereka bertiga terdiri dari tiga jenis kepribadian yang berbeda, yang mana kombinasi tersebut terasa pas dan saling melengkapi. Makanya persahabatan ini berjalan erat melebihi perkiraan mereka sendiri.
Ishana: [Tau, nih. Leena udah jadi kebiasaan ngomong kasar. Nggak enak banget didengar.]
Eleena: [Maaf banget, tapi kalian nggak ngerti. Gue kesal, mau nangis sumpah! Duh, nyeri dadaa gue.]
Agnia: [Bawa istigfar. Memangnya tadi malam kenapa sampai lupa disimpan?]
Eleena: [Gue ngantuk berat. Perasaan udah klik save, sekarang baru sadar kalau don’t save.]
Ishana: [Ya udah sekarang tenangin dulu perasaan lo. Nggak bisa dibalikin juga, jadinya ikhlasin aja. Kalo udah baikkan baru kerjain lagi. Nggak pa-pa, Na. Pasti bisa kelar. Semangat!]
Agnia: [Iya, Na. Semoga nanti nggak kejadian lagi. Jangan dipaksa kalo udah mulai ngantuk. Berhenti aja, besok dilanjut lagi.]
Eleena: [Makasih banyak, Guys. Sekarang gue mau meratap dulu. Kalo udah nggak bad mood lagi entar bakal gue kasih tau di sini. Bye.]
Bersamaan itu Ishana meletakkan ponselnya di atas meja. Dia juga mau mulai bekerja, karena menjelang siang nanti Ishana ingin beristirahat setelah selesai menyetrika pakaian. Jatah mencicil ketikan hari ini dikerjakan lebih awal, nanti malam Ishana mau bersantai sambil mengulang menonton film kesukaannya. Saint Seiya: Legend of Sanctuary yang sebentar lagi akan tayang di bioskop versi live action-nya.
***
Suara tawa Mega dan Heera terdengar saat Ishana keluar, menuju dapur untuk mengisi tumbler. Jam menunjukkan pukul setengah sebelas, keduanya belum tidur, terlihat asyik mengobrol sambil sesekali mengunyah buah-buahan. Mungkin karena besok Sabtu makanya tidak apa-apa malam ini bergadang. Interaksi mereka yang hangat membuat Ishana diam mengamati, satu-satunya yang membuat dia iri adalah pemandangan seperti ini.
Andai ayahnya dulu tidak menikah lagi, tidak akan Ishana memiliki ibu tiri. Bundanya pun masih hidup sampai sekarang, tak akan ada sakit hati dan depresi yang menggerogoti.
Mengingat kenangan pahit di masa lalu tidak pernah gagal memberi rasa nyeri di hati. Ishana sudah berdamai, tetapi terkadang kembali teringat lagi ketika menyaksikan kebahagiaan Mega dan Heera. Bagaimana bisa penjahat hidup berbahagia, sementara korban sampai akhir hayat pun masih menitikkan air mata. Mereka adalah definisi manusia yang lebih kejam daripada ibliss.
Menarik napas berat untuk menghilangkan rasa sesak, Ishana menggelengkan kepala lalu menutup kembali tutup tumbler-nya setelah dirasa penuh. Tadinya dia ingin mempercepat langkah supaya lekas sampai di kamar, tetapi begitu keluar dari dapur Mega malah menghadang dengan wajah arogan. Melipat kedua tangan di dadaa, dagunya terangkat angkuh. “Pergi beli martabak asin.”
“Saya?” tanya Ishana tanpa menunjuk dirinya sendiri.
“Siapa lagi? Cepat!”
“Nggak, saya ngantuk. Kalo Ibu yang mau, kenapa nggak Ibu saja yang membeli? Atau mungkin Heera.”
“Bisa nggak kalau diminta sesuatu jangan membantah? Jadi anak yang berbakti sedikit, Ishana. Aku nggak pernah menuntut lebih, tapi hormati aku sebagai ibu sambungmu. Apa kamu lupa pesan terakhir ayahmu sebelum meninggal? Sampai kapan ingin bersikap membangkang? Mau jadi anak durhaka, hah?!”
Mata Ishana sempat memejam mendengar rentetan kalimat Mega. Ingin sekali dia tertawa saking lucunya, tetapi sebisa mungkin ditahan supaya drama yang terjadi sekarang tidak makin panjang. “Mana uangnya?” Pada akhirnya Ishana yang mengalah, karena melawan orang gilaa akan berakhir sama gilanya. “Hanya martabak, nggak lebih. Ini tengah malam.”
“Harusnya dari tadi. Tenagaku nggak akan terbuang sia-sia menasihatimu yang kepala batu.” Mega mendengkus sinis, lantas berbalik pergi dengan isyarat meminta Ishana untuk mengikuti. Dari belakang saja sudah terlihat kalau Mega ini tipe orang yang garang, bermasalah sedikit dengannya pasti akan dicerca habis-habisan. Namun, jangan lupakan fakta tentang dia yang bermuka dua, sisi malaikat milik Mega-lah yang membuat ayahnya dulu jatuh cinta.
“Bu, udah martabaknya?” Heera bertanya saat melihat Mega kembali. “Aku lapar, tapi nggak pengin makan nasi.”
“Belum. Sabar sebentar, Sayang. Ishana akan pergi membeli.”
Usai uang seratus ribu diberi, tanpa banyak kata Ishana mengambil kunci dan ponselnya di dalam kamar. Berniat pergi ke penjual yang paling jauh, kalau bisa paling tidak enak sekalian. Itu ganjaran untuk mereka, meski mungkin masih tidak seberapa. Ishana bisa dibilang orang terpasrah, tapi bukan berarti lemah. Dia hanya mencegah. Pertengkaran dan adu kalimat kasar bukan bidangnya.
Di perjalanan, Ishana menepi sebentar saat ponselnya bergetar. Ternyata panggilan tersebut berasal dari Kaivan, tetapi tidak berlangsung lama. Belum sempat Ishana angkat juga. Ah, mulai muncul sisi tidak jelas pria ini, padahal Ishana pikir hari-harinya akan kembali tenang mengingat Kaivan tidak mengirim pesan-pesan random sampai sekarang.
Mengabaikan menjadi salah satu keahlian Ishana. Namun, saat ingin menyimpan kembali ponsel ke tempat asalnya, pesan dari Kaivan masuk secara tiba-tiba. Membuat dia yang tadi ingin mengacuhkan, mendadak jadi penasaran tentang alasan Kaivan. Sudah berapa lama dia tidak memikirkan soal biaya perbaikan mobil Kaivan? Ah, Ishana terlalu santai sampai lupa pada masalah sebesar itu.
Danapati Kaivan Naradipta: [Maaf saya tidak sengaja meneleponmu, Shana.]
Ya Tuhan! Jawaban macam apa itu? Dia pikir ada hal yang mendesak, ternyata sama saja tidak jelasnya seperti yang sudah-sudah. Sayang sekali, padahal tampan, jabatan bagus, tubuh tinggi besar, tetapi kerjaannya mengganggu orang. Ishana tidak mengerti jalan pikirannya. Kaivan mungkin jadi orang dewasa pertama yang agak-agak di mata Ishana.
Enggan membalas, Ishana pun lanjut memacu motornya ke tempat penjual martabak. Secara random dia menjatuhkan pilihan di sini, dengan harapan rasanya tidak sesuai selera Mega dan Heera. Jaraknya pun bukan main. 20 menit untuk sekali jalan, 20 menit untuk pulang. Makan, tuh menunggu! Ishana berharap mereka kesal sekesal-kesalnya nanti. Supaya setimpal, meski lebih capekkan dia.
“Yang spesial ya, Pak.”
“Siap, Neng!”
Sambil menunggu, Ishana duduk di salah satu kursi dan terpaksa memainkan ponsel saking tidak tahu harus melakukan apanya. Saat layar menyala, pesan Kaivan menjadi menu pembuka.
Danapati Kaivan Naradipta: [Menurutmu cuaca malam ini cerah atau mendung, Shana?]
Mendung. Semendung suasana hati saya saat dikirimi pesan oleh Mas Dana. Tapi mana mungkinlah dia membalas seperti ini, sangat tidak sopan dan manis sekali. Selagi terikat utang-piutang, dia tidak boleh bicara sembarangan pada Kaivan. Nanti bisa rumit urusan. Lebih baik pertahankan yang seperti ini, sekalipun Ishana agak tertekan menghadapi.
Ishana: [Nggak tau, Mas. Ini malam. Saya bukan peramal cuaca. ?]
Tidak lupa emoticon kedua tangan yang ditangkup, menunjukkan kalau sedang sungkan dan tidak nyaman. Bukan lawan yang tepat untuk dijadikan teman bercanda. Itu pun kalau Kaivan mengerti maksudnya, kalau tidak ya ... tidak apa-apa. Paling Ishana kesal lagi, seperti yang sudah-sudah. Memangnya dia bisa apa? Ingin menabok muka Kaivan? Mana bisa!
Danapati Kaivan Naradipta: [Ah, saya dapat jawabannya. Cerah, secerah suasana hati saya saat mendapat balasan darimu.]
Ishana: [Merinding.]
Danapati Kaivan Naradipta: [Maaf.]
Aksi berbalas pesan mereka terhenti karena pesanan Ishana selesai dibuat. Setelah membayar, dia langsung pulang dengan kecepatan sedang, lamban sebenarnya karena Ishana malas-malasan. Kira-kira seperti apa bentuk muka Mega sekarang? Keluar asap dari hidung dan telinga, bertanduk dua, atau semuanya? Lucu sekali kalau sampai iya.
Sesampainya di rumah, benar saja mata ibu tirinya sudah menyala-nyala. Namun, belum sempat Mega mengamuk Ishana lebih dulu mengamankan diri. Dia meletakkan martabak lengkap dengan kembaliannya di atas meja, setelah itu menuju kamar dengan langkah tergesa-gesa. Teriakan murka Mega terdengar bergema di luar sana, Ishana tersenyum geli usai berhasil mengunci pintu. Ah, semoga ibu tirinya selamat dari tekanan darah tinggi atau kalau tidak akan kena stroke di kemudian hari.
***
Pagi-pagi buta Ishana mendapat pesan, yang saat dibaca matanya jadi melek sempurna. Padahal tadi masih memburam, terlebih azan subuh baru berkumandang.
Danapati Kaivan Naradipta: [Halo, Shana. Saya bermimpi kita bertemu hari Minggu nanti. Apa itu tandanya kita memang harus bertemu lagi? Kalau kamu tidak keberatan, mari tentukan tempat.]
Amat membagongkan! Semakin ke sini, Kaivan di mata Ishana bukan lagi pria ramah, baik hati, berwibawa, tetapi ganjen. Hiiiiiii ... kok mendadak geli, ya diganjeni bapak-bapak?
Ishana: [Untuk membahas biaya ganti rugi ‘kan, Mas? Kalo bukan, berarti mimpinya ada campur tangan iblis. Mas Dana mungkin lupa baca doa sebelum tidur.]
Danapati Kaivan Naradipta: [Iya, sepertinya saya memang lupa baca doa. Di lain waktu saja kita bertemunya.]
Ishana mendengkus setelah membaca. Alah, si Kaivan! Bilang saja menghindari karena memiliki modus tersembunyi. Eh, kira-kira modus apa? Ishana lupa mencari tahu, saking banyaknya kesibukan dari kemarin-kemarin sampai sekarang-sekarang.
***