“Mia anggur hijau! Bukan yang itu, tapi yang sebelahnya. Jangan-jangan, itu ada bagian yang rusak, cari yang lain.”
Aku sudah menarik napas banyak-banyak dan menatap Tanaka penuh dendam. “Coba buat pilihan yang konsisten, Tuan Tanaka yang terhormat.”
Jempol Tanaka mengusap-usap dagunya, persis seperti om-om c***l. “Setelah kupikir-pikir, lebih enak anggur merah. Ayo ambil lagi dari dalam kulkas.”
“Om bangs–”
“Dilarang mengumpat pada pasien, Mia. Kamu contoh yang tidak bagus. Seharusnya yang dikeluarkan kata-kata penyemangat, bukan yang terdengar kasar seperti ini.”
Sabar, Kimi, sabar. Orang sabar bakal dapat gaji besar. “Tapi, janji nggak ngeselin lagi? Aku nggak mau mondar-mandir dari brankar pasien ke kulkas buat ngambil buah yang Om mau. Meskipun dekat, tetap aja capek.”
“Iya, tidak lagi. Cepat, aku mau anggur merah.”
Seperti yang Tanaka minta, aku langsung mengambil setangkai anggur merah di dalam kulkas dan menggabungkannya bersama buah-buahan lain dalam mangkuk. “Nih. Awas kalo mau ini itu lagi, aku pukul pake tiang infus.”
Tanaka mengubah posisi menjadi senderan. Sebelah tangan yang terpasang infus digunakan untuk memegang ponsel, sedangkan tangan sebelahnya lagi digunakan sebagai bantal. “Bantu aku memakannya, Mia. Kedua tanganku sibuk dan tidak bisa diganggu.”
“Sumpah aku pengen banget mukul kepalamu!” seruku kesal. Alisku sampai menukik saking aku berusahanya untuk menahan diri. “Udah dibilangin jangan ngeselin, eh makin menjadi. Aku taburin sianida di buahnya baru tau rasa!”
“Kalem, Mia. Ingat gajimu.”
“Nggak ada akhlak!” Dengan terpaksa aku mencomot satu anggur dan membawanya ke mulut Tanaka. “Aku sumpahin keselek bijinya.”
“Doa gadis sialan tidak akan terkabul,” ujar Tanaka, lalu dengan santainya menggigit anggur dan mengunyah perlahan. “Mungkin karena mengambilnya menggunakan tanganmu jadi manisnya berkurang. Sepertinya aku makan apel saja. Tolong kupaskan kulitnya, Mia.”
“f**k YOU, TANAKA! f**k YOU!”
***
Aku merebahkan kepala di atas meja, rasanya ngantuk sekali tapi nggak bisa tidur. Bayangkan, tadi malam itu hanya gara-gara Tanaka insomnia, dia ngajak aku main kartu sampai pukul empat pagi sedangkan pukul sembilannya aku ada kuliah.
Majikan laknat!
Terus pukul lima sampai pukul tujuhnya lagi aku dibangunkan hanya gara-gara Tanaka ingin makan bubur yang ada kantin rumah sakit. Kalau saja membunuh manusia itu tidak berdosa, maka tidak membutuhkan waktu lama orang yang bernama Tanaka sudah dari bumi ini.
“Kenapa lo, Kim?” Alka duduk di sebelahku, selanjutnya menempelkan botol air mineral dingin ke pipiku. “Kayak ayam yang besoknya mau meninggal aja.”
“Mungkin iya, kayaknya, Met. Semenjak kerja, umur gue berkurang lebih cepat setiap harinya dan kerutan di wajah nampak terlihat jelas kalau lagi bercermin.”
“Gue setuju sama omongan lo. Saat ini aura kejelekan lo makin memancar kuat dari biasanya, gue aja sampai kaget dan nggak nyangka ada cewek sejelek lo.”
“Ka, mulut lo pernah ditendang, nggak?”
“Belum, tuh. Dan gue nggak pengen ngerasain.”
Pelan-pelan aku menegakkan diri, menguap sekali dan langsung menaruh fokus sepenuhnya pada Alka. “Kalau dicubit di perut gimana? Mau ngerasain? Sini Kakak cubit perut Adek sampai dagingnya lepas.”
Alka tertawa garing. “Kim, gue bercanda doang. Serius!”
“Gimana, dong, udah terlanjur gue tanggepin omongan lo.”
“Oke-oke, apa yang lo mau? Mie ayam? Bakso? Seblak?”
“All you can eat, titik! Nggak ada penolakan,” sambarku cepat.
“Lo gila, ya!”
“Iya udah tau! Pokoknya kalau selain dari itu, gue bakalan bocorin ban motor lo.”
“Dasar cewek matre!”
***
Baru saja aku balik dari pethouse untuk mengambil beberapa boxer Tanaka, rumah sakit dihebohkan dengan orang-orang yang berlari dan berteriak penuh keantusiasan.
“Ada apa, Mbak?” Aku bertanya pada seseorang yang lewat di sampingku. “Kok ramai? Emang di taman ada apa?”
“Ada yang bilang lihat Tanaka, Mbak. Sudah duluan, ya, mau cepat-cepat ke sana.” Mbak-mbak itu berlalu pergi sedangkan aku melongo sesaat. Setelah tersadar, buru-buru aku mengambil ponsel dan langsung mendial nomor Tanaka.
“Om jangan bilang sekarang kamu nggak ada di ruang rawat?” tanyaku menggebu.
“Benar sekali, Mia.” Tanaka menjawab pelan, sepertinya berbisik. “Sekarang aku di toilet perempuan. Cepat keluarkan aku dari sini tanpa seorang pun tau.”
“Argh! Aku pengen benturin kepalamu ke dinding, Om!” Setelah panggilan kuputuskan, buru-buru aku menuju keramaian tapi berbelok ke arah menuju toilet. Sebelum masuk, aku celingak-celinguk lebih dulu dan setelahnya mengunci pintu demi keamanan. “Om ini Kimia.”
Ada gerakan dari bilik paling ujung. Tidak lama, Tanaka keluar dengan tabung infus yang kini berada di dalam kantong saku pakaian pasiennya.
“Tepat waktu.”
“Tepat waktu pala bapakmu! Ini gimana ceritanya? Tiang infus di mana, Om?!”
“Karena merepotkan, kutinggal saja,” jawab Tanaka enteng.
Aku berdecak kemudian menghampiri. Saat melihat ada darah yang naik ke selang infus, mataku langsung membelalak ngeri. “Om kita harus segera balik! Kalau nggak, kamu bisa mati.”
“Apanya?” tanya Tanaka bingung dan masih belum sadar dengan kondisinya. “Pelan-pelan, Mia, jangan panik. Kalau tidak, kita akan ketahuan dan mereka akan mengejar.”
“Pokoknya kita harus cepat kembali! Topi mana topi?”
“Tadi ikut terjatuh saat aku lari.”
Karena terlalu gemas, aku menjewer kencang kuping Tanaka. “Kalau sudah seperti ini gimana kita keluarnya?!”
“Aw, sakit, Mia.” Tanaka meringis memegangi tanganku. “Lepas. Aku pasien, kamu tidak boleh memperlakukan pasien seperti itu.”
“Masa bodo dengan pasien.” Tanpa pikir panjang, aku melepaskan ruffle cardiganku dan menyerahkannya pada Tanaka. “Gunakan ini untuk menutupi kepalamu, Om!”
“Wow!”
Aku mengikuti arah pandangan Tanaka dan langsung berdecak kesal. “Jangan mengambil kesempatan dalam kesempitan, Om. Lagian kita nggak punya waktu banyak dan mungkin sebentar lagi akan ada yang datang ke sini.”
“O-okay, sebentar.” Tanaka memejamkan mata, jakunnya terlihat bergerak. “Aku siap, Mia.”
Tanpa menunggu waktu aku segera menarik Tanaka untuk membungkuk dan memasang ruffle cardigan di kepalanya. Setelah kurasa cukup untuk menutupi wajah Tanaka, aku membuka kunci pintu dan sekali lagi celingukan sebelum keluar.
“Jalannya harus cepat, Om. Kalau sudah di lift baru aman.”
“Mia, sulit sekali berjalan sambil menunduk seperti ini,” keluh Tanaka.
“Ssstt ... dilarang merengek sekarang.” Selanjutnya, aku fokus pada jalan yang kami lewati tanpa menghiraukan cicitan Tanaka. Beberapa orang menatap kami aneh tapi aku mengabaikannya dengan memfokuskan mata dan pikiran pada lift.
Setelah berhasil masuk dan buru-buru memencet tombol menutup, barulah aku menghela napas lega dan melepaskan rangkulan di bahu Tanaka.
“Kamu udah bisa buka penutupnya, Om.”
Tanaka menurut tanpa suara. Untuk sesaat kulihat dia sedang menggeliatkan pinggang ke depan dan ke belakang, setelah dirasa cukup, Tanaka mengambil ruffle cardigan dan melemparnya padaku tanpa mau menatap.
“Tutup itu! Sangat kecil sekali sampai menyakiti mataku!”
Aku memasang ruffle cardigan dengan kesal. “Dasar Tanaka–berengsek–Kawindra!”
***
Mbak Zha datang bersama beberapa orang staf dan artis yang aku tau sebagai teman Tanaka. Mereka membawa tiga macam bunga dan jangan lupakan makanan ringan dan buah-buahan.
“Cepat sembuh, Ka. Gue mau adu akting sama lo dan kita bandingkan siapa yang lebih bagus,” ujar Javas, dia aktor seperti Naka tapi kebanyakan peran yang dia mainkan dalam drama atau film adalah pemeran pembantu. Dan baru-baru ini Javas menerima tawaran sebagai pemeran utama untuk mengganti aktor yang sebelumnya menolak, yaitu Tanaka. “Saat lo vakum, keberuntungan berpihak ke gue. Tapi, pantang bagi lelaki sejati untuk berbahagia di atas kesulitan orang lain.”
“Sok bijak, lo!” Tanaka tertawa dan meninju santai lengan Javas. Selanjutnya ada girl grup yang juga dibawah naungan agensi tempat Tanaka bekerja. Mereka mendoakan untuk keberhasilan operasi dan kesembuhan Tanaka.
Setelah mengobrol beberapa saat, semua pamit pulang. Sehingga yang tersisa di ruangan ini aku, Tanaka dan Mbak Zha.
Tidak lama perawat datang sambil mendorong troli yang berisi peralatan yang namanya tidak kuketahui.
“Permisi,” sapanya ramah. “Maaf mengganggu waktunya sebentar, saya akan memeriksa tekanan darah pasien terlebih dahulu.”
Mbak Zha menyingkir untuk memberi cela perawat mendekati Tanaka. Tangan sebelah kiri Tanaka terulur untuk dimasukkan ke bagian berwarna abu-abu, setelahnya direkatkan. Perawat memencet tombol dan menunggu beberapa saat.
“120/80. Tekanan darahmu normal,” ujar perawat, tanpa menghilangkan nada ramahnya. “Saya akan kembali lagi nanti untuk memeriksa ulang.”
“Terima kasih,” ucap Tanaka.
“Sama-sama.” Setelah merapikan semua peralatannya kembali, perawat itu mengangguk padaku dan Mbak Zha. “Mari.”
Kami balas mengangguk bersamaan. Setelah melihat pintu tertutup, Mbak Zha kembali mendekat pada brankar Tanaka, sepertinya ada yang perlu dibahas Mbak Zha.
“Naka, sudah saya putuskan setelah operasi nanti, kamu akan mengambil beberapa job pemotretan.”
“Mbak.” Embusan napas Tanaka terdengar keras. “Saat aku menolak untuk operasi, Mbak yang menentang. Giliran aku ingin fokus dengan pengobatanku, Mbak yang berubah pikiran. Ada apa ini? Siapa yang mengendalikan kehidupanku sekarang? Aku atau kamu, Mbak?!”
“Bukan seperti itu. Hanya saja, ada beberapa majalah yang menolak untuk memutuskan kontrak. Mereka butuh foto dan beberapa hal tentangmu untuk edisi bulan ini.”
“Bilang saja kita akan mengganti rugi. Biasanya juga seperti itu, kan?!”
“Tapi ini berbeda. Mereka menuntut lima kali lipat seandainya kita ngotot untuk memutuskan kontrak.”
“Sudahlah, aku terlalu capek untuk membahas ini. Mbak bisa pulang sekarang.”
Mulut Mbak Zha sudah membuka, tapi tidak ada kata-kata yang keluar. Akhirnya, Mbak Zha mengangguk lalu bangkit. “Tidak usah dipikirkan. Saya akan berusaha bicara dengan mereka.” Namun Tanaka sudah menolak untuk menjawab. “Saya pulang dulu.”
Saat Mbak Zha berlalu dari hadapanku, aku bergegas mengikutinya sampai depan pintu. “Hati-hati di jalan, Mbak.”
“Terima kasih, Kimi. Mohon bantuannya untuk menjaga Naka.”
“Itu memang menjadi bagian tugas saya.”
Mbak Zha mengangguk setelah itu benar-benar pergi. Aku menutup pintu dan melarikan tatapan pada Tanaka. Entah itu pura-pura atau yang sebenarnya, yang pasti Tanaka memejamkan mata dengan posisi telentang. Aku pun selanjutnya akan menyusul, tapi sebelum itu ke kamar mandi dulu untuk mencuci muka dan menggosok gigi.
Sekeluarnya, aku segera membawa kasur lipat lengkap dengan bantal dan selimutnya ke dekat brankar Tanaka. Kucek sekali lagi apakah Tanaka benar-benar tidur barulah setelah itu aku bisa merebahkan tubuh dengan tenang.
Aroma khas rumah sakit begitu pekat sekali di hidung dan aku sangat tidak menyukainya karena itu sering membuatku sakit kepala saat berlama-lama di sini. Tapi, demi pekerjaan aku harus menahan atau kapan perlu melawannya.
“Mia, sudah tidur?”
Tanpa sadar mataku memejam erat dan bibirku mengantup rapat, seolah berpura-pura tidur seperti Tanaka tadi.
“Mia?”
Lagi, aku menolak untuk menjawab. Saat beberapa detik tidak ada panggilan lagi, kupingku justru menangkap pergerakan dari brankar. Begitu juga saat kaki menapaki lantai, bunyi sendal beradu dengan keramik, dan terakhir bunyi pintu dibuka lalu ditutup lagi.
Aku cepat membuka mata dan menyibak selimut. Diam-diam aku mengikuti Tanaka di belakangnya, tentu dalam jarak aman. Setelah melewati beberapa ruangan dan belokan, kulihat Tanaka membuka pintu lalu keluar. Aku juga mengikutinya.
Rooftop. Itulah yang kutemukan setelah menutup pintu yang sama. Angin malam begitu terasa sekali, sedangkan pakaian yang kukenakan mau pun pakaian yang Tanaka kenakan sangat tipis.
“Mia.”
Aku terkesiap kaget saat Tanaka berdiri tepat di depanku. Kok dia tau?
“Kenapa? Aku sudah menyadari saat kamu ikut keluar dari ruang rawat tadi.”
“Ya kalau sadar ngapain muncul tiba-tiba kayak gini. Aku ‘kan kaget!”
Tawa Tanaka terdengar. “Aku menemukan tempat yang keren. Mau ikut melihatnya?”
“Aman nggak, nih?” tanyaku ragu.
“Aman. Tapi, tidak juga, karena ada kemungkinan aku akan mendorongmu di sana.”
“Heh!”
Raut wajah Tanaka terlihat geli. “Sudah ikut saja. Kamu aman.” Tanaka memimpin di depan dengan aku yang membuntut di belakang. Kami menuju bagian atap sebelah kiri dan ternyata dibalik dinding-dinding itu ada kursi yang terletak di bagian pinggir tapi tidak terlalu ke pinggir.
“Kita bisa melihat suasana malam dari sini.” Tanaka lebih dulu mengambil tempat kemudian menepuk-nepuk bagian di sebelahnya. “Kamu pasti akan menyukainya sepertiku, Mia.”
“Awas, ya, kalo bohong.” Ogah-ogahan aku mendekat dan duduk di samping Tanaka. Benar ternyata, di sini pemandangan malamnya sangat indah. Padatnya lalu lintas dan lampu-lampu yang menerangi sangat memanjakan mata. Apalagi saat mendongak, langit terlihat sedang bahagia dengan taburan bintang mengelilinginya. “Baru kali ini omongan Om benar. Biasanya banyak hoax!”
“Mulutmu keterlaluan sekali.”
Aku menoleh ke samping, menatap Tanaka sambil tersenyum. “Tapi, terima kasih sudah mengajakku.”
“Sama-sama.”
Untuk sesaat, kami membiarkan waktu berjalan tanpa adanya pembicaraan. Semilir angin menerbangkan beberapa helai anak rambutku tapi segera kuselipkan ke belakang kuping agar tidak mengganggu.
“Mia, apa kamu pikir operasi besok akan berhasil?”
Kedua kalinya aku menoleh pada Tanaka, tapi sekarang minus senyum. “Jawabannya tergantung pada keyakinanmu sendiri, Om. Kalau kamu merasa berhasil, maka aku yakin akan demikian. Kalau kamu merasa tidak akan berhasil, maka aku juga yakin akan demikian.”
“Bicara denganmu sama sekali tidak bisa diandalkan. Tadinya, aku berharap mendapat setidaknya solusi atau semangat. Tapi ... sudahlah, aku menyesal bertanya padamu.”
Aku mengangkat bahu acuh.
“Aku ingin bertanya.”
“Sudah dari tadi kamu bertanya, Om.”
“Bukan, ini tidak ada kaitannya dengan operasi.”
“Silahkan.”
“Mia,” panggil Tanaka. Saat aku menoleh, kebetulan netra kami bertemu. “Apa kamu menyukaiku?”
“Maksudnya?” tanyaku, yang seperti biasa nadanya dibuat-buat.
“Menyukaiku sebagai aktor. Sebenarnya dari gerak-gerik dan tindakan, aku sudah tahu jawabannya. Hanya saja, aku ingin mendengar langsung dari mulutmu.”
“Enggak!” Kali ini, aku yang menjawab nggak pake bismillah. “Aku nggak suka sama kamu, Om. Sebelum bertemu, hampir semua acara televisi tentangmu pasti kulewati, atau paling lama bertahan menonton lima menit. Drama atau film yang kamu mainkan tidak pernah bagus di mataku. Bahkan, penghargaan yang kamu dapatkan selalu bertentangan dengan kehendakku.”
“Sekali sialan, tetap jadi sialan ternyata.” Tanaka mendengkus. “Tapi, aku menghargai kejujuranmu. Terima kasih sudah mengatakannya.”
“Sama-sama. Oh, aku belum selesai. Setelah bertemu, ketidak-sukaanku makin menjadi-jadi. Apalagi melihat sifat aslimu, Om. Bossy, suka meniduri perempuan dan mengonsumsi alkohol.”
“Ya ... aku sudah terlanjut jelek di matamu, jadi biarkan saja.”
“Memang sudah seharusnya seperti itu, kan? Atau, setelah aku bicara tadi, kamu mau memukulku, Om?”
“Daripada itu, lebih baik melakukan hal lain.”
“Contohnya?”
“Mia,” Tanaka menoleh lagi, matanya berkedip polos. “Mau berciuman?”
“Oh–HAH? KAMU GILA, YA, OM?!”
***