Perasaan Terpendam

1351 Words
Keesokan paginya, Rizal hendak bersiap untuk kerja. Pakaiannya sudah sangat rapi. Sejak pertemuan yang tak terduga, Rizal selalu tampak ceria. Pagi itu, ketika Rizal.membuka pintu mobilnya, Almira berlari mendekatinya. "Kak, anterin aku ke kampus ya. Mobilku mogok nih," keluh Almira. Rizal menghela nafasnya. Dia begitu sayang pada adiknya. "Ya udah, kita barengan ya. Nanti kalo sudah pulang, kakak jemput atau pulang sendiri nih?" kata Rizal tersenyum manis. Almira tampak berfikir. "Uhm, kakak jemput aja, deh." Almira tampak tersenyum sambil memainkan alisnya. Rizal hanya senyum sambil menggelengkan kepalanya. "Udah, ayo masuk, Mira," ajaknya. Almira langsung masuk ke bangku depan. Rizal segera menyalakan mobilnya, dan akhirnya berangkat menuju ke kampus Almira. Di tengah perjalanan, Almira mengajak Rizal bercakap-cakap. "Kak, Mira boleh gak tanya ke kakak?" tanya Almira. Rizal tersenyum. Dengan tetap fokus mengemudi, dia balik bertanya. "Boleh, Mir. Emangnya, kamu mau tanya apa?" Almira terdiam sejenak. Dia seperti berfikir panjang. Dia takut untuk menanyakannya. Ada trauma yang dia rasakan ketika ingin menceritakan perasaanya. "Uhm … gak jadi deh Kak," katanya merasa ragu-ragu. Rizal keheranan. "Loh. Koq gak jadi? Kenapa, Mir?" tanyanya. Almira teringat ketika dua hari lalu, ketika dia dan ibunya bercakap-cakap. Ayahnya terlalu kaku. Kala itu, Almira menceritakan perasaannya pada ibunya. ---Ingatan Almira--- Suatu sore, ,dia sedang ada kuliah tambahan. Ada satu orang mahasiswa beda fakultas yang ternyata mengambil mata kuliah itu, dan saat itu dia satu kelas dengan Almira. Rupanya, kelas penuh, dan hanya ada satu bangku kosong. Pemuda itu duduk di sebelahnya. Pelajaran pun di mulai. Awalnya, perasaan Almira biasa saja. Namun, setelah kuliah usai, mendadak pemuda itu menyapanya. "Almira, ya?" tanyanya. Almira terkejut. Dia pandangi pemuda itu. Dan, memandanginya dengan heran. Pemuda itu begitu tampan dengan senyum manisnya, namun dia tak yakin. "Uhm … I--Iya. Maaf, kamu siapa?" tanya Almira. "Oh, aku Rahmat. Rahmat Hidayat," katanya memperkenalkan diri. Sejenak, Almira keheranan. "Ma--Maaf. Koq kamu tahu aku Almira?" tanyanya. Rahmat tersenyum manis. "Mira, aku satu SMA denganmu. Aku alumni SMA 58 Jakarta tahun 2017. Kamu dulu di kelas 3 IPA 1 kan?" Almira mengingat-ingatnya. Sejenak, dia mengernyitkan dahinya, dan akhirnya dia ingat. "Oh, iya. Kamu dulu sih pendiam banget. Kalo gak salah, kamu temannya Ridho ya?" Almira balik bertanya. Pemuda itu tersenyum manis. Dia menganggukkan kepalanya. "Mira, ke kantin sebentar, yuk. Yah, hitung-hitung reuni gitu," kata Rahmat.sambil nyengir. Almira yang begitu kagum akan kehalusan tutur kata dan wajah tampan Rahmat hanya tersenyum dan mengangguk. Rahmat mengajak Almira ke kantin kampus. Di kantin itu, Rahmat dan Almira saling menceritakan masa lalunya. Mereka tampak bercanda ringan. Namun, dari pertemuan itu, Almira merasakan getar-getar cinta di hatinya tatkala dia sedang dekat dengannya. "Duh, koq aku jadi begitu canggung ya? Rahmat, dia tampan sekali," bathinnya. Tak terasa hari telah petang. Mereka pun pulang ke rumah masing-masing. Sebelum pulang, mereka sempat bertukar nomor handphone. Malamnya, Rahmat mengirim pesan kepadanya. Almira mengetahuinya ketika setelah sholat Isya', dia masuk ke kamarnya. Dilihatnya hpnya menyala. Rupanya ada sebuah pesan. "Dari Rahmat?" katanya tersenyum manis. Mereka pun akhirnya berbalas pesan. Perasaan cinta Almira pun tumbuh. Untuk pertama kalinya, Almira jatuh cinta pada seorang pria. Hari berganti hari, perasaan cinta Almira semakin tumbuh subur. Dia begitu nyaman dan begitu bahagia dekat dengan Rahmat. Mereka kerap menghabiskan waktu berdua di kampus itu dengan mengerjaka tugas kuliah bersama. Dan, setelah beberapa hari kedekatannya dengan Rahmat, Almira pun menceritakan perasaannya pada ibunya. Dia berbicara pada ibunya di ruang tengah. "Bu, Almira mau bicara sebentar," katanya. Ibunya yang tengah membaca buku tersenyum memandanginya. Dia menutup buku yang dia baca, dan meletakkan di atas meja. "Ya, Nak. Mau bicara apa?" tanya Farida, ibunya. Bu Farida tersenyum manis. Dia lihat, Almira begitu canggung. Dia pegang tangan putrinya. "Ayo, nak. Ceritalah pada mama, apa yang mau kamu ceritakan," kata Farida. Almira menghela nafas. Dia menenangkan perasaannya. Dan, akhirnya Almira menceritakan perasaan cintanya pada Rahmat. "Ma, Almira mulai jatuh cinta. Apakah salah Almira jatuh cinta?" tanyanya. Farida tersenyum manis. Dia belai lembut kepala anaknya. "Mira, itu wajar. Seorang wanita sudah kodratnya tertarik dengan pria. Siapa sih pria itu? Coba ceritakan," kata Farida. Almira akhirnya menceritakan pertemanannya dengan Rahmat, hingga menimbulkan perasaan cinta di hatinya. Ibunya mendengarkan cerita Almira dengan seksama. Dia tersenyum mendengar cerita Almira. Namun, di tengah perbincangan, ayahnya memutus cerita itu. "Almira! Papa kecewa sama kamu! Susah payah papa kuliahin kamu ternyata malah kamu buat untuk pacaran!" bentaknya. Deg! Almira terdiam. Air matanya menetes mendengar ayahnya yang membentak dirinya. "Pa, Almira tidak pacaran. Almira hanya menceritakan perasaan suka pada teman kuliah, Pa," kata Almira mencoba menjelaskan. "Alah! Sama aja!" Hasan menarik paksa Almira dan menamparnya dengan keras. "Mira! Kamu gak boleh sembarangan mencintai pria! Lihat bobot bebet bibitnya dia!" bentak Hasan. Hasan yang begitu murka hendak menampar Almira. Farida yang melihat kemarahan Hasan bangkit dan melindungi Almira yang bersimpuh di depan Hasan. "Papa, sudah. Almira itu tidak pacaran. Dia hanya kagum saja. Apa salah, Pa?" tanya Farida pada Hasan. "Mama, Papa gak ingin Almira putus kuliah," kata Hasan berkilah. "Papa. Kedekatan Mira dan temannya itu baik. Mereka tetap kuliah dengan lancar. Lihat, Pa. Coba lihat IPK Almira. Coba lihat nilai tugas Almira. Baik, Pa. Sudahlah, buang egomu," kata Farida dengan tetap bertutur kata lembut. Hasan yang sudah dikuasai ego dengan kasar mendorong tubuh Farida hingga terhempas di sofa. Dengan kasar, Hasan menyeret Almira dan mengurungnya di dalam kamar. Farida hanya menangis melihat Hasan yang terbakar emosi. Seharian Almira di kurung di kamarnya. Sejak saat itulah, Almira jadi semakin tertutup. Dia putuskan untuk berhubungan dengan Rahmat secara diam-diam. ---Ingatan Almira--- Almira teringat pengalaman pahit itu. Rupanya, ayahnya terlalu kaku menanggapi mengarahkan Almira. Rizal menegur Almira. "Lho, Mira. Katanya mau tanya, koq gak jadi?" tanyanya. Almira begitu gugup. "Uhm … gak apa-apa, Kak." Rizal terdiam. Dia sadari, sejak dikurung di kamar seharian, Almira makin tertutup. Dia selalu pulang hingga malam, bahkan terkadang hingga hampir tengah malam. Almirah yang cukup cerdas selalu saja bisa berkilah. Selain itu, dia seperti merasa tak betah di rumah. Almira memang tak tampak memberontak, namun dia selalu berkilah ada tugas kuliah ketika dia pulang malam. Hasan mengira Almira memang ada kegiatan kampus, mengingat dia juga aktif di sebuah organisasi Rohis. Padahal, pagi-pagi sekali dia sudah keluar rumah. Tak seperti biasanya. Keceriaannya pun lenyap. Dia banyak diam di rumahnya. "Uhm, mungkin papa tertalu kaku menanggapi perasaan Mira," bathinnya. Dan, tanpa terasa sampailah mereka di kampus. Di sana, seorang lelaki memandangi Almira yang baru turun dari mobil. "Kak, aku kuliah dulu, ya," kata Almira menggelengkan tangan. Rizal tersenyum. Dia segera memacu mobilnya ke tempat kerjanya. Sepeninggal Rizal, laki-laki itu mendekati Almira. "Eh, kamu Say. Maaf, tadi mobilku mogok. Jadi terpaksa deh aku minta antar kakakku," kata Almira. Rahmat tersenyum manis. "Oh, itu kakakmu. Aku kira cowok lain. Aku tadi sempat cemburu loh," katanya. Almirah tertawa. "Ya ampun, segitunya kamu cemburu. Lagian, mana mungkin aku pacaran ama kakakku? Ada-ada saja." Rahmat tertawa lepas. Dia tertawakan kebodohannya. Akhirnya, mereka berjalan ke dalam kampus dan masuk ke kelas masing-masing. Sementara itu, di perusahaan konveksi tempat Nissa bekerja, tampak Izam sedang mengecek pesanan. Dilihatnya ada banyak sekali e-mail permintaan pesanan. Di tengah kesibukannya, dia di kejutkan dengan kedatangan seorang klien yang sering memesan kaos olah raga di perusahaan konveksi itu. "Selamat pagi, Pak. Ada klien yang ingin bertemu," kata orang itu. Dia mempersilahkan klien itu masuk. Izam sempat terkejut melihat klien lama yang baru pertama kali menemuinya. Izam sejenak begitu gugup melihat pelanggannya yang cantik namun berdandan funky. Rambutnya di semir ungu. "Selamat pagi, Pak Izam. Perkenalkan, saya Vonny. Izam sedkit gugup. "Oh. S--Saya Izam. Manager di sini. Uhm … silahkan duduk," kata Izam mempersilahkan pelangganya duduk. Vonny duduk di depan Izam. Dia langsung menyampaikan niatnya untuk memesan sejumlah untuk jaket untuk distronya. Dia membawa desain jaket yang dia rancang dan menyerahkannya ke Izam. Izam memandanginya. Dia bingung dengan desain itu. "Maaf, Bu Vonny. Ini desainnya koq saya belum mengerti?" tanya Izam. Vonny tersenyum. Dia dengan sabar menjelaskan detail desain itu. Dan setelah Izam mengerti, di segera memanggil bawahannya untuk mengerjakan pesanan Vonny. "Oke, Pak Izam. Ini uang mukanya. Nanti setelah lunas, saya transfer pelunasannya," kata Vonny. "Baik, Bu. Terima kasih atas kunjungannya," kata Izam. Vonny segera keluar dari ruang kerja Izam. Sepeninggal Vonny, Izam kembali menyibukkan diri dengan pekerjaannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD