Getar Asmara

1645 Words
Sementara itu, suasana di depan konveksi dekat kantor Rizal begitu ramai sore itu. Para pegawai berkumpul di depan sambil menunggu penjemputnya. Banyak angkot dan penjemput yang berkumpul di depan konveksi itu.Diantara keramaian itu, tampak Nissa yang tengah kebingungan. Rupanya, dia tak kebagian angkot. Semua angkot yang mangkal di sekitar tempat itu penuh. Akhirnya, dalam sekejap keramaian itu hilang. Penjemput sudah pulang, dan dengan terpaksa Nissa menunggu angkot yang lewat. Ketika tengah menunggu, Nissa di kagetkan oleh Syifa yang muncul secara tiba-tiba. Dia menepuk pundaknya dari belakang. “Aduh, Fa. Kamu ini bikin aku jantungan,” kata Nissa yang terkejut. Syifa hanya tertawa. Nissa keheranan melihat Syifa yang belum pulang. “Loh, Fa. Kamu koq belum pulang? Biasanya kamu kan di jemput adikmu,” kata Nissa. “Yah, Nis. Adikku datang terlambat. Dia lagi ada kuliah tambahan. Setengah jam lagi dia datang,” kata Syifa. Nissa mengangguk. Mereka duduk di bawah papan nama perusahaan konveksi tersebut. Syifa yang masih penasaran dengan Rizal iseng mbertanya pada NIssa. “Nis, omong-omong siapa sih cowok yang anterin kamu tadi? Wih sumpah, tuh orang keren banget,” kata Syifa dengan senyum manisnya. Nissa tersenyum. “Oh, itu Rizal. Dia bekerja di dekat sini. Kalo gak salah tuh, lima blok dari sini,” kata Nissa. Syifa manggut-manggut. Nissa tersenyum melihat Syifa yang sejenak melamun. "Fa, kamu naksir dia. Duuuh, kalo kamu suka sama dia, lalu Izam di kemanain?" goda Nissa. Syifa terperanjat. Rupanya dia tahu kalau selama ini dirinya mencintai Pak Izam, manajer di perusahaan konveksi itu. "Iiih, kamu Nis! Jangan buka rahasiaku dong," katanya dengan bibir manyun sambil melipatkan kedua tangannya di dadanya. Nissa tertawa lepas. Dilihatnya wajah Syifa memerah menahan malu. Nissa kembali terdiam. Matahari telah terbenam, dan hari mulai petang. Nissa melihat jam tangannya. Dia tampak khawatir. “Waduh, ini sudah hampir maghrib, koq gak ada angkot lewat ya?” katanya dalam hati. Ketika Nissa melamun, Izam yang merupakan manajer di perusahaan konveksi muncul. Selain tampan, dia juga ramah pada bawahannya. Syifa begitu mencintainya. Terlebih, ketika dia tahu bahwa Izam kerap menjadi muadzin di sebuah masjid dekat tempat tinggalnya. Dia hentikan motornya di depan Nissa dan Syifa. Izam sebenarnya menaruh hati pada Nissa, namun Syifa yang justru mencintai Izam. Berulang kali memberi sinyal. Bahkan, tak jarang Syifa memendam kecemburuannya ketika Izam mendekati Nissa. Dan, sore itu Izam mendekati Nissa. Dia begitu iba melihat Nissa yang berulang kali melihat jam tangannya. “Nissa, Koq kamu masih disini? Ini sudah petang loh. Sebentar lagi adzan maghrib,” kata IZam menyapa Nissa. Izam tak menyadari jika Syifa memandanginya. Raut wajah Syifa tampak kecewa ketika Izam menyapa Nissa. Syifa yang begitu cemburu langsung berceloteh. “Yee, Pak Izam. Masak hanya perduli ke Nissa,” kata Syifa dengan wajah manyun. Izam tersenyum manis. “Iya Deh, Syifa. Maaf." Syifa merasa lega, namun dia masih tetap merasa cemburu. Dia pandangi Izam dengan sorot mata kecewa. Izam merasa kikuk di pandangi Syifa. “Uhm, Maaf, Fa. Koq kamu liatin aku begitu?” tanya Izam menyelidiki. Syifa terhenyak. Dia begitu gugup. “Uhm … , Gak apa-apa, Pak.” Dan bersamaan dengan itu, adiknya datang menjempur Syifa. Dia sedikit kecewa karena ingin berlama-lama dengan Izam. Namun karena menghargai adiknya, dia segera pamit untuk pulang. “Pak Izam, saya pamit pulang dulu ya,” kata Syifa sambil berdiri dari duduknya. Izam tersenyum. Dia membalas perkataan Syifa. “Loh, seingatku, yang disini kan bukan hanya aku. Koq cuman aku yang di pamitin?” kata Izam dengan senyum manisnya. Syifa terkejut. Dilihatnya Nissa tersenyum seolah tahu perasaannya. Dia buru-buru berpamitan pada Nissa. “Oh, ya. Nis, aku pulang dulu ya. Kamu hati-hati di jalan,” kata Syifa. “Iya, Fa. Kamu juga hati-hati di jalan,” balas Nissa dengan sedikit tertawa. Syifa tampak kikuk. Dia seolah berat meninggalkan Nissa berdua dengan Izam. Izam yang melihat Syifa belum beranjak menggodanya. "Loh, Fa. Katanya mau pulang. Koq masih diam? Tuh, kasihan dong adikmu," kata Izam tersenyum simpul. Syifa seperti tersadar. Wajahnya memerah menahan malu. Dia buru-buru berjalan ke arah adiknya dan segera naik ke boncengan motor itu. Tak lama kemudian, motor itu menghilang. Sepeninggal Syifa, Izam yang mencintai Nissa mencoba mendekatinya. Dilihatnya hari mulai petang, dan jalanan begitu sepi. Izam terdiam sejenak. Dia merasa khawatir akan keselamatan Nissa. Akhirnya, Izam mencoba menawarkan tumpangan. “Uhm, Nissa. Ini sudah sore. Bagaimana kalau aku antar kamu pulang?” Izam mencoba menawarkan jasa pada Nissa. Glek! Nissa tertegun. Dia tampak bimbang. ‘Uhm, … bagaimana ya?” katanya kebingungan. “Waduh, gimana ini? Mana gak ada angkot lewat lagi, padahal ini sudah hampir maghrib,” katanya dalam hati. Nissa berfikir sejenak. Akhirnya, dengan terpaksa dia menerima tawaran Izam. “Ya udah, deh. Daripada terlambat sholat maghrib,” kata Nissa karena tak ada pilihan. Nissa segera bangkit dari tempatnya duduk, dan segera duduk di boncengan sepeda Izam. “Oke, sudah siap, Nis? tanya Izam. “Iya, Pak Izam.” Nissa berpegangan pada behel sepeda motor. Dia duduk menyamping karena mengenakan rok panjang. Tak lupa, dia pegang bagian bawah roknya supaya tak terkena rantai motor. Izam segera menyalakan motornya dan mengantar Nissa pulang ke rumahnya. Di tengah perjalanan, Izam mengajak Nissa bercakap-cakap. Dia membuka percakapan. “Nis, kalau di luar kantor kamu jangan panggil saya Pak. Usia kamu dengan saya saja sepertinya sama. Panggil saja saya Izam kalau di luar jam kerja, supaya kita bisa lebih akrab,” kata Izam mencoba memberi sinyal cintanya pada Nissa. “Iya, Pak,” balas Nissa. Izam tertawa mendengar jawaban Nissa. “Tuh, kan. Baru aja dibilang, koq diulangi,” katanya sambil tertawa. Nissa begitu gugup. “Eh, I—Iya, Pak. Eh, maaf. Iya, Izam." Izam tertawa lepas. Namun di hatinya dia begitu berbunga-bunga. Dan, sepuluh menit kemudian sampailah Nissa di rumahnya. Baru saja Nissa sampai, ternyata adzan maghrib berbunyi. “Izam, terima kasih sudah mengantar,” kata Nissa berterima kasih pada Izam. “Iya, sama-sama, Nis. Ya udah, aku langsung pulang ya,” balas Izam. “Izam, apa gak sebaiknya mampir sebentar. Hari sudah maghrib. Rumahmu kan jauh,” kata Nissa. Izam tersenyum. “Nis, kita bukan muhrim. Aku tak pantas masuk di rumahmu sembarangan Biar aku cari surau terdekat saja,” katanya. Nissa tersenyum. “Ya sudah kalau begitu. Aku masuk dulu, ya. Uhm, terima kasih sudah mengantar. Kamu jangan lupa sholat, dan hati-hati di jalan.” Izam hanya mengangguk. Dia segera tancap gas dan langsung pergi. Di tengah jalan, Izam begitu kagum pada Nissa. Sementara itu, Syifa yang baru saja selesai sholat maghrib termenung sendiri di kamarnya. Dia memikirkan Izam. Ketika tengah melamun, ibunya mendekatinya. “Eh, Syifa. Koq kamu melamun? Gak baik loh, Nak,” kata ibunya. Lamunannya buyar. Dia terkejut ketika ibunya sudah di depannya. “Uhm … Syifa gak melamun, koq,” kata Syifa menutupi perasaannya. Ibunya tersenyum. Syifa tak menyadari jika hpnya masih menyala. dan di layar hp itu tampak foto managernya, Izam. Ibunya yang penasaran dengan tampilan di hp milik Syifa dengan cepat mengambilnya. Dia tersenyum. "Anak ibu mulai kasmaran ya?" kata Ibunya. Wajah Syifa memerah menahan malu. Dia meminta hpnya. "Ma, mana hp Syifa," katanya sambil menahan malu. Ibunya tersenyum. Dia berikan hp itu pada Syifa dan duduk di sebelahnya. "Syifa, Mama gak melarang kamu suka dengan lawan jenis. Itu sudah kodratmu sebagai wanita. Oh ya, kalau boleh tahu, siapa laki-laki yang ada di foto itu?" kata ibunya merangkul Syifa. Dengan malu-malu, Syifa menceritakan siapa Izam. Dia ceritakan awal pertemuannya dengan Izam. Ibunya mendengrkan cerita Syifa sambil tersenyum manis. "Syifa. Mama juga pernah muda. Memang, ketika kita merasakan jatuh cinta, perasaan begitu terbang ke awang-awang. Tapi, Syifa. Alangkah baiknya jika Syifa serahkan ini pada Allah SWT dengan cara perbanyak ibadah, dan juga rajin sholat malam. Supaya Syifa di beri petunjuk oleh Allah SWT," kata ibunya dengan lembut. Dia membelai lembut kepala Syifa, sebelum akhirnya dia tinggalkan kamar Syifa. Sementara itu di malam yang sama, Nissa yang berada di kamarnya tersenyum memandangi hpnya. Dia tangah mengutak-atik hpnya. Tenyata, Nissa tengah mengirim pesan pada Rizal. Mereka saling berbalas pesan. “Rizal, jujur baru pertama kalinya aku begitu tertarik pada pria. Apakah kamu jodohku?” pikirnya. Dia tersenyum membaca pesan dari Rizal. Nissa membalas pesan dari Rizal. Rizal yang sedang rebahan di kamarnya tersenyum membaca pesan dari Nissa. Di lokasi lain, tampak seorang pria yang tengah berada di sebuah cafe. Dia adalah Dicky. Berulang kali dia kirim pesan, namun hanya kekecewaan yang terpancar di wajahnya. "Sial! Ranty ini kenapa sih? Kenapa setiap pesanku tak di balas?" bathinnya. Dia pandangi jam tangannya. Dan akhirnya yang ditunggu tiba. Senyumnya muncul. Ranty langsung menemuinya. "Maaf, tadi terjebak macet. Sudah lama nunggunya?" tanya Ranty. "Oh, gak koq. Yuk kita pesan makanan," ajak Dicky. Ranty hanya mengangguk. Mereka memesan makanan dan saling melepas rindu. "Ranty, kamu sudah lulus S2?" tanya Dicky. "Iya, d**k. Mulai besok aku udah kerja di perusahaan papa," kata Ranty. Dicky mengenang masa-masa kuliahnya. Dia teringat ketika awal.mengenal Ranty yamg merupakan teman satu fakultasnya. "Ran, sudah beberapa tahun sih kita gak ketemu. Uhm, dulu kamu itu lugu banget. sekarang, penampilanmu beda," kata Dicky sambil tersenyum penuh arti. Ranty hanya tersenyum memandangi Dicky. Dia tak menyadari bahwa Dicky menyimpan perasaan cintanya pada Ranty. Tak lama kemudian, pesanan mereka datang. "Ranty, kamu ingat gak dulu sama si Fahmi?" tanya Dicky. Sambil menikmati minumannya, Ranty berfikir. Dia mencoba mengingat-ingat kenanangannya.Dan akhirnya dia tertawa. "Iya, Fahmi yang suka ngelawak itu? Oh ya. Denger-denger katanya dia ke Bukittinggi," kata Ranty. Dicky tersenyum. Dia memberi isyarat pada seorang pelayan. Pelayan itu mendatangi mereka. Dia mendadak membuka maskernya. Ranty terkejut. Ternyata Fahmi sedang menyamar sebagai pelayan cafe. "Ranty, kamu koq tambah cantik aja," kata Fahmi menyapanya. "Ah, kamu ini. Eh, Fahmi. Koq kamu bisa nyamar sebagai pelayan cafe?" tanya Ranty keheranan. "Ranty, Fahmi pemilik cafe ini. Biar dahulunya pelawak, dia kini sukses," kata Dicky. "Ah, kamu d**k. Kamu juga bantu aku," balas Fahmi.merendah. Malam itu, mereka saling melepas rindu. Dahulu, Ranty, Dicky dan Fahmi saling akrab. Fahmi sendiri anak yang berbeda fakultas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD