Perasaan Cinta Tiga Arah

1447 Words
Sementara itu, Rizal baru sampai di kantornya. "Uhm, syukurlah aku datang tepat waktu. Hari ini ada meeting penting," bathinnya. Rizal berjalan tergesa ke ruang meeting. Dan ketika dia masuk, meeting baru akan di mulai. Di sana, tampak Ranty hadir di ruang meeting. "Uhm, Rizal makin keren aja. Uhm … dia harus aku dapatkan," bathinnya. Tak berapa lama kemudian, meeting pun di mulai. Rizal membahas kerjasama dengan relasi. Dia presentasikan bentuk kerjasama itu dengan baik. Agak lama rapat itu berlangsung. Dan menjelang siang, rapat selesai. "Pak Rizal, terima kasih atas penjelasannya. Presentasi tadi bagus," kata Pak Randy selaku relasi sambil berjabat tangan dengan Rizal. "Iya, sama-sama, Pak. Semoga kerjasama ini tetap terjalin di antara kita," balas Rizal. Rizal buru-buru meninggalkan ruang meeting dan kembali ke tempat kerjanya. Ranty yang berniat mengajaknya makan siang tampak kecewa, namun dia tak bisa berbuat banyak ketika Pak Randy mengajaaknya kembali. Tak terasa jam istirahat telah tiba. Rizal bergegas keluar untuk makan siang. Siang itu, Rizal yang mencari makan siang mampir ke sebuah masjid. Dia sholat dhuhur sejenak sebelum mencari makan. Setelah salam terakhir, dia sejenak berdoa. Setelah selesai, dia langsung keluar hendak memakai sepatunya. Dan secara kebetulan, di sebelahnya Nissa yang baru selesai sholat hendak memakai sepatunya. Nissa terkejut melihat Rizal.di sebelahnya. "Loh, Mas?" sapa Nissa. Rizal spontan memandangi suara di sebelahnya. Dan, mereka pun saling berpandangan. "Nissa?" katanya dengan nada kaget. Mereka berdua terdiam. Sejenak, mereka beradu pandang sambil saling senyum. Namun, dari belakang Syifa menepuk pundak Nissa dengan keras. "YEEE! Bengong aja. Buruan kita cari makan siang, keburu jam istirahat selesai," kata Syifa memecah lamunan mereka berdua. Rizal dan Nissa segera tersadar. "Syifa! Bikin kaget aja kamu," kata Nissa dengan wajah memerah. "Hahahaha, loe tuh Nis. Baru deket ama cowker sebentar aja, udah lupa temen," balas Syifa. Nissa menatap Syifa dengan wajah memerah menahan malu. Sambil nyengir, Syifa berbisik pada Nissa. "Niss, kenalin dong dia. Punya kenalan cpwker di simpan sendiri," katanya berbisik. Nissa spontan mencobit tengan Syifa. "Iiih … kepo banget sih," balas nya berbisik. Sambil berbisik, Nissa dan Syifa sedikit berdebat. Mereka tengah membicarakan Rizal yang baru mereka kenal.Agak lama mereka berdebat sambil sesekali memandangi Rizal. "Niss, tuh dia keren loh. Udah ganteng, abid lagi. Aku sejujurnya suka sama dia," kata Syifa. "Eeh … kalo kamu suka dia, lalu bagaimana dengan Pak Izam?" balas Nissa sambil berbisik. Syifa tersenyum mencuri pandang ke arah Rizal lalu dia pandangi Syifa. "Niss, udah temani dia. Gak enak deh kalo dia jadi obat nyamuk," kata Syifa berbisik. Nissa yang merasa malu kembali berdebat dengan Syifa. Mereka saling mendorong mendekatiRizal. Rizal tersenyum memandangi Nissa dan Syifa yang berbisik sambil berdebat. Dengan senyum menahan tawa, Rizal mengajak Nissa berbicara. "Ehh … sudah. Daripada berbisik yang ujungnya ngeghibah, ayo kita makan siang. Bagaimana?" ajak Rizal mengakhiri perdebatan diantar Nissa dan Syifa. Nissa dan Syifa terperanjat. Nissa yang merasa malu memandangi Syifa. "Tuh, lihat ulahmu," kata Nissa. "Ya elah, dalam hati padahal berbunga-bunga aja pake sok ngambek," balas Syifa menggoda Nissa. Rizal yang mendengarnya hanya tersenyum. Dia dekati Nissa dan Syifa. "Sudah. Ayo kalian berdua ikut saja makan siang bareng daripada ngeghibah. Udah, ayo kita berangkat," ajak Rizal. Akhirmya mereka menyetujui ajakan Rizal. Mereka masuk ke dalam mobil, dan segera meninggalkan masjid ke sebuah foodcourt tak jauh dari sana. Di tengah perjalanan, Nissa yang duduk di sebelah Rizal hanya diam menatap jalanan dari luar dalam jendela. Rizal yang ingin mengenal Nissa membuka percakapan. "Loh, Nis. Koq melamun? Nanti kena sambit loh," kata Rizal. Nissa hanya tersenyum. "Mas, kena sambit apa? Emangnya siapa yang mau nyambit aku?" "Tuh, lalat," balas Rizal mengajak bercanda. Nissa yang berniat membalas perbuatan Syifa tersenyum. "Oh, lalat yang ada di belakangku itu?" Syifa terkejut. Dia tak menyangka Nissa menggodanya. "Yeee … gua mah bukan lalat, tapi obat nyamuk kale," balas Syifa dengan nada lucu. Mereka bertiga tertawa lepas. Dan, tak lama kemudian sampailah mereka di sebuah foodcourt. Mereka segera berjalan dan memilih tempat duduk, lalu segera memeaan makanan. Sambil menunggu makanan, Nissa memperkenalkan Syifa, sahabat karibnya sekaligus yang sering menggodanya. "Mas Rizal, ini nih Syifa. Kta ini sering saling ledek tapi kita tetap temenan," kata Nissa. "Iya, Kak Rizal. Nih cewek sukanya julid mulu. Gua aja sampe sebel di kerjain die." Syifa menimpali ucapan Nissa. Rizal tersenyum manis. "Sudah, tuh pelayan bawa makanan kita. Udah, yuk makan. Jangan lupa baca do'a ya. Biar makanan jadi barokah." Dan tak lama kemudian, hidangan datang. Mereka melahap makan siang pesanan mereka. Mereka terlibat dalam sebuah perbincangan selepas melahap makan siangnya. Tampak keakraban diantara mereka. Namun, di meja lain seorang wanita mengawasinya. Dia adalah Ranty, wanuta yang begitu mencintai Rizal. Wajahnya tampak cemberut. Dia menatap Rizal dengan tajam. "Rizal. Aku tak akan biarkan dia miliki kamu," bathin Ranty. Sambil memakan makan siangnya, Ranty terus menatap ke arah Rizal dan dua wanita yang bersamannya. Ketika melamun, Vony yang kebetulan mampir melihatnya. "Loh, itu bukannya, Ranty?" bathinnya. Dia tersenyum, dan berjalan mendekatinya. Dengan lembut, dia sentuh pundaknya. "Ranty?" sapa Vonny. Ranty terkejut. Spontan dia pandangi Vonny. Dia tampak tak percaya melihat sahabat lamanya. "Vonny? Apa kabar?" Ranty balas menyapa. Vony tertawa kecil. "Ran, kabarku baik. Kalau kamu?" "Kabarku baik, Von. Eh, iya. Duduk dulu, Von," kata Ranty. Vonny langsung duduk di depan Ranty. "Von, sudah lama kita tak bertemu. Oh ya, kesibukanmu sekarang apa?" tanya Ranty. "Aku sekarang buka distro, Ran. Yah aku ingin mandiri," katanya tersenyum manis. Ranty begitu kagum akan kemandirian Vonny. Namun, pandangannya kembali tertuju pada Rizal yang akhirnya berlalu. Vonny menegurnya. "Eeh, Ran. Koq melamun?" tanya Vonny. "Ooh, eh … . Ng--Nggak apa-apa, Von," balas Ranty dengan perasaan gugup. Vonny sejenak memandangi Ranty dengan senyum menyelidik. Dia mainkan alisnya sambil tersenyum. Dia pandangi sekeliling, dan sekejab dia lihat Ranty memandangi seseorang. "Uhm … rupanya Ranty mantengin tuh cowok. Uhm … emang dia keren sih. Tapi, udahlah. Gue gak mau ikut campur," bathinnya. Tatapan Vonny berubah. Dia kembali tersenyum manis memandangi Ranty. "Oke. Ranty, denger-denger kamu sempat ambil S2 di luar negeri ya?" tanya Vonny. "Iya, ini baru lulus," jawab Ranty tersenyum menutupi kegundahannya. Vonny memesan sebuah minuman. Sambil menunggu pesanannya tiba, Ranty dan Vonny saling melepas rindu. Mereka terlibat dalam sebuah percakapan. "Eh, Vonny. Kamu ingat Fahmy?" tanya Ranty. Vonny keheranan. Dia mengernyitkan dahinya berusaha mengingat-ingat siapa Fahmy. "Fahmy? Fahmy yang mana ya?" tanyanya. Ranty tersenyum. "Von, itu loh, yang hobi ngelawak. Ingat kan?" tanya Ranty. Sejenak Vonny berfikir, dan dia pun tertawa lepas. "Oh ya. Gua ingat. Oh ya gimana dia kabarnya?" tanya Vonny. Vonny tersenyum manis. Pembicaraan mereka sempat terputus ketika minuman pesanan Vonny tiba. Sambil mencicipinya, Vonny menceritakan pengalaman lucunya ketika dia pergi bersama Fahmi. Panjang lebar Vonny bercerita. Ranty tertawa lepas mengetahui kelucuan Fahmy. Tak terasa, mereka cukup lama bercakap-cakap. Tak terasa, jam masuk kantor tiba. "Von, aku balik ke kantor dulu ya, jam kwrja nih," kata Ranty pada Vonny. "Oke. Gua juga mau balik, ada perlu nih. Oh ya, gua minta dong nope loe," kata Vonny. Ranty memberikan nomor handphonenya pada Vonny. Vonny me miss callnya sebelum akhirnya dia beranjak meninggalkan cafe itu. Ranty pun segera beranjak meninggalkan cafe itu kembali ke kantornya. Sementara itu, di kampus tampak Almira tengah duduk berdua dengan Rahmat. Di sebuah taman, mereka diam-diam merajut kemesraan. Almira yang dilanda asmara tampak menggenggam lembut tangan Rahmat. "Say, hari ini kita tak ada tugas. Enaknya kita ngapain?" tanya Almira. Rahmat tersenyum manis. "Uhm, sebaiknya kita belajar saja, Say. Kita baca buku atau novel aja." "Tapi, Say. Aku bosan. Aku pingin yang lain," kata Almira. Rahmat berfikir. Dia begitu menyayangi Almira. Dia berfikir sejenak. Dan, dilihatnya ada film drama. Kebetulan Almira menyukai drama korea. "Mira, ini ada iklan drama korea. Coba deh kamu lihat," kata Rahmat memperlihatkan hpnya. Almira melihat iklan itu. Dia tersenyum simpul. "Say, ini hari penayangan perdananya?" tanya Almira. Rahmat mencoba melihatnya sekali lagi. Dia baca jadwal penayangannya, dan dia baru sadar jika itu prime timenya. "Eh iya. Aku gak sempat ngebaca. Oh ya, gimana kalo kita nonton di bioskop dekat kampus? Ya itung-itung sambil tunggu jam kuliah sore," ajak Rahmat. Almira menyetujuinya. Mereka pun segera beranjak ke parkiran. Rahmat membonceng Almira ke gedung bioskop dekat kampus. Sesampainya di sana, ternyata antrean lumayan panjang. Beruntung mereka dapat tiket, dan akhirnya menonton tayangan perdana drama korea itu. Di dalam bioskop, Almira bergitu terhanyut dengan cerita drama korea itu. Dia begitu terharu melihat begitu apik kisah itu, hingga tak terasa air matanya menetes ketika melihat adegan sedih drama itu. Tepat setelah dua jam berlalu, drama itu usai. Mereka keluar dari gedung bioskop. "Say, filmnya tadi bagus banget," kata Almira. "Iya, akting artisnya keren," kata Rahmat. Dia pandangi jam tangannya. Rupanya hampir saatnya ashar. "Mira. Kita mampir ke surau dekat sini dulu. Sudah dekat ashar." Rahmat mengingatkan. Almira mengangguk. Namun, permasalahan muncul ketika Hasan, ayahnya tiba-tiba muncul.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD