04 : Untung atau Buntung?

2163 Words
“Dari mana saja? Setiap sore selalu keluyuran, mau jadi perempuan apa kamu?!” Sedetik setelah menutup pagar, Ishana disambut oleh pertanyaan sinis Mega—ibu tirinya—yang juga baru pulang bekerja. Sekadar informasi, ibu tirinya adalah asisten manajer di salah satu perusahaan swasta yang bergerak di bidang pengadaan barang dan jasa. Mega wanita karier yang terbilang sukses, makanya menjalani kehidupan berkecukupan dan sanggup memenuhi semua keinginan anak kandung perempuan satu-satunya—yang jelas bukan Ishana, melainkan Heera Yumna, adik beda ayah. “Dari perpustakaan kampus, Bu. Cari referensi buat proposal skripsi.” “Jangan beralasan!” Ishana tidak menjawab, melainkan memperlihatkan bukti berupa bentuk copy dari proposal yang berhasil dia pinjam dari petugas perpustakaan. “Kalau begitu saya permisi.” Dia langsung berlalu, setelah dengan telak menepis tuduhan Mega. Tidak peduli ibu tirinya memanggil, Ishana memilih menulikan telinga. Di ruang tengah, dia melihat Heera menonton TV sambil makan es krim. Benar-benar menikmati hidup, tidak punya beban yang perlu dikhawatirkan. Tidak pernah Ishana mendengar Mega memarahinya, sekalipun kerjaan Heera hanya bernapas, makan, tidur, main, dan belanja. Namanya juga anak kesayangan, diperlakukan bak ratu, dimanjakan, dan dipuji-puji. “Ishana! Ishana! Berhenti kamu, anak pembangkang!” Mega sepertinya kelebihan tenaga. Alih-alih lelah setelah seharian bekerja, ternyata dia masih bisa berteriak lantang pada Ishana. “Ada apa, Bu? Datang-datang, kok langsung emosi?” Heera bertanya, dia menoleh dengan senyum manis khas anak baik, tetapi palsu. “Kuping aku sakit dengernya. Kalo memang Ishana bikin masalah, omelin di kamarnya saja. Biar nggak malu didengar tetangga. Nanti mereka mikir yang nggak-nggak, padahal itu memang kesalahannya.” Sudah Ishana bilang, kan? Kalimat Heera lembut-lembut berbisa. Mendengarnya saja membuat Ishana bergidik ngeri. “Kamu benar, Sayang. Makasih sudah mengingatkan Ibu. Kecapekan membuat kemampuan berpikir Ibu menurun.” Daripada menyaksikan interaksi yang membuatnya mual, lebih baik Ishana lekas pergi ke kamar dan mengunci pintu. Sebelum macan betina kembali mengaum, membuat telinganya berdengung. Setelah berhasil masuk, tanpa sadar dia mengembuskan napas lega sambil menyandarkan punggung di belakang pintu. Melarikan diri dan bersembunyi adalah salah satu keahlian Ishana, terutama saat dia tidak dalam kondisi ingin mendengar ocehan Mega. Sekalipun Ishana tidak pernah membalas kata-kata ibu tirinya, tetapi diam bukan berarti tanda berpasrah. Dia hanya malas menanggapi, tidak mau buang-buang waktu dan tenaga. Itu saja. Merasa sudah cukup tenang, Ishana melangkah menuju meja belajar di sudut ruangan. Meletakkan tas dan contoh proposal skripsi yang baru dia pinjam, untuk dipelajari kemudian diterapkan. Semoga saja dia lekas memahami, dengan begitu saat pengumuman judul dibagikan nanti, Ishana bisa langsung mengerjakan tanpa harus kebingungan lagi. Rencana Ishana selanjutnya adalah mandi, karena tubuhnya terasa lengket sekali. Namun, urung sejenak saat mendengar getaran ponsel yang sedari tadi belum dia keluarkan dari dalam tas. Biasanya kalau tidak Agnia, pasti Eleena yang merecokinya dengan beragam pembahasan tidak penting. Entah itu meminta pendapat soal menu makan malam, atau membawa gosip soal cowok yang lagi dekat dengannya. Eleena memang agak berisik, berbeda dengan Agnia yang pembawaannya tenang, teduh, menyejukkan hati. Khas cewek baik-baik pokoknya. Kening Ishana dibuat berkerut karena dugaannya salah. Nama Danapati Kaivan Naradipta terpampang jelas di pop up, pesannya berisi sebuah alamat yang akan dijadikan sebagai tempat pertemuan kedua mereka di akhir pekan nanti. Tidak cukup sampai di situ, pesan susulan kembali masuk membuat benda tipis yang berada di tangan Ishana bergetar lagi. Mau tak mau dia masuk ke ruang obrolan, membalas demi kesopanan, batal mengabaikan. Danapati Kaivan Naradipta: [Datangnya tidak perlu tepat waktu, saya tidak apa-apa dibuat menunggu. Jangan merasa bersalah, Shana. Telat itu manusiawi.] Seumur-umur baru kali ini Ishana bertemu manusia modelan Kaivan. Entah sikap aslinya memang baik, atau justru pura-pura baik, Ishana tidak tahu. Yang jelas aneh dan agak mencurigakan, membuat dia merasa tidak nyaman. Pasti ada maksud tertentu dibalik semua ini. Ishana masih dalam tahap mencari-cari, menerka-nerka, semoga saja nanti dia ketemu jawabannya. Ishana: [Oh, nggak, Mas. Akan saya usahakan sesuai dengan jadwal.] Setelah mengirim, bergegas Ishana menyimpan ponsel di dalam laci, berjalan tergesa-gesa menuju lemari. Lupakan soal pria itu, lebih baik sekarang dia fokus pada apa yang ingin dia lakukan. Semoga saja Kaivan tidak membalas lagi, karena Ishana tidak ingin kembali meladeni. Cukup sekali saja, selanjutnya tidak ada kewajiban lagi. *** Tahu-tahu Sabtu datang dalam sekejap mata. Ishana dihadapkan pada pertemuan kedua, yang mana saat memikirkannya saja kepalanya terasa pening luar biasa. Selain ada ganti rugi yang perlu dilunasi, pemilik mobilnya pun turut membebani. Ishana memang kurang bersahabat pada orang baru, selalu menaruh kecurigaan, sekalipun dia tidak mendapat perlakuan kurang mengenakkan. Pukul 10.35 Ishana mulai mengeluarkan motor dari garasi, memanaskan mesin sebelum dibawa berkendara untuk membelah jalan raya yang sudah dipastikan padat dan macet. Maklum akhir pekan, banyak yang keluar untuk sekadar menyegarkan pikiran. Kalau tidak mengalami kesialan, Ishana juga akan seperti orang-orang itu. Malangnya sekarang dia hanya bisa berangan-angan saja. Rumah akan kosong setelah kepergian Ishana nanti, sementara Mega dan Heera sudah punya quality time sendiri. Keduanya melakukan perawatan wajah, belanja-belanja, bahkan makan-makanan enak di luar sana. Tidak peduli pada Ishana, entah dia makan atau tidak, ada bahan makanan di kulkas atau tidak, bodo amat. Status keluarga hanya tertera di kartu keluarga, secara nyata mereka hanya orang asing yang tinggal di bawah atap yang sama. Ya tidak penting juga. Toh Ishana tidak baperan, tidak terlalu memikirkan mereka, tidak pernah merasa iri. Dia hanya fokus pada diri sendiri, fokus pada hal-hal yang membuatnya tetap merasa aman, sekalipun tidak berada di zona nyaman. Tak terasa sepuluh menit berlalu. Saat Ishana nyaris memasang helm, sebuah telepon masuk membuat gerakan kedua tangannya terhenti. Lekas dia merogoh benda itu dari dalam mini backpack, langsung menerima panggilan karena nama Agnia tertera di sana. “Ya, Ni—assalamualaikum, Bu Ustazah. Ada apa?” tanya Ishana geli. Pada Agnia wajib hukumnya mengucap salam sebelum bicara. “Waalaikumsalam, kamu di mana, Na? Jadi ketemu pemilik mobilnya?” “Jadi, kok. Ini mau pergi.” “Nanti jangan lupa kabari berapa total biayanya. Maaf nggak bisa menemani, bunda sama ayah ngajak pergi ke Semarang-nya tiba-tiba pagi tadi.” “Nggak pa-pa, Bu Ustazah. Gue bisa sendiri. Lagian kalo datangnya ramean, nanti tuh pemilik mobil ngiranya bakal dikeroyok,” kikik Ishana. Dia sudah sepenuhnya menaiki motor, tinggal menstater dan keluar dari halaman rumah, maka berangkatlah sudah. Dari perkiraan waktu, kemungkinan Ishana akan tiba delapan menit lebih awal. Dengan begitu dia tidak perlu merasa malu karena sudah membuat Kaivan menunggu, lagi. “Kamu ada-ada aja, Na. Ya udah, hati-hati di jalan, ya. Semoga pertemuannya berjalan lancar. Jangan lupa bilang maaf sama terima kasih. Beliau termasuk baik karena nggak membawa masalah ini ke jalur hukum.” “Baik, Bu Ustazah. Pesan-pesannya saya catat di kepala, akan saya sampaikan begitu urusannya udah kelar.” Tawa kecil terdengar sebagai bukti kalau Agnia menyerah juga pada candaan Ishana. Selanjutnya dia mengakhiri panggilan, tidak lupa dengan salam. Ishana menyimpan kembali ponsel ke tempat asal, lalu beranjak setelah memastikan semuanya terkunci rapat. Kalau sampai ada sedikit keteledoran, nanti Mega akan menjadikannya cela untuk memarahi Ishana habis-habisan. Maklum wanita itu gemar tarik urat di depannya. Selalu marah dan marah, padahal hanya masalah sepele. Suka sekali membesarkan sesuatu yang pada dasarnya tidak besar. Waktu tempuh yang harusnya 13-15 menit molor menjadi 20 menit. Seperti yang sudah Ishana perkirakan, macet di sepanjang jalan membuat kendaraan bergerak lamban. Untungnya dia berhasil melewati, minus rambut yang kusut di sana-sini. Maka dari itu sebelum memutuskan masuk, Ishana lebih dulu menyisir dengan jari berharap kuncirannya kembali rapi. Melirik ke arah spion, Ishana melepas masker dan mendapati pipinya agak kemerahan. Dia cukup sensitif terhadap panas, kulit Ishana putih makanya gampang berwarna. Namun, selebihnya baik-baik saja. Penampilan Ishana sudah lebih dari cukup untuk bertemu Danapati Kaivan Naradipta. Lagi pula tidak ada kewajiban harus rapi, toh ini bukan interviu pekerjaan. Tempat pertemuan mereka kali ini adalah cafe yang cukup terkenal di daerah sini. Ishana cukup takjub, Kaivan ternyata punya selera khas anak muda juga. Dia kira pemikirannya hanya terbatas pada orang-orang seusia saja. Nyatanya tidak sama sekali. Setelah melewati pintu, Ishana pikir dia harus menemukan meja karena akan jadi orang pertama yang datang dan menunggu, tapi kelopak matanya dibuat melebar saat mendapati sosok pria dewasa dalam balutan smart casual, polo shirt dan celana chino, tengah mengangkat tangan tanda sedang memberitahukan keberadaan. Pertanyaannya, apa Kaivan selalu konsisten seperti ini di setiap kali mengadakan pertemuan? Maksudnya tidak hanya pada Ishana, pada orang lain pun sama. Atau jangan-jangan menunggu adalah salah satu hobinya? Alih-alih kesal, Kaivan justru merasa senang. Kalau sampai benar, berarti dia manusia aneh. Sangat-sangat aneh! Langkah Ishana diseret paksa untuk mendekat, meskipun kenyataannya berat. Senyum pun disunggingkan kaku, sebagai bentuk keramahan yang mana benar-benar palsu. Sekadar formalitas saja. “Maaf saya telat lagi, Mas,” ucapnya sembari meringis. Menarik kursi sepelan mungkin, berharap tidak menimbulkan suara. Meski kenyataannya pelanggann di sini tidak hanya mereka saja. “Masih ada empat menit lagi, Shana. Kamu tidak terlambat.” Kaivan tersenyum memperlihatkan jam tangan di pergelangan kiri. “Sepertinya kondisi jalanan membuatmu sedikit kesulitan. Pesan dulu minuman sebelum kita memulai pembicaraan.” “Ah, nggak perlu. Saya mau mempersingkat waktu, takutnya Mas Dana ada urusan yang—” “Hari ini saya lumayan kosong, jadi jangan khawatir. Lagi pula, maaf kalau lancang, pipimu terlihat sedikit kemerahan. Apa itu terasa panas, Shana?” Refleks dia menangkup kedua sisi wajah, yang mana gerakan tersebut tak luput dari pengamatan Kaivan. Kenapa hal sekecil dan sesederhana itu bisa mengundang perhatian? Aneh sekali tapi nyata. “Sedikit, Mas. Harusnya cukup dengan mengompres air dingin, kemerahannya akan berangsur-angsur hilang.” Mengangguk sekali, Kaivan mengalihkan pandangan ke arah lain. Memanggil pelayann, lalu saat pelayann mendekat, langsung dia menyebutkan pesanan, “Mbak, bisa pesan es batunya? Sementara saya dan teman saya belum menentukan pilihan, itu saja yang kami butuhkan saat ini.” Kening Ishana otomatis dibuat mengerut saat mendengarnya “Maksudnya gimana, Pak?” “Es batu tanpa apa-apa. Bukan untuk dimakan, tapi untuk sesuatu yang lain.” Meski dengan raut kebingungan, pada akhirnya pelayann tersebut mengangguk dan segera beranjak. Sementara itu Ishana langsung menodong Kaivan dengan tatapan meminta penjelasan, seolah tanpa bertanya pun dia sudah tahu apa fungsi es batu. 1000% yakin ada kaitannya dengan dirinya. “Sunburn biasanya harus segera diobati. Saya cukup menyesal memintamu bertemu siang ini, karena cuacanya lebih terik daripada minggu lalu. Maaf, Shana.” “Nggak, bukan itu—” Ya Tuhan, Ishana mendadak kehilangan kata-kata. Sebenarnya mereka ini apa, sih? Kok, interaksinya selalu melenceng, bahkan nyaris tidak pernah menyinggung hal-hal yang mendasari pertemuan? Sebenarnya yang aneh itu Kaivan atau dirinya, sih? “Mas Dana, letak masalahnya bukan ada pada saya, tapi soal ganti rug—” “Pak, ini es batunya. Tidak perlu dibayar, kata manajer saya digratiskan saja,” kata pelayan yang datang secara tiba-tiba, lebih parah lagi memotong kalimat Ishana. “Nanti kalo butuh sesuatu tinggal panggil saya atau pelayann yang lain.” “Iya, Mbak. Makasih banyak.” Seperginya pelayann tersebut, Ishana berusaha melanjutkan walau sebenarnya dia sudah kesal. “Kira-kira total yang harus saya—” “Kompres dulu wajahmu dengan es batu. Saya tidak terganggu, tapi sebaliknya panas bisa membuatmu tidak nyaman.” “Nggak, saya baik-baik saja. Nanti akan saya kompres kalau sudah pulang. Lagi pula di cafe ini ada AC, cukup membantu mendinginkan kulit saya. Mas Dana cukup—” “Hanya membantu, tapi tidak menghilangkan. Sebentar saja. Saya harap kamu tidak menolak lagi. Sayang es batunya kalau sampai mencair, Shana.” “Oke!” jawab Ishana dengan nada kentara kesal. Dia sempat melirik Kaivan sebelum membungkus es batu dengan tisu. Sedangkan Kaivan diam-diam menahan senyum, sedikit lega karena gadis di hadapannya ini akhirnya menurut juga. *** Ishana tersenyum kecut sembari menyandarkan kepala di jok, menatap jalanan samping dengan sorot mata super lelah. Saat pergi tadi pikirannya optimis kalau urusan dengan Kaivan akan langsung selesai, nyatanya sekarang dia terjebak dalam mobil pria itu, tidak punya pilihan selain menyetujui ajakannya; meminta ditemani membeli bunga untuk bundanya. Puncak komedi, Kaivan mengiming-imingi membahas soal mobil setelah bunga berhasil mereka dapat. Coba bayangkan betapa beratnya jadi Ishana. Ingin menolak tapi tidak bisa, setuju pun rasanya berat sekali. Alhasil dia menjalani dengan beragam tekanan, yang mana membuatnya lesu seolah tidak memiliki tenaga, padahal demi apa pun perutnya kenyang, lagi. “Apa kamu punya toko bunga rekomendasi, Shana?” “Nggak, Mas, saya jarang beli bunga.” Kecuali dekat TPU kalo mau ziarah, lanjutnya dalam hati. “Bunda saya penyuka bunga. Saya punya toko langganann, tapi katanya hari tutup. Makanya sekarang sedikit kebingungan.” “Kalo bingung harusnya jangan ajak saya, Mas. Saya nggak tau apa-apa soal toko bunga.” “Tapi sepertinya kamu punya selera yang bagus. Saya butuh pendapat seseorang saat memilih nanti.” Ishana menyimpan cibiran, enggan membalas lagi selain hanya bungkam. Oke, untuk sekarang turuti dulu apa maunya Kaivan. Kalau makin lama makin parah, maaf-maaf saja Ishana tidak mau lagi manut dengan alasan tidak enak menolak. Lagi pula kalau dipikir-pikir dia tidak apes-apes juga. Berada di posisi yang berhutang, malah kesannya seperti tempat yang memberi utang. Di mana lagi ada hal yang seperti ini? Bisa dikatakan Ishana cukup beruntung, tetapi berada di situasi buntung. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD